"KETUHANAN YANG MAHA ESA"
ALIRAN 
PLURALISME SELALU BERKATA: TUHAN ITU SATU, HNY CARA MENYEMBAHNYA SAJA YG
 BERBEDA BEDA. SUNGGUH, ALIRAN INI BKN AJARAN ISLAM SAMA SEKALI, KRN 
JIKA TUHAN ITU SATU, MAKA AGAMA PUN SATU, DAN SDH SELAYAKNYA TIDAK 
BERBEDA2. IBARAT SEORG PEMIMPIN PERUSAHAAN,PEMIMPIN YG SATU, MEWAJIBKAN 
SELURUH ANGGOTA KARYAWANNYA DGN SERAGAM YG SATU, DAN CARA KERJA YG 
SESUAI DGN KEMAUAN  PEMIMPINNYA. BAYANGKAN JIKA PEMIMPIN ITU MEMBOLEHKAN
 SELURUH KARYAWANNYA UNTUK BEKERJA DGN CARA YG BERBEDA2,MEMBEBASKAN 
KARYAWANNYA BERBUAT SESUKA HATI MRKA, MAKA TENTU AKAN TERJADI 
PENYIMPANGAN DAN PERSELISIHAN BESAR ANTAR TIAP KARYAWAN KRN KEMAUAN MRKA
 YG BERBEDA2,SEHINGGA TDK TAHU MANA YG BNR DAN SALAH.
[3:85]
 Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah
 akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk 
orang-orang yang rugi.
[3:85] And whoever desires a 
religion other than Islam, it shall not be accepted from him, and in the
 hereafter he shall be one of the losers.
TAFSIR IBNU KATSIR
"Barang
 Siapa Mencari Agama Selain Agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan 
diterima agama (agama itu) darinya", maksudnya barangsiapa menempuh 
jalan selain yang telah disyari'atkan Allah, maka Allah tidak akan 
menerimanya.
"Dan di Akhirat termasuk orang-orang yang rugi" sebagaimana yang disabdakan Rasulullah dalam hadits shahih :
"Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada dasar perintahnya dari kami, maka amalan itu ditolak"
Allah
 menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan 
Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang 
berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak 
disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. 
Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada 
berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang
 pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara 
mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka 
sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (Ali-'Imran:18-19)
(http://www.islamcocg.com/id/index.php?option=com_content&view=article&id=63:islam-agama-para-nabi-dan-rasul&catid=19)
(http://www.voa-islam.com/islamia/konsultasi-agama/2010/03/23/4226/benarkah-agama-para-nabi-tidak-semuanya-islam/)
(http://abumushlih.com/agama-para-nabi-dan-rasul.html/)

KESALAHAN PENGHAPUSAN PIAGAM JAKARTA 
HARIAN Republika, Rabu (11/5) menurunkan  berita berjudul:  “Kembalikan Pancasila dalam Kurikulum”. Berita itu mengungkap pernyataan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie.
Partai
 Golkar atau siapa pun yang menginginkan diterapkannya di Pancasila, 
seyogyanya bersedia belajar dari sejarah; bagaimana Pancasila dijadikan 
sebagai slogan di masa Orde Lama dan Orde Baru, dan kemudian berakhir 
dengan tragis. Sejak tahun 1945, Pancasila telah diletakkan dalam 
perspektif  sekular, yang lepas dari perspektif pandangan alam Islam 
(Islamic worldview). Padahal, sejak kelahirannya, Pancasila – yang 
merupakan bagian dari Pembukaan UUD 1945 – sangat kental dengan nuansa 
Islamic worldview.
Contoh terkenal dari tafsir sekular 
Pancasila, misalnya, dilakukan oleh konsep Ali Moertopo, ketua 
kehormatan CSIS yang sempat berpengaruh besar dalam penataan kebijakan 
politik dan ideologi di masa-masa awal Orde Baru. Mayjen TNI (Purn) Ali 
Moertopo yang pernah menjadi asisten khusus Presiden Soeharto merumuskan
 Pancasila sebagai “Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia”. 
Tentang Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, Ali Moertopo merumuskan,
 bahwa diantara makna sila pertama Pancasila adalah hak untuk pindah 
agama.  “Bagi para warganegara hak untuk memilih, memeluk atau pindah 
agama adalah hak yang paling asasi, dan hak ini tidak diberikan oleh 
negara, maka dari itu negara RI tidak mewajibkan atau memaksakan atau 
melarang siapa saja untuk memilih, memeluk atau pindah agama apa saja.”
Tokoh
 Katolik di era Orde Lama dan Orde Baru, Pater Beek S.J., juga 
merumuskan makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsep yang netral
 agama, dan tidak condong pada satu agama. Ia menggariskan tentang 
masalah ini:
“Barang siapa beranggapan Sila Ketuhanan ini juga 
meliputi anggapan bahwa Tuhan itu tidak ada, atheisme (materialisme); 
atau bahwa Tuhan berjumlah banyak (politeisme), maka ia tidak lagi 
berdiri di atas Pancasila. Pun pula jika orang beranggapan bahwa 
Ketuhanan Yang Maha Esa itu hanya tepat bagi kepercayaan Islam atau 
Yahudi saja, misalnya, maka orang semacam itu pada hakikatnya juga tidak
 lagi berdiri di atas Pancasila.” (J.B. Soedarmanta, Pater Beek S.J., Larut tetapi Tidak Hanyut).
Tetapi,
 sebagian kalangan ada juga yang memahami, bahwa sila Ketuhanan Yang 
Maha Esa juga menjamin orang untuk tidak beragama. Drs. R.M. S.S. 
Mardanus S.Hn.,  dalam bukunya, "Pendidikan—Pembinaan Djiwa Pantja Sila",  (1968), menulis:“Begitu
 pula kita harus mengetahui, bahwa orang yang ber-Tuhan tidak sekaligus 
harus menganut suatu agama. Bisa saja orang itu ber-Tuhan, yaitu percaya
 dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tetapi tidak memeluk suatu agama, 
karena ia merasa tidak cocok dengan ajaran-ajaran dan dogma-dogma agama 
tertentu. Orang yang ber-Tuhan tetapi tidak beragama bukanlah seorang 
ateis. Pengertian ini sebaiknya jangan dikaburkan.”
Pastor J.O.H. Padmaseputra, dalam bukunya, "Ketuhanan di Indonesia" (Semarang,
 1968), menulis: “Apakah orang yang tidak beragama harus dipandang 
ateis? Tidak. Karena amat mungkin dan memang ada orang tidak sedikit 
yang percaya akan Tuhan, tetapi tidak menganut agama yang tertentu.” 
(Dikutip dari buku Pantjasila dan Agama Konfusius karya RimbaDjohar, 
(Semarang: Indonezia Esperanto-Instituto, MCMLXIX), hal. 34-35).
Dan
 sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin
 dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk 
memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak 
dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka 
mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar 
(ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka 
lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. 
Al-A'raaf/7:179)
Padahal, jika dicermati dengan 
jujur,  rumusan sila Ketuhanan Yang Maha Esa ada kaitannya dengan 
pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta: Ketuhanan, dengan kewajiban 
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Bung Hatta yang aktif
 melobi tokoh-tokoh Islam agar rela menerima pencoretan tujuh kata itu, 
menjelaskan, bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah, tidak lain kecuali 
Allah. Sebagai saksi sejarah, Prof. Kasman Singodimedjo,  menegaskan: 
“Dan segala tafsiran dari Ketuhanan Yang Maha Esa itu, baik tafsiran 
menurut historisnya maupun menurut artinya dan pengertiannya sesuai 
betul dengan tafsiran yang diberikan oleh Islam.” (Lihat, Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hal. 123-125.)
Lebih
 jelas lagi adalah keterangan Ki Bagus Hadikusuma, ketua Muhammadiyah, 
yang akhirnya bersedia menerima penghapusan “tujuh kata” setelah 
diyakinkan bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tauhid. Dan itu 
juga dibenarkan oleh Teuku Mohammad Hasan, anggota PPKI yang diminta 
jasanya oleh Hatta untuk melunakkan hati Ki Bagus. (Siswanto Masruri, Ki Bagus Hadikusuma, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005).
Sebenarnya,
 sebagaimana dituturkan Kasman Singodimedjo, Ki Bagus sangat alot dalam 
mempertahankan rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat 
Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Sebab, rumusan itu dihasilkan dengan 
susah payah.  Dalam sidang-sidang BPUPK, Ki Bagus dan sejumlah tokoh 
Islam lainnya juga masih menyimpan ketidakpuasan terhadap rumusan itu. 
Ia, misalnya, setuju agar kata “bagi pemeluk-pemeluknya” dihapuskan.  
Tapi, karena dalam sidang PPKI tersebut, sampai dua kali dilakukan lobi,
 dan Soekarno juga menjanjikan, bahwa semua itu masih bersifat 
sementara. Di dalam sidang MPR berikutnya, umat Islam bisa 
memperjuangkan kembali masuknya tujuh kata tersebut. Di samping itu, Ki 
Bagus juga mau menerima rumusan tersebut, dengan catatan, kata Ketuhanan
 ditambahkan dengan Yang Maha Esa, bukan sekedar “Ketuhanan”, 
sebagaimana diusulkan Soekarno pada pidato tanggal 1 Juni 1945 di BPUPK.
 Pengertian inilah yang sebenarnya lebih masuk akal dibandingkan dengan 
pengertian yang diajukan berbagai kalangan. (Ibid).
Dalam bukunya, "Islam dan Politik, Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin" (1959-1965),
 (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif juga 
mencatat, bahwa pada 18 Agustus 1945, Soekarno sebenarnya sangat 
kewalahan menghadapi Ki Bagus. Akhirnya melalui Hatta yang menggunakan 
jasa Teuku Mohammad Hasan, Ki Bagus dapat dilunakkan sikapnya, dan 
setuju mengganti “tujuh kata” dengan “Yang Maha Esa”.  Syafii Maarif 
selanjutnya menulis: “Dengan fakta ini, tidak diragukan lagi bahwa 
atribut Yang Maha Esa bagi sila Ketuhanan adalah sebagai ganti dari 
tujuh kata atau delapan perkataan yang dicoret, disamping juga 
melambangkan ajaran tauhid (monoteisme), pusat seluruh sistem 
kepercayaan dalam Islam.”  Namun tidak berarti bahwa pemeluk agama lain 
tidak punya kebebasan dalam menafsirkan  sila pertama menurut agama 
mereka masing-masing.  (hal. 31).
Tentang makna Ketuhanan Yang 
Maha Esa identik dengan Tauhid, juga ditegaskan oleh tokoh NU KH Achmad 
Siddiq. Dalam satu makalahnya yang berjudul “Hubungan Agama dan Pancasila” yang
 dimuat dalam buku Peranan Agama dalam Pemantapan Ideologi Pancasila, 
terbitan Badan Litbang Agama, Jakarta 1984/1985, Rais Aam NU, KH Achmad 
Siddiq, menyatakan:
“Kata “Yang Maha Esa” pada sila 
pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) merupakan imbangan tujuh kata yang 
dihapus dari sila pertama menurut rumusan semula. Pergantian ini dapat 
diterima dengan pengertian bahwa kata “Yang Maha Esa” merupakan 
penegasan dari sila Ketuhanan, sehingga rumusan “Ketuhanan Yang Maha 
Esa” itu mencerminkan pengertian tauhid (monoteisme murni) menurut 
akidah Islamiyah (surat al-Ikhlas). Kalau para pemeluk agama lain dapat 
menerimanya, maka kita bersyukur dan berdoa.” (Dikutip dari buku Kajian 
Agama dan Masyarakat, 15 Tahun Badan Penelitian dan Pengembangan Agama 
1975-1990, disunting oleh Sudjangi (Jakarta: Balitbang Departemen Agama,
 1991-1992).
Jika para tokoh Islam di Indonesia memahami 
makna sila pertama dengan Tauhid, tentu ada baiknya para politisi Muslim
 seperti Aburizal Bakrie dan sebagainya berani menegaskan, bahwa tafsir 
Ketuhanan Yang Maha Esa yang tepat adalah bermakna Tauhid. Itu artinya, 
di Indonesia, haram hukumnya disebarkan paham-paham 
yang bertentangan dengan nilai-nilai Tauhid. Tauhid maknanya, 
men-SATU-kan Allah. Yang SATU itu harus Allah, nama dan 
sifat-sifat-Nya.  Allah dalam makna yang dijelaskan dalam konsepsi 
Islam, yakni Allah yang satu, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan;
 bukan Allah seperti dalam konsep kaum Musyrik Arab, atau dalam konsep 
lainnya.
Kata “Allah” juga muncul di alinea ketiga Pembukaan UUD 
1945: “Atas berkat rahmat Allah….”. Sulit dibayangkan, bahwa konsepsi 
Allah di situ bukan konsep Allah seperti yang dijelaskan dalam al-Quran.
 Karena itu, tidak salah sama sekali jika para cendekiawan dan politisi 
Muslim berani menyatakan, bahwa sila pertama Pancasila bermakna Tauhid 
sebagaimana dalam konsepsi Islam. Rumusan dan penafsiran sila pertama 
Pancasila jelas tidak bisa dipisahkan dari konteks sejarah munculnya 
rumusan tersebut.
Kaum Muslim perlu mencermati kemungkinan
 adanya upaya sebagian kalangan untuk menjadikan Pancasila sebagai alat 
penindas hak konsotistusional umat Islam, sehingga setiap upaya 
penerapan ajaran Islam di bumi Indonesia dianggap sebagai usaha untuk 
menghancurkan NKRI. Dalam ceramahnya saat Peringatan Nuzulul Quran, Mei 
1954, Natsir sudah mengingatkan agar tidak terburu-buru memberikan vonis
 kepada umat Islam, seolah-olah umat Islam  akan menghapuskan Pancasila.
 Atau seolah-olah umat Islam tidak setia pada Proklamasi. ”Yang demikian
 itu sudah berada dalam lapangan agitasi yang sama sekali tidak 
beralasan logika dan kejujuran lagi,” kata Natsir. Lebih jauh Natsir 
menyampaikan, ”Setia kepada Proklamasi itu bukan berarti bahwa harus 
menindas dan menahan perkembangan dan terciptanya cita-cita dan kaidah 
Islam dalam kehidupan bangsa dan negara kita”
Contoh 
penyimpangan penafsiran Pancasila pernah dilakukan dengan proyek 
indoktrinasi melalui Program P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan 
Pancasila). Pancasila bukan hanya dijadikan sebagai dasar Negara. 
Tetapi, lebih dari itu, Pancasila dijadikan landasan moral yang 
seharusnya menjadi wilayah agama. Penempatan Pancasila semacam ini sudah
 berlebihan.  Di Majalah Panji Masyarakat edisi 328/1981,  mantan 
anggota DPR dari PPP, Ridwan Saidi pernah menulis kolom berjudul ”Gejala
 Perongrongan Agama”.   Sejarawan dan budayawan Betawi ini mengupas 
dengan tajam pemikiran Prof. Dardji Darmodiharjo, salah satu konseptor 
P-4.
”Saya memandang sosok tubuhnya pertama kali adalah pada 
kwartal terakhir tahun 1977 pada Sidang Paripurna Badan Pekerja MPR, 
waktu itu Prof. Dardji menyampaikan pidato pemandangan umumnya mewakili 
Fraksi Utusan Daerah. Pidatonya menguraikan tentang falsafah Pancasila. 
Sudah barang tentu uraiannya itu bertitik tolak dari pandangan diri 
pribadinya belaka. Dan sempat pula pada kesempatan itu Prof. Dardji 
menyampaikan kejengkelannya ketika katanya pada suatu kesempatan dia 
selesai ceramah tentang sikap hidup Pancasila, seorang hadirin bertanya 
padanya bagaimana cara gosok gigi Pancasila.”
Kuatnya pengaruh Islamic worldview dalam
 penyusunan Pembukaan UUD 1945 – termasuk Pancasila – terlihat jelas 
dalam sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Manusia Indonesia 
harus bersikap adil dan beradab. Adil dan adab merupakan dua kosa kata 
pokok dalam Islam yang memiliki makna penting. Salah satu makna adab 
adalah pengakuan terhadap Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan Muhammad 
saw sebagai Nabi, utusan Allah. Menserikatkan Allah dengan makhluk – 
dalam pandangan Muslim – bukanlah tindakan yang beradab.
Meletakkan
 manusia biasa lebih tinggi kedudukannya dibandingkan utusan Allah SWT 
tentu juga tidak beradab. Menempatkan pezina dan penjahat lebih tinggi 
kedudukannya dibandingkan dengan orang yang bertaqwa, jelas sangat tidak
 beradab. 
Saturday, December 13, 2014
Muslim dan Pendidik Harus Tahu Makna Ketuhanan Yang Maha Esa
onboard
 
2:47 AM
About onboard
Sutrisna Wijaya. "Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain"
 
 
 
No comments:
Write komentar