Sundalandia
Oleh Dhani Irwanto, 27 Oktober 2015
Sundalandia adalah wilayah bio-geografi Asia Tenggara yang meliputi 
Paparan Sunda, bagian landas kontinen Asia yang terekspos selama zaman 
es terakhir. Periode Glasial Terakhir, dikenal sebagai Zaman Es 
Terakhir, adalah periode glasial terakhir dalam rangkaian panjang Zaman 
Es yang terjadi selama tahun-tahun terakhir Pleistosen, dari sekitar 
110.000 sampai 12.000 tahun yang lalu. Sundalandia meliputi Semenanjung 
Malaka di daratan Asia, serta pulau-pulau besar Kalimantan, Jawa dan 
Sumatera, dan pulau-pulau sekitarnya. Batas timur Sundalandia adalah 
Garis Wallace, diidentifikasi oleh Alfred Russel Wallace sebagai batas 
timur kisaran daratan fauna mamalia Asia, dan juga sebagai batas zona 
ekosistem Indomalaya dan Australasia. Pulau-pulau di sebelah timur garis
 Wallace dikenal sebagai Wallacea, dan dianggap sebagai bagian dari 
Australasia. Perlu dicatat bahwa saat ini secara umum telah diterima 
bahwa Asia Tenggara adalah merupakan titik masuk migrasi manusia modern 
dari Afrika.
Gambar 1 – Peta Sundalandia
Laut Tiongkok Selatan dan daratan di sekitarnya telah diteliti oleh para
 ilmuwan seperti Molengraaff dan Umbgrove, yang mendalilkan sistem 
drainase kuno yang sekarang terendam. Daerah ini telah dipetakan oleh 
Tjia pada tahun 1980 dan dijelaskan secara lebih rinci oleh Emmel dan 
Curray pada tahun 1982 termasuk delta sungai, dataran banjir dan 
rawanya. Ekologi Paparan Sunda yang terekspos telah diselidiki dengan 
menganalisis inti bor dasar laut. Serbuk sari yang ditemukan didalam 
inti telah menunjukkan ekosistem yang kompleks dan berubah dari waktu ke
 waktu. Penggenangan Sundalandia telah memisahkan spesies yang pernah 
menempati lingkungan yang sama seperti ikan surau air tawar (Polydactylus macrophthalmus, Bleeker 1858; Polynemus borneensis,
 Vaillant 1893) yang pernah berkembang dalam sistem sungai yang sekarang
 disebut "Sungai Sunda Utara" atau "Sungai Molengraaff". Ikan ini 
sekarang ditemukan di Sungai Kapuas di pulau Kalimantan, serta di Sungai
 Musi dan Batanghari di pulau Sumatera.
Periode Glasial Terakhir, atau Zaman Es Terakhir, dianggap oleh para 
ilmuwan sebagai peristiwa glasiasi (pencairan es) terbaru dalam 
serangkaian Zaman Es yang lebih panjang, yang dimulai lebih dari dua 
juta tahun yang lalu dan telah mengalami beberapa glasiasi. Dalam 
periode ini, ada beberapa perubahan diantara gletser maju dan mundur. 
Glasiasi terluas dalam Periode Glasial Terakhir ini adalah sekitar 
22.000 tahun yang lalu. Pola umum pendinginan dan gletser maju secara 
global adalah mirip, namun perbedaan lokal pengembangan gletser maju dan
 mundur dari benua ke benua yang terinci sulit untuk dibandingkan.
Dari sudut pandang arkeologi manusia, periode tersebut masuk kedalam 
periode Paleolitik dan Mesolitik. Saat peristiwa glasiasi dimulai, Homo sapiens
 hanya terdapat di Afrika dan menggunakan peralatan yang sebanding 
dengan yang digunakan oleh manusia Neanderthal di Eropa, Levant dan Homo erectus di Asia. Menjelang akhir peristiwa tersebut, Homo sapiens
 menyebar ke Eropa, Asia, dan Australia. Gletser mundur memungkinkan 
kelompok orang Asia bermigrasi ke Amerika dan mempopulasikannya.
Gambar 2 – Permukaan laut Pasca-Glasial
Stadial Dryas Muda, juga disebut Pendinginan Besar, adalah suatu kondisi
 geologi beriklim dingin dan kering yang singkat (1300 ± 70 tahun) dan 
terjadi antara sekitar 12.800 dan 11.600 tahun yang lalu. Stadial Dryas 
Muda diduga disebabkan oleh runtuhnya lapisan es di Amerika Utara, 
meskipun teori lain juga telah diusulkan. Stadial ini terjadi setelah 
interstadial Bølling-Allerød (periode hangat) pada akhir Pleistosen dan 
mendahului kelahiran Holosen Awal. Nama stadial ini diambil dari nama 
sebuah genus indikator, Dryas octopetala, bunga liar yang terdapat di tundra Pegunungan Alpin.
Stadial-stadial Dryas adalah periode-periode dingin yang menyelingi tren
 pemanasan sejak Maksimum Glasial Terakhir 21.000 tahun yang lalu. Dryas
 Tua terjadi sekitar 1.000 tahun sebelum Dryas Muda dan berlangsung 
sekitar 400 tahun. Dryas Tertua terjadi antara sekitar 18.000 dan 14.700
 tahun yang lalu.

Gambar 3 – Periode Glasial Terakhir berdasarkan pengukuran lapisan es di Greenland
Batimetri dan Topografi
Gambar 4 – Sebuah peta yang 
menunjukkan Sundalandia pada sekitar Zaman Es Terakhir (21.000 tahun 
yang lalu) yang dihasilkan oleh penulis dari grid elevasi GTOPO30 yang 
diterbitkan oleh USGS. Muka air lautnya adalah sekitar 120 meter dibawah
 sekarang. Pola aliran sungai yang dibawah muka air laut sekarang 
digambar menggunakan grid tersebut dan perkiraan sedimentasi laut, 
transportasi sedimen pesisir, pembentukan delta, peristiwa meander, 
perubahan rezim sungai dan gerakan sungai. Sungai daratan sekaran 
digabungkan. Warna-warna selain biru menunjukkan elevasi permukaan 
tanah. Garis merah tipis adalah garis pantai sekarang.
Data topografi dan batimetri saat ini yang meliputi Paparan Sunda dalam 
proyeksi geografi (lintang dan bujur) telah diekstrak dari grid elevasi 
GTOPO30 yang diterbitkan oleh USGS. GTOPO30 meliputi resolusi spasial 
lintang dan bujur horizontal 30 detik busur (sekitar 0,9 km di dekat 
khatulistiwa) dalam bentuk berkas format model elevasi digital (digital elevation model,
 DEM). Grid serupa lainnya seperti GEBCO_8 yang diterbitkan oleh IHO dan
 IOC/UNESCO, dan ETOPO1 yang diterbitkan oleh NOAA juga digunakan 
sebagai referensi. Diterapka skema warna pada DEM dimana daerah dibawah 
-120 m diwakili oleh warna biru sehingga garis pantai pada periode 
Maksimum Glasial Terakhir dapat dengan mudah diidentifikasi.
Beberapa asumsi telah diterapkan dalam prosedur analitisnya (Sathiamurthy et al,
 2006). Pertama, diasumsikan bahwa topografi dan batimetri daerah 
tersebut mendekati fisiografi yang ada selama rentang waktu dari 21.000 
tahun yang lalu sampai sekarang. Namun, karena proses sedimentasi dan 
erosi telah mempengaruhi batimetri Paparan Sunda selama 21.000 tahun 
terakhir (Schimanski dan Stattegger, 2005), maka hasilnya adalah hanya 
perkiraan. Dengan demikian, harus ditekankan bahwa kedalaman dan 
geometri Paparan Sunda dan depresi-depresi yang sekarang terendam tidak 
mencerminkan kondisi masa lalu yang tepat.
Kedua, diasumsikan bahwa dasar laut yang sekarang adalah seperti yang 
ada pada periode Maksimum Glasial Terakhir dan sedikit dipengaruhi oleh 
erosi arus dasar laut, pelarutan kapur atau gerakan tektonik, seperti 
ditunjukkan oleh Umbgrove (1949), yang mungkin terjadi selama transgresi
 pada masa Pasca-Pleistosen awal. Dalam hal gerakan tektonik, Geyh et al (1979) menyebutkan bahwa Selat Sumatera adalah secara tektonik stabil setidaknya selama Holosen. Selanjutnya, Tjia et al (1983), menyatakan bahwa Paparan Sunda telah sebagian besar secara tektonik stabil sejak awal Tersier. Namun demikian, Tjia et al
 (1983) menunjukkan bahwa kenaikan permukaan laut di wilayah ini dapat 
dikaitkan dengan kombinasi dari kenaikan permukaan laut yang sebenarnya 
dan gerakan kerak vertikal. Hill (1968) mengacu pada karya sebelumnya 
yang dilakukan oleh Umbgrove (1949), menyarankan kemungkinan solusi 
kapur sebagai modus pembentukan depresi (seperti dalam kasus lubang 
Lumut lepas pantai Perak, Malaysia), dan memberikan alternatif 
penjelasan, yaitu disebabkan oleh proses tektonik.
Data sedimentasi dasar laut adalah jarang tersedia namun pendekatan 
proses sedimentasi telah dibuat dalam menghasilkan peta topografi dan 
batimetri daerah Sundalandia. Dalam kondisi yang sama, proses-proses 
lain seperti transportasi sedimen pesisir, pembentukan delta, proses 
meander, perubahan rezim sungai dan gerakan sungai juga telah didekati 
dan dimasukkan pada peta. Danau kuno direkonstruksi dari DEM dan riwayat
 geologi yang ada. Pulau-pulau yang kecil dan tidak signifikan telah 
dihapus.
Selain peta topografi dan batimetri, garis pantai pada permukaan laut 
tertentu, kemiringan permukaan tanah, daerah aliran sungai dan pola 
aliran sungai juga dihasilkan dan menempatkannya pada layer-layer yang 
berbeda.
Gambar 5 – Sebuah peta yang menunjukkan DAS utama Sundalandia di sekitar periode Maksimum Glasial Terakhir (21.000
 tahun BP) yang dihasilkan oleh penulis menggunakan metode yang sama 
seperti pada gambar sebelumnya. Nama-nama sungai diberikan berdasarkan 
pada nama-nama laut, selat, teluk, pulau atau sungai saat ini yang 
ditempati oleh DAS.
Vegetasi
Cannon et al (2009) telah melakukan penelitian terhadap 
distribusi vegetasi di wilayah Sundalandia pada Maksimum Glasial 
Terakhir menggunakan model spasial eksplisit yang digabungkan dengan 
bukti-bukti geografi, paleoklimatologi dan geologi. Vegetasinya dibagi 
menjadi 3 macam, yaitu vegetasi pesisir dan rawa, vegetasi daerah rendah
 dan vegetasi daerah tinggi.
Vegetasi pesisir dan rawa mengalami sejarah biogeografi yang paling 
dinamis diantara ketiga macam vegetasi yang diteliti. Pada puncak 
Maksimum Glasial Terakhir, ketika permukaan laut turun dibawah garis 
pantai, hutan bakau terdapat didalam daerah yang sangat sempit di 
sepanjang pesisir. Namun, banyak rawa pesisir yang meluas sampai ke 
pedalaman ditumbuhi kerapah gambut dan kerangas yang berbagi dengan 
hutan rawa gambut pesisir. Ketika daratan mulai tergenangi, pada 11.000 –
 9.000 tahun lalu, vegetasi pesisir dan rawa mengalami ekspansi yang 
dramatis tetapi relatif singkat. Pada sekitar 8.000 tahun lalu, vegetasi
 pantai telah kira-kira pada posisi yang sama dengan saat ini, dengan 
luasan bakau, aluvial air tawar dan rawa gambut ditentukan oleh pola 
progradasi masing-masing delta sungai yang mengikuti transgresi masa 
Holosen. Vegetasi pesisir dan rawa juga mengalami relokasi geografi yang
 tiba-tiba dan menyeluruh sampai ratusan kilometer selama penggenangan 
yang cepat.
Luasan vegetasi daerah rendah mencapai maksimum pada Maksimum Glasial 
Terakhir yang disebabkan oleh adanya daratan yang luas karena penurunan 
permukaan laut. Luasan vegetasi daerah tinggi juga mencapai maksimum 
pada Maksimum Glasial Terakhir. Secara umum, distribusi vegetasi daerah 
tinggi sangat sensitif terhadap interaksi antara perubahan suhu dan 
tingkat pertumbuhan vegetasi.

Gambar 6 – Peta vegetasi Sundalandia pada Maksimum Glasial Terakhir 
berdasarkan data historis dari Bird et al (2005) dan beberapa 
penyesuaian, dengan skenario koridor terbuka (kiri) dan tertutup (kanan)
 (Cannon et al, 2009)
Kondisi Saat ini
Gambar 7 – Sesar aktif utama di Sundalandia pada zona konvergensi Lempeng Sunda, Eurasia, Filipina, India dan Australia. Lempeng Timor dan Laut Banda yang
 lebih kecil (bagian dari Lempeng Sunda), Maluku (bagian dari Lempeng 
Filipina) dan Andaman (bagian dari Lempeng Eurasia) juga ditampilkan. 
Panah besar menunjukkan gerakan mutlak lempeng. Segitiga merah adalah 
gunungapi.
Gambar 8 – Plot kejadian gempa besar
 yang pernah tercatat beserta intensitasnya dalam skala Mw. Perhatikan 
bahwa Sundalandia dikelilingi oleh deretan rawan gempa. (Sumber: USGS)
Gambar 9 – Plot sumber tsunami yang 
pernah tercatat beserta akibat kenaikan airnya. Perhatikan bahwa tsunami
 sering terjadi di Laut Banda dan Laut Sulawesi yang dapat mempengaruhi 
pulau-pulau bagian dalam. (Sumber: NOAA)
Gambar 10 – Plot letusan gunungapi yang pernah diketahui beserta intensitasnya dalam Volcanic Explosivity Index (VEI). Perhatikan letusan skala besar Tambora pada tahun 1815 dan letusan-letusan Krakatau yang sering terjadi, terbesar pada tahun 1883. (Sumber: NOAA)
Migrasi Manusia
Menurut teori sebelumnya, nenek moyang masyarakat Austronesia modern di 
kepulauan Melayu dan wilayah yang berdekatan diyakini telah bermigrasi 
ke selatan, dari daratan Asia Timur ke Taiwan, dan kemudian ke seluruh 
kepulauan Asia Tenggara. Namun, temuan terakhir menunjukkan bahwa 
Sundalandia yang sekarang terendam adalah merupakan awalmula peradabah: 
disebut sebagai teori "Keluar dari Sundalandia".
Stephem Oppenheimer menempatkan asal Austronesia di Sundalandia dan 
daerah-daerah diatasnya. Penelitian genetik yang dilaporkan pada tahun 
2008 menunjukkan bahwa pulau-pulau yang merupakan sisa-sisa Sundalandia 
kemungkinan besar dihuni sedini 50.000 tahun yang lalu, bertentangan 
dengan hipotesis sebelumnya (Bellwood dan Dizon, 2005) bahwa daerah 
tersebut dihuni paling lambat 10.000 tahun yang lalu dari Taiwan.
Sebuah studi oleh Universitas Leeds yang dipublikasikan dalam Molecular Biology and Evolution pada
 tahun 2008, yang meneliti garis keturunan DNA mitokondria, menunjukkan 
bahwa manusia telah mendiami pulau-pulau di Asia Tenggara dalam jangka 
waktu yang lebih lama dari yang diyakini sebelumnya. Penyebaran penduduk
 tampaknya telah terjadi pada saat yang sama dengan naiknya permukaan 
laut, yang telah mengakibatkan migrasi dari Kepulauan Filipina ke utara 
menuju Taiwan dalam 10.000 tahun terakhir. Migrasi penduduk yang paling 
mungkin adalah karena didorong oleh perubahan iklim – sebagai efek 
tenggelamnya sebuah benua kuno. Naiknya permukaan laut dalam tiga pulsa 
besar mungkin telah menyebabkan banjir dan perendaman di Sundalandia, 
menciptakan Laut Jawa dan Laut Tiongkok Selatan, dan ribuan pulau yang 
membentuk Indonesia dan Filipina kini. Berubahnya permukaan laut 
menyebabkan manusia tersebut untuk menjauh dari kediaman pantai dan 
budaya mereka, dan berpindah ke pedalaman di seluruh Asia Tenggara. 
Migrasi paksa ini menyebabkan manusia untuk beradaptasi dengan 
lingkungan hutan dan pegunungan baru, mengembangkan pertanian dan 
domestikasi, dan menjadi pendahulu manusia masa depan di wilayah ini.
Penelitian dan studi oleh HUGO Pan-Asian SNP Consortium pada tahun 2009,
 yang dilakukan dalam dan antara populasi yang berbeda di benua Asia, 
menunjukkan bahwa keturunan genetik sangat berhubungan dengan 
kelompok-kelompok etnis dan bahasa. Terdapat peningkatan yang jelas 
dalam keragaman genetik dari utara ke selatan. Penelitian ini juga 
menunjukkan bahwa ada satu aliran migrasi utama manusia ke Asia yang 
berasal dari Asia Tenggara, bukan beberapa aliran dalam dua arah 
selatan-utara seperti yang diusulkan sebelumnya. Hal ini menunjukkan 
bahwa Asia Tenggara merupakan sumber geografi utama populasi Asia Timur 
dan Asia Utara. Populasi Asia Timur terutama berasal dari Asia Tenggara 
dengan kontribusi kecil dari kelompok Asia Tengah-Selatan. Penduduk 
pribumi Taiwan berasal dari Austronesia. Hal ini berlawanan dengan teori
 bahwa Taiwan merupakan "tanah air" leluhur bagi populasi di seluruh 
Indo-Pasifik yang berbicara bahasa Austronesia.
Gambar 11 – Panah-panah berwarna yang menggambarkan meningkatnya 
diversifikasi genetik manusia setelah bermigrasi ke timur di sepanjang 
yang sekarang disebut pantai India dan berpencar menjadi beberapa 
kelompok genetik yang berbeda yang bergerak di seluruh Asia Tenggara dan
 bermigrasi ke utara ke Asia Timur (Sumber: HUGO Pan-Asian SNP 
Consortium)
Pada tahun 2012, Stephen Oppenheimer menunjukkan, berdasarkan bukti 
genetik, iklim dan arkeologi, bahwa manusia modern dari Afrika menyebar 
melalui jalur tunggal ke Sundalandia. Semua kelompok non-Afrika saat ini
 adalah keturunan dari penyebaran ini, dengan pengecualian beberapa 
autosom (7% atau kurang) yang berasal dari campuran dengan beberapa 
kelompok non-Afrika kuno. Terbukti bahwa terdapat penyebaran cepat 
melalui pantai Samudera Hindia ke Kalimantan dan Bali di ujung Paparan 
Sunda. Permukaan laut yang rendah pada Zaman Es memungkinkan penyebaran 
berikutnya ke Paparan Sahul, yang kemudian terisolasi cukup lama karena 
naiknya permukaan laut sampai masa pasca-glasial dimana para pelayar 
dari kepulauan Asia Tenggara menemukannya.
Gambar 12 – Peta yang menunjukkan jalur migrasi selatan tunggal dari 
Afrika dan jalur migrasi pantai dari Laut Merah di sepanjang pantai 
Indo-Pasifik ke Australia, termasuk kecenderungan ekstensi ke Tiongkok, 
Jepang dan Papua. Vegetasi yang tampak adalah pada Maksimum Glasial 
Terakhir. (Sumber: Oppenheimer, 2013)
Pada tahun 2012, Jinam et al menentukan 86 urutan genom DNA 
mitokondria (mtDNA) lengkap dari empat masyarakat adat Malaysia, 
bersama-sama dengan analisis ulang terhadap data autosomal tunggal 
nukleotid polimorfisme (SNP) di Asia Tenggara untuk menguji kewajaran 
dan dampak model migrasi. Tiga kelompok Austronesia (Bidayuh, Selatar, 
dan Temuan) menunjukkan frekuensi tinggi haplogrup mtDNA, yang berasal 
dari daratan Asia 30,000–10,000 tahun lalu, tetapi terdapat frekuensi 
yang rendah penanda “Keluar dari Taiwan”. Analisis komponen utama dan 
analisis filogenetik menggunakan data SNP autosomal menunjukkan dikotomi
 antara kelompok Austronesia benua dan pulau. Mereka berpendapat bahwa 
baik mtDNA dan data autosomal menyarankan migrasi “Rangkaian Awal” yang 
berasal dari Indocina atau Tiongkok Selatan sekitar masa 
akhir-Pleistosen sampai awal-Holosen, yang mendahului, tetapi belum 
tentu mengecualikan, ekspansi Austronesia.
Karafet et al (2014), melalui sebuah studi Y-DNA, mendukung 
hipotesis bahwa Asia Tenggara adalah pusat diversifikasi garis keturunan
 haplogrup K di Oseania dan menggarisbawahi pentingnya potensi Asia 
Tenggara sebagai sumber variasi genetis untuk populasi Eurasia. Struktur
 filogenetis haplogrup K-M526 menunjukkan peristiwa percabangan yang 
berturut-turut (M526, P331 dan P295), yang tampaknya telah secara cepat 
terdiversifikasi. Kecuali P-P27, semua garis keturunannya saat ini 
terdapat Asia Tenggara dan Oseania. Struktur filogenetis haplogrup 
K-M526 dibagi menjadi empat subklade utama (K2a-d). Yang terbesar dari 
subklade ini, K2b, dibagi lagi menjadi dua kelompok: K2b1 dan K2b2. K2b1
 menggabungkan haplogrup sebelumnya yang dikenal dengan M, S, K-P60 dan 
K-P79, sedangkan K2b2 terdiri dari haplogrup P dan sub haplogrupnya, Q 
dan R.
Menariknya, kelompok monofiletis yang dibentuk oleh haplogrup Q dan R, 
yang membentuk mayoritas garis keturunan patrilinial di Eropa, Asia 
Tengah dan Amerika, merupakan satu-satunya subklade K2b yang ternyata 
tidak terbatas secara geografis di Asia Tenggara dan Oseania saja. 
Perkiraan interval waktu peristiwa percabangan antara M9 dan P295 
menunjukkan proses diversifikasi awal K-M526 yang cepat, yang 
kemungkinan terjadi di Asia Tenggara, yang kemudian mengekspansi ke arah
 barat menjadi nenek moyang haplogrup Q dan R. Menariknya lagi, bukti 
DNA purba menunjukkan bahwa haplogrup R1b – garis keturunan yang dominan
 saat ini di Eropa Barat – mencapai frekuensi yang tinggi setelah 
periode Neolitikum Eropa seperti yang ditunjukkan oleh Lacan et al dan Pinhasi et al.

Gambar 13 – Filogeni haplogrup K (Karafet et al, 2014)
Gambar 14 – Penyebaran keturunan haplogrup K2 (Karafet et al, 2014)
Analisis rinci yang menggabungkan data DNA mitokondria (mtDNA), kromosom-Y dan genome dalam studi yang dilakukan oleh Soares et al dari University of Minho di Portugal dan diterbitkan dalam jurnal Human Genetics pada
 2016, menunjukkan rangkaian peristiwa yang jauh lebih rumit. mtDNA dan 
kromosom-Y yang ditemukan di Kepulauan Pasifik telah ada di kepulauan 
Asia Tenggara jauh lebih awal dari 4.000 SM, yang menimbulkan keraguan 
yang serius terhadap teori “Keluar dari Taiwan”. Soares et al 
berpendapat bahwa lanskap dan permukaan laut yang berubah sekitar 11.500
 tahun lalu menyebabkan ekspansi yang signifikan dari Indonesia 8.000 
tahun lalu. Ekspansi ini, yang merupakan penemuan tim, menunjukkan bahwa
 populasi di seluruh Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik berbagi mtDNA 
dan kromosom-Y yang sama. Hasil studi tim tersebut juga menunjukkan 
adanya gelombang minor migrasi yang mungkin mengarah pada penyebaran 
bahasa Austronesia.
Migrasi dari Asia Tenggara ke Madagaskar telah dibuktikan dengan studi 
hubungan linguistik antara bahasa Madagaskar dengan bahasa Barito 
Kalimantan dan telah dikonfirmasi dengan penelitian genetik. Analisis 
genetik serupa juga telah diterapkan pada tanaman, dan dengan 
mempelajari terminologi nama-nama yang digunakan juga telah menunjukkan 
migrasi tersebut (Claude Allibert, 2011). Migrasi orang-orang Asia 
Tenggara ke Madagaskar berasal dari bagian selatan Sulawesi (Bugis) dan 
Kalimantan (Maanyan). Kemiripan karakteristik antropologi budaya dan 
agama, seperti keyakinan tentang kembaran anak dan hewan, dan juga 
praktek penguburan ganda (terdapat di Filipina), menguatkan indikator 
kaitan genetik dan linguistik mereka.
Peradaban Sungai
Sungai menyediakan aliran dan pasokan air yang terus menerus atau yang 
selalu dapat diandalkan untuk transportasi, pertanian dan bahan makanan 
bagi manusia. Sungai-sungai tersebut bersama dengan iklim, vegetasi, 
geografi dan topografi menjadikan awal berkembangannya peradaban sungai.
 Selain itu, sementara masyarakat dari peradaban tersebut bergantung 
pada sungai, sungai juga menjadi tempat awalmulanya inovasi baru dan 
perkembangan teknologi, ekonomi, kelembagaan dan organisasi. Budaya 
sungai adalah tempat lahirnya peradaban maritim.
Sungai-sungai besar dengan lahan yang subur terdapat di Sundalandia pada
 Zaman Es. Besar kemungkinan bahwa peradaban di Sundalandia berawal di 
sungai-sungai tersebut. Karena laut juga tidak dapat terpisahkan dari 
kehidupan mereka, maka tumbuhnya peradaban hingga menjadi besar adalah 
di sekitar muara sungai. Kenaikan permukaan laut dan bencana banjir atau
 tsunami yang berulang-ulang menyebabkan mereka untuk berpindah ke 
tempat yang lebih tinggi, di pegunungan. Sarana transportasi yang ada 
pada waktu itu hanyalah sungai, sehingga mereka berpindah ke 
daerah-daerah hulu sungai. Peradaban kuno dan yang masih berlanjut 
sampai sekarang telah diamati dan mereka berada di daerah-daerah hulu 
sungai besar.
Gambar 15 – Peradaban sungai di Sundalandia
Teori Atlantis di Sundalandia
Beberapa penulis telah secara khusus menyatakan hubungan yang jelas 
antara Sundalandia dan Atlantis-nya Plato. Dataran bawah laut Sunda 
adalah cukup cocok dengan deskripsi Plato tentang Atlantis. Topografi, 
iklim, flora dan faunanya bersama-sama dengan aspek mitologi lokal, 
semuanya menjadi hal yang meyakinkan untuk mendukung ide ini.
CW Leadbeater (1854-1934), seorang teosopis ternama, adalah mungkin yang
 pertama menunjukkan adanya hubungan antara Atlantis dan Indonesia dalam
 bukunya, The Occult History of Java. Peneliti-peneliti lain 
telah menulis tentang prasejarah daerah tersebut, diantaranya yang 
paling dikenal adalah mungkin Stephen Oppenheimer yang dengan tegas 
menempatkan Taman Eden di wilayah ini, meskipun ia hanya menyebut 
sedikit referensi mengenai Atlantis. Robert Schoch, bekerjasama dengan 
Robert Aquinas McNally, menulis sebuah buku dimana mereka menunjukkan 
bahwa bangunan piramida mungkin memiliki asal-usul dari sebuah peradaban
 yang berkembang di bagian-bagian Sundalandia yang kini terendam.
Buku pertama yang secara khusus mengidentifikasi Sundalandia dengan 
Atlantis ditulis oleh Zia Abbas. Namun, sebelumnya telah ada setidaknya 
dua publikasi internet yang membahas secara rinci perihal Atlantis di 
Asia Tenggara. William Lauritzen dan almarhum Profesor Arysio Nunes dos 
Santos keduanya mengembangkan situs internet secara luas. Lauritzen juga
 telah menulis sebuah e-book yang tersedia dalam situsnya, sementara 
Santos mengembangkan pandangannya tentang Atlantis di Asia melalui 
bukunya, Atlantis: The lost continent finally found. Dr Sunil 
Prasannan membuat sebuah esai yang menarik didalam website Graham 
Hancock. Sebuah situs yang lebih esoteris juga menyampaikan dukungan 
mengenai teori Sundalandia.
Dukungan lebih lanjut tentang Atlantis di Indonesia terjadi pada April 2015 dengan penerbitan buku, Atlantis: The lost city is in Java Sea
 oleh seorang pakar hidrologi, Dhani Irwanto, yang berupaya untuk 
mengidentifikasi fitur kota yang hilang dalam rincian narasi Plato 
dengan suatu lokasi di Laut Jawa lepas pantai pulau Kalimantan.
Referensi
Stephen Oppenheimer, Out-of-Africa, the peopling of continents and islands: tracing uniparental gene trees across the map, Philosophical Transactions of The Royal Society B (2012) 367, 770–784
Andreia Brandão, Ken Khong Eng, Teresa Rito, Bruno Cavadas, David 
Bulbeck, Francesca Gandini, Maria Pala, Maru Mormina, Bob Hudson, Quantifying the legacy of the Chinese Neolithic on the maternal genetic heritage of Taiwan and Island Southeast Asia, Human Genetics, April 2016, Volume 135, Issue 4, pp 363-376
Tatiana M Karafet, Fernando L Mendez, Herawati Sudoyo, J Stephen Lansing and Michael F Hammer, Improved phylogenetic resolution and rapid diversification of Y-chromosome haplogroup K-M526 in Southeast Asia, European Journal of Human Genetics (2015) 23, 369–373
Pedro A Soares et al, Resolving the ancestry of Austronesian-speaking populations, Human Genetics Volume 135, Issue 3, pp 309-326, March 2016
Timothy A. Jinam, Lih-Chun Hong, Maude E Phipps, Mark Stoneking, Mahmood
 Ameen, Juli Edo, HUGO Pan-Asian SNP Consortium and Naruya Saitou, Evolutionary
 History of Continental Southeast Asians: “Early Train” Hypothesis Based
 on Genetic Analysis of Mitochondrial and Autosomal DNA Data, Society for Molecular Biology and Evolution 29(11):3513–3527,  June 2012
Dhani Irwanto, Atlantis: The lost city is in Java Sea, Indonesia Hydro Media, 2015
***
Hak cipta © 2015, Dhani Irwanto












 
 
 
No comments:
Write komentar