Monday, September 27, 2010

KISAH NYATA

 

KISAH NYATA

Tujuh Kali Naik Haji Tidak Bisa Melihat Ka'bah

Sebagai seorang anak yang berbakti kepada orang tuanya, Hasan (bukan
nama sebenarnya), mengajak ibunya untuk menunaikan rukun Islam yang
kelima. Sarah (juga bukan nama sebenarnya), sang Ibu, tentu senang
dengan ajakan anaknya itu. Sebagai muslim yang mampu secara materi,
mereka memang berkewajiban menunaikan ibadah Haji. Segala perlengkapan
sudah disiapkan. Singkatnya ibu anak-anak ini akhirnya berangkat ke
tanah suci. Kondisi keduanya sehat wal afiat, tak kurang satu apapun.
Tiba harinya mereka melakukan thawaf dengan hati dan niat ikhlas menyeru
panggilan Allah, Tuhan Semesta Alam. "Labaik allahuma labaik, aku datang
memenuhi seruanMu ya Allah". Hasan menggandeng ibunya dan berbisik,
"Ummi undzur ila Ka'bah (Bu, lihatlah Ka'bah)." Hasan menunjuk kepada
bangunan empat persegi berwarna hitam itu. Ibunya yang berjalan di sisi
anaknya tak beraksi, ia terdiam. Perempuan itu sama sekali tidak melihat
apa yang ditunjukkan oleh anaknya.

Hasan kembali membisiki ibunya. Ia tampak bingung melihat raut wajah
ibunya. Di wajah ibunya tampak kebingungan. Ibunya sendiri tak mengerti
mengapa ia tak bisa melihat apapun selain kegelapan. beberapakali ia
mengusap-usap matanya, tetapi kembali yang tampak hanyalah kegelapan.
Padahal, tak ada masalah dengan kesehatan matanya. Beberapa menit yang
lalu ia masih melihat segalanya dengan jelas, tapi mengapa memasuki
Masjidil Haram segalanya menjadi gelap gulita. Tujuh kali Haji Anak yang
sholeh itu bersimpuh di hadapan Allah. Ia shalat memohon ampunan-Nya.
Hati Hasan begitu sedih. Siapapun yang datang ke Baitulah, mengharap
rahmatNYA. Terasa hampa menjadi tamu Allah, tanpa menyaksikan segala
kebesaran-Nya, tanpa merasakan kuasa-Nya dan juga rahmat-Nya. Hasan
tidak berkecil hati, mungkin dengan ibadah dan taubatnya yang
sungguh-sungguh, Ibundanya akan dapat merasakan anugrah-Nya, dengan
menatap Ka'bah, kelak. Anak yang saleh itu berniat akan kmebali membawa
ibunya berhaji tahun depan. Ternyata nasib baik belum berpihak
kepadanya. Tahun berikutnya kejadian serupa terulang lagi. Ibunya
kembali dibutakan di dekat Ka'bah, sehingga tak dapat menyaksikan
bangunan yang merupakan symbol persatuan umat Islam itu. Wanita itu
tidak bisa melihat Ka'bah.

Hasan tidak patah arang. Ia kembali membawa ibunya ke tanah suci tahun
berikutnya. Anehnya, ibunya tetap saja tak dapat melihat Ka'bah. Setiap
berada di Masjidil Haram, yang tampak di matanya hanyalah gelap dan
gelap. Begitulah keganjilan yang terjadi pada diri Sarah. hingga
kejadian itu berulang sampai tujuh kali menunaikan ibadah haji. Hasan
tak habis pikir, ia tak mengerti, apa yang menyebabkan ibunya menjadi
buta di depan Ka'bah. Padahal, setiap berada jauh dari Ka'bah,
penglihatannya selalu normal. Ia bertanya-tanya, apakah ibunya punya
kesalahan sehingga mendapat azab dari Allah SWT?. Apa yang telah
diperbuat ibunya, sehingga mendapat musibah seperti itu ? Segala
pertanyaan berkecamuk dalam dirinya. Akhirnya diputuskannya untuk
mencari seorang alim ulama, yang dapat membantu permasalahannya.
Beberapa saat kemudian ia mendengar ada seorang ulama yang terkenal
karena kesholehannya dan kebaikannya di Abu Dhabi (Uni Emirat).

Tanpa kesulitan berarti, Hasan dapat bertemu dengan ulama yang dimaksud.
Ia pun mengutarakan masalah kepada ulama yang saleh ini. Ulama itu
mendengarkan dengan seksama, kemudian meminta agar Ibu dari hasan mau
menelponnya. anak yang berbakti ini pun pulang.

Setibanya ditanah kelahirannya, ia meminta ibunya untuk menghubungi
ulama di Abu Dhabi tersebut. Beruntung, sang Ibu mau memenuhi permintaan
anaknya. Ia pun mau menelpon ulama itu, dan menceritakan kembali
peristiwa yang dialaminya di tanah suci. Ulama itu kemudian meminta
Sarah introspeksi, mengingat kembali, mungkin ada perbuatan atau
peristiwa yang terjadi padanya di masa lalu, sehingga ia tidak mendapat
rahmat Allah.

Sarah diminta untuk bersikap terbuka, mengatakan dengan jujur, apa yang
telah dilakukannya. "Anda harus berterus terang kepada saya, karena
masalah Anda bukan masalah sepele," kata ulama itu pada Sarah. Sarah
terdiam sejenak. Kemudian ia meminta waktu untuk memikirkannya.

Tujuh hari berlalu, akan tetapi ulama itu tidak mendapat kabar dari
Sarah. Pada minggu kedua setelah percakapan pertama mereka, akhirnya
Sarah menelpon.

"Ustad, waktu masih muda, saya bekerja sebagai perawat di rumah
sakit,"cerita Sarah akhirnya. "Oh, bagus.....Pekerjaan perawat adalah
pekerjaan mulia," potong ulama itu. "Tapi saya mencari uang
sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara, tidak peduli, apakah cara saya
itu halal atau haram," ungkapnya terus terang. Ulama itu terperangah. Ia
tidak menyangka wanita itu akan berkata demikian. "Disana...." sambung
Sarah, "Saya sering kali menukar bayi, karena tidak semua ibu senang
dengan bayi yang telah dilahirkan. Kalau ada yang menginginkan anak
laki-laki, padahal bayi yang dilahirkannya perempuan, dengan imbalan
uang, saya tukar bayi-bayi itu sesuai dengan keinginan mereka." Ulama
tersebut amat terkejut mendengar penjelasan Sarah. "Astagfirullah......"
betapa tega wanita itu menyakiti hati para ibu yang diberi amanah Allah
untuk melahirkan anak. bayangkan, betapa banyak keluarga yang telah
dirusaknya, sehingga tidak jelas nasabnya.

Apakah Sarah tidak tahu, bahwa dalam Islam menjaga nasab atau keturunan
sangat penting. Jika seorang bayi ditukar, tentu nasabnya menjadi tidak
jelas. Padahal, nasab ini sangat menentukan dalam perkawinan, terutama
dalam masalah mahram atau muhrim, yaitu orang-orang yang tidak boleh
dinikahi. "Cuma itu yang saya lakukan," ucap Sarah. "Cuma itu ?" tanya
ulama terperangah.

"Tahukah anda bahwa perbuatan Anda itu dosa yang luar biasa, betapa
banyak keluarga yang sudah Anda hancurkan !". ucap ulama dengan nada
tinggi. "Lalu apa lagi yang Anda kerjakan ?" tanya ulama itu lagi
sedikit kesal. "Di rumah sakit, saya juga melakukan tugas memandikan
orang mati." "Oh bagus, itu juga pekerjaan mulia," kata ulama. "Ya, tapi
saya memandikan orang mati karena ada kerja sama dengan tukang sihir."
"Maksudnya ?". tanya ulama tidak mengerti. "Setiap saya bermaksud
menyengsarakan orang, baik membuatnya mati atau sakit, segala perkakas
sihir itu sesuai dengan syaratnya, harus dipendam di dalam tanah. Akan
tetapi saya tidak menguburnya di dalam tanah, melainkan saya masukkan
benda-benda itu ke dalam mulut orang yang mati."

"Suatu kali, pernah seorang alim meninggal dunia. Seperti biasa, saya
memasukkan berbagai barang-barang tenung seperti jarum, benang dan
lain-lain ke dalam mulutnya. Entah mengapa benda-benda itu seperti
terpental, tidak mau masuk, walaupun saya sudah menekannya dalam-dalam.
Benda-benda itu selalu kembali keluar. Saya coba lagi begitu seterusnya
berulang-ulang. Akhirnya, emosi saya memuncak, saya masukkan benda itu
dan saya jahit mulutnya. Cuma itu dosa yang saya lakukan." Mendengar
penuturan Sarah yang datar dan tanpa rasa dosa, ulama itu berteriak marah.
"Cuma itu yang kamu lakukan ?". "Masya Allah....!!! Saya tidak bisa
bantu anda. Saya angkat tangan". Ulama itu amat sangat terkejutnya
mengetahui perbuatan Sarah. Tidak pernah terbayang dalam hidupnya ada
seorang manusia, apalagi ia adalah wanita, yang memiliki nurani begitu
tega, begitu keji. Tidak pernah terjadi dalam hidupnya, ada wanita yang
melakukan perbuatan sekeji itu. Akhirnya ulama itu berkata, "Anda harus
memohon ampun kepada Allah, karena hanya Dialah yang bisa mengampuni
dosa Anda." Bumi menolaknya. Setelah beberapa lama, sekitar tujuh hari
kemudian ulama tidak mendengar kabar selanjutnya dari Sarah. Akhirnya ia
mencari tahu dengan menghubunginya melalui telepon.

Ia berharap Sarah telah bertobat atas segala yang telah diperbuatnya. Ia
berharap Allah akan mengampuni dosa Sarah, sehingga Rahmat Allah datang
kepadanya. Karena tak juga memperoleh kabar, ulama itu menghubungi
keluarga Hasan di mesir. Kebetulan yang menerima telepon adalah Hasan
sendiri. Ulama menanyakan kabar Sarah, ternyata kabar duka yang diterima
ulama itu. "Ummi sudah meninggal dua hari setelah menelpon ustad," ujar
Hasan. Ulama itu terkejut mendengar kabar tersebut. "Bagaimana ibumu
meninggal, Hasan ?". tanya ulama itu. Hasanpun akhirnya bercerita :
Setelah menelpon sang ulama, dua hari kemudian ibunya jatuh sakit dan
meninggal dunia. Yang mengejutkan adalah peristiwa penguburan Sarah.
Ketika tanah sudah digali, untuk kemudian dimasukkan jenazah atas ijin
Allah, tanah itu rapat kembali, tertutup dan mengeras. Para penggali
mencari lokasi lain untuk digali. Peristiwa itu terulang kembali. Tanah
yang sudah digali kembali menyempit dan tertutup rapat. Peristiwa itu
berlangsung begitu cepat, sehingga tidak seorangpun pengantar jenazah
yang menyadari bahwa tanah itu kembali rapat. Peristiwa itu terjadi
berulang-ulang. Para pengantar yang menyaksikan peristiwa itu merasa
ngeri dan merasakan sesuatu yang aneh terjadi. Mereka yakin, kejadian
tersebut pastilah berkaitan dengan perbuatan si mayit.

Waktu terus berlalu, para penggali kubur putus asa dan kecapaian karena
pekerjaan mereka tak juga usai. Siangpun berlalu, petang menjelang,
bahkan sampai hampir maghrib, tidak ada satupun lubang yang berhasil
digali. Mereka akhirnya pasrah, dan beranjak pulang. Jenazah itu
dibiarkan saja tergeletak di hamparan tanah kering kerontang. Sebagai
anak yang begitu sayang dan hormat kepada ibunya, Hasan tidak tega
meninggalkan jenazah orang tuanya ditempat itu tanpa dikubur. Kalaupun
dibawa pulang, rasanya tidak mungkin. Hasan termenung di tanah
perkuburan seorang diri. Dengan ijin Allah, tiba-tiba berdiri seorang
laki-laki yang berpakaian hitam panjang, seperti pakaian khusus orang
Mesir. Lelaki itu tidak tampak wajahnya, karena terhalang tutup
kepalanya yang menjorok ke depan. Laki-laki itu mendekati Hasan kemudian
berkata padanya," Biar aku tangani jenazah ibumu, pulanglah!", kata
orang itu.

Hasan lega mendengar bantuan orang tersebut, Ia berharap laki-laki itu
akan menunggu jenazah ibunya. Syukur-syukur mau menggali lubang untuk
kemudian mengebumikan ibunya. "Aku minta supaya kau jangan menengok ke
belekang, sampai tiba di rumahmu, "pesan lelaki itu. Hasan mengangguk,
kemudian ia meninggalkan pemakaman. Belum sempat ia di luar lokasi
pemakaman, terbersit keinginannya untuk mengetahui apa yang terjadi
dengan jenazah ibunya.

Sedetik kemudian ia menengok ke belakang. Betapa pucat wajah Hasan,
melihat jenazah ibunya sudah dililit api, kemudian api itu menyelimuti
seluruh tubuh ibunya. Belum habis rasa herannya, sedetik kemudian dari
arah yang berlawanan, api menerpa wajah Hasan. Hasan ketakutan. Dengan
langkah seribu, ia pun bergegas meninggalkan tempat itu. Demikian yang
diceritakan Hasan kepada ulama itu. Hasan juga mengaku, bahwa separuh
wajahnya yang tertampar api itu kini berbekas kehitaman karena terbakar.
Ulama itu mendengarkan dengan seksama semua cerita yang diungkapkan
Hasan. Ia menyarankan, agar Hasan segera beribadah dengan khusyuk dan
meminta ampun atas segala perbuatan atau dosa-dosa yang pernah dilakukan
oleh ibunya. Akan tetapi, ulama itu tidak menceritakan kepada Hasan, apa
yang telah diceritakan oleh ibunya kepada ulama itu.

Ulama itu meyakinkan Hasan, bahwa apabila anak yang soleh itu memohon
ampun dengan sungguh-sungguh, maka bekas luka di pipinya dengan ijin
Allah akan hilang. Benar saja, tak berapa lama kemudian Hasan kembali
mengabari ulama itu, bahwa lukanya yang dulu amat terasa sakit dan panas
luar biasa, semakin hari bekas kehitaman hilang. Tanpa tahu apa yang
telah dilakukan ibunya selama hidup, Hasan tetap mendoakan ibunya. Ia
berharap, apapun perbuatan dosa yang telah dilakukan oleh ibunya, akan
diampuni oleh Allah SWT.

No comments:
Write komentar

Silahkan isi komentar Anda disini

E-learning

Produk Rekomendasi