Monday, January 31, 2011

Teori Pembangunan Politik

 


  1. Teori Modernisasi-Liberalisme, Indeks Politik, Institusionalisasi dan Kebijakan  Negara

KONSEP “pembangunan politik” muncul pada mulanya masa perang dingin. Setelah Perang Dunia II, sikap yang berlaku di Amerika Serikat (AS) terhadap Dunia Ketiga menyerupai Eropa: jika AS tidak mendorong kemajuan ekonomi dan stabilitas politik, maka kawasan-kawasan ini akan menjadi komunis. Mendasari bantuan asing adalah perhitungan yang bijak, dan komunisme akan kehilangan himbauannya begitu perut manusia kenyang. Robert Packenham melaporkan bahwa ketika pejabat pemberi bantuan ditanya pada pertengan tahun 1960-an bagaimana mereka memandang pembangunan, “salah satu respon yang paling umum adalah, dalam kenyataannya, bahwa pembangunan politik adalah stabilitas politik anti-komunis, pro-Amerika. (Robert Packenham, 1973) Teori yang berlaku adalah bahwa dengan kemakmuran/kekayaan, alam akan berbuat sekehendakhatinya dan lembaga-lembaga perwakilan, pluralisme, stabilitas politik, suatu corak non-ideologis, dan suatu kebijaksanaan luar negeri pro-Amerika akan otomatis cocok. Lebih khusus, kemajuan dianggap muncul sebagai hasil komunikasi lebih baik, sebuah transformasi nilai-nilai dan budaya politik, dan juga perkembangan sektor-sektor institusional yang spesifik – yaitu partai-partai politik dan birokrasi.
Bagaimanapun, selama pasca-kemerdekaan 1950-an dan 1960-an, pembuktian yang menggelisahkan mulai mengakumulasi bahwa pertumbuhan ekonomi dan modernisasi tidak terelakkan telah dipikirkan pertama-tama. Masalah utama yang diidentifisir adalah seperti kurangnya personil terampil. Hasilnya yakni administrasi pembangunan, yang membantu memperkuat kapasitas administrasi melaksanakan program pembangunan. Contoh terdekat dalam bidang administrasi pembangunan ini adalah Fred W. Tiggs “Introduction”, dalam Riggs (Ed.), Frontiers of Development Administration (Durham, N.C. 1970); Dwight Waldo (Ed.), Temporal Dimensions of Development Administration (Durham, N.C. 1970); dan juga Ralph Braibanti (Ed.), Political and Administrative Development (Durham, N.C. 1969). Administrasi pembangunan berhubungan dengan hanya satu segment politik, bagaimanapun. Dua “buku utama” yang mempertegas perhatian mereka terhadap kapasitas pembangunan dalam melaksanakan program pembangunan ekonomi adalah Political Order in Changing Societies oleh Samuel Huntington, dan Crises and Sequence in Political Development oleh Leonard Binder dkk.
Sasaran untuk membantu melaksanakan program pembangunan ini sesungguhnya bermula dari periode (1954 – 1964) studi pembangunan politik yang mendominir oleh karya kelompok Panitia Majelis Riset Ilmu-Ilmu Sosial Amerika Serikat, yang dipimpin oleh Gabriel Almond antara 1945 dan 1963. Panitia itu terkenal sebagai The United States Social Science Research Counsil’s Comittee on Comparative Politics. Pertumbuhan ilmu politi di Amerika telah memiliki aspek yang tidak berkelanjutan dan juga aspek yang bertambah. Pada sebelum Perang Dunia II, aneka ragam issu dan masalah yang membingungkan dari perubahan sosial dan politik internal yang cepat memusatkan perhatian pada panggung domestik, dan menggiring spirit yang lebih berpetualangan ke dalam eksperimentasi dan studi metodologis dalam bidang hubungan antara struktur dan proses sosial, formasi pribadi (personality), proses dan prilaku politik. Inovasi intelektual seperti teori psiko-analisis dan teori politico-sosiologis Weber, Durkheim, Pareto, Tonnies, dan lain-lain, menemukan penerimaan lebih dalam beberapa komuniti akademis di Amerika ketimbang di negara-negara asal mereka sendiri. Studi pemerintahan-pemerintahan asing selama dekade ini terus sangat diwarnai oleh pendekatan/aliran formalisme legal. Tema tentang kualitas dan atribut dari berbagai bentuk masyarakat politik adalah perhatian sentral dari teori politik orang-orang Yunani sepanjang abad ke-19. Tetapi, menurut Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell Jr., dalam dekade awal abad ke-20 dua bidang yang terpisah, dengan nteori politik menjadi suatu subjek historis yang esensial, dan perbandingan pemerintahan asing menjadi studi formal dan deskriptif dari adi kuasa Eropa Barat (Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell Jr., 1966).
Dampak Komite/Panitia Almond ini cukup luas dalam suasana perkembangan segmen-segmen ilmu-ilmu sosial, dan mencerminkan optimisme pasca Perang Dunia II bahwa pertumbuhan ilmu-ilmu sosial “ilmiah” akan membentuk basis bagi latihan/penggunaan rasional dalam perekayasaan sosial. Industrialisasi dan urbanisasi yang cepat di Amerika, tantangan status adi kuasa yang didramatisir dengan partisipasi pada Perang Dunia I, keterkejutan dan dislokasi dari depresi, dan perubahan saling berhubungan dalam struktur dan proses sistem politik Amerika, menggerakkan energi kader yang sedang tumbuh ilmuwan politik Amerika ke dalam studi sendiri dan kepercayaan diri. Pada 1950-an muncul lagi kesadaran dan perasaan banyak komuniti ilmu sosial bahwa masalah-masalah ekonomi yang utama pada masyarakat-masyarakat industri bisa dikendalikan atau dipecahkan; kemiskinan telah menurun; pengangguran telah ditekan sampai ketingkat terbawah; dan pendidikan serta kesejahteraan telah mulai mengurangi ketidakmerataan dalam masyarakat industri. Andaikata ada masalah yang tidak terpecahkan, itu semata dinilai sebagai masalah teknis dan seyogianya dapat dipecahkan dengan keahlian yang semakin maju. Masalah-masalah itu tidak dinilai secara filsafat dan normatif/formalisme. Intinya kemudian para ilmuwan sosial lebih mengarahkan dirinya pada peningkatan teknis.
Keberhasilan ini juga perlu dipandang dalam konteks keberhasilan demokrasi liberal yang bertentangan dengan kegagalan Fasime dalam perang dan gangguan ke dalam mana Marxisme telah gagal sebagai hasil dari ekses Stalinisme. Masyarakat Barat industri maju telah dimapankan sebagai masyarakat yang baik untuk mana rakyat kolonial dapat dikendalikan dengan suatu proses penuntunan (guidance) dan diffusi (diffusion). Latar belakang semacam ini sangat perlu bagi pertumbuhan studi negara-negara sedang berkembang. Einsenstadt menilai, semua karya modernisasi pada intinya menggunakan pendekatan dichotomis, yang meminjam karya teoritisi evolusioner abad ke-17. Mereka membangun skema berdasarkan atas perbandingan variabel-variabel tipe ideal dari tradisi dan modernitas. Eisenstadt berkata: “... process of change towards... those type of social, economic and political systems that have developed in Western Europe and North America from the seventeenth century to the nineteenth and then have spread to other European countries and in the nineteenth and twenttieth centuries to the South American, Asian and African continents” (Einsenstadt, 1966).
Sebagaimana diungkapan di atas, pengalaman dan penilaian ilmuwan sosial, khususnya ilmuwan politik, atas situasi masyarakat industri Barat ini rupanya mempengaruhi tradisi intelektual mereka dalam membangun teori-teori sosial-politik yang mencoba menjelaskan perubahan-perubahan dalam masyaraat Dunia Ketiga atau terbelakang, seperti Indonesia. Bermula dari perbandingan realitas masyarakat mereka, masyarakat Dunia Ketiga menjadi sasaran penelitian. Pendekatan dikotomis yang turut mempengaruhi tradisi intelektual semacam ini cukup terkenal adalah karya Daniel Lerner, The Passing of Traditional Society, yang menjelaskan bahwa berlakunya masyarakat tradisional Timur Tengah juga berlakunya banyak kehidupan tradisional. Urbanisasi datang dari dulu karena hanya kota-kota saja yang dapat menumbuhkan ekonomi industrial modern. Artinya, kemajuan teknologi dan industrialisasi menjadikan masyarakat memperoleh surat kabar, radio, film, televisi secara massif dan pada gilirannya mendorong peranserta dalam pembangunan. Maka urbanisasi, melek huruf dan pembangunan media massa menjadi variabel penentu dalam pembangunan bangsa.
Pendekatan dikotomis yang melanda juga ilmuwan politik membutuhkan dan menekankan pentingnya “grand theory”, terutama bagi Panitia Almond. Ada tiga bentuk dasar literatur sehubungan dengan ini:
Pertama, secara teoritis berhubungan dengan studi kasus seperti David Apter tentang Ghana dalam karyanya, Ghana in Transition (Princenton: Princenton University Press, 1975); J.S. Coleman, Nigeria: Background to Nationalism (Berkeley: University of California Press, 1958) dan Lucian Pye tentang Birma, Politics, Personality and Nation Building: Burma’s Search for Identity (New Haven: Yale University Press, 1962);
Kedua, volume-volume Princeton University Press, yang merupakan koleksi the Comparative Politics Comittee on Political Development: La Palombara (Ed.), Bureaucracy and Political Development, 1963; Lucian Pye (Ed.), Cominication and Political Development, 1963; Ward dan Rustow, Political Modernisation in Japan and Turkey, 1964; Coleman (Ed.), Education and Political Development, 1965; Lucian Pye dan Verba (Eds.), Political Culture and Political Development, 1965; La Palombara dan Weiner (Eds.), Political Parties and Political Development, 1966; dan Binder dkk, Crises and Sequences in Political Development, 1971;
Ketiga, volume-volume yang umumnya lebih teoritis dalam seri Little Brown, yang paling penting diantaranya adalah Almond dan Verba, The Civic Culture (Boston: Little Brown, 1963); dan Almond dan Powel, Comparative Politics; A Development Approach, 1966; serta Lucian Pye, Aspects of Political Development, 1966.
Hubungan literatur-literatur pembangunan politik dalam pase kedua ini amat dipengaruhi juga oleh ideologi “developmentalisme”, yang mendapat bantuan dari teori modernisasi yang lebih komprehensif dari ilmu-ilmu sosial, tersebutlah di sini kalangan Weberian. Para penganut weberian cenderung mengajukan tradisi sebagai pra-negara, pra-rasional dan pra-industrial, yang menekankan bahwa bila negara-negara terbelakang mau berkembang, mereka harus mengikuti bagaimana masyarakat Barat menjalani tahap-tahap semacam itu. Dalam khasanah ilmu politik liberal terungkap dengan penggunaan konsep-konsep seperti fungsi input, output, konversi, timbal-balik, sosialisasi politik, rekruitmen politik, artikulasi politik (kepentingan), komunikasi politik dan lain sebagainya. Mereka selalu berupaya meyakinkan bahwa teori-teori politik semacam ini universal dan bisa diberlakukan di masyarakat-masyarakat terbelakang. Memang, untuk mengajarkan pendekatan dikotomis Weberian dan sistem fungsional kepada para mahasiswa ilmu politik lebih meyakinkan karena logik sintetik dapat disuguhkan secara mengagumkan sebagaimana ilmuwan fisika menguraikan prinsip-prinsip dan teori-teori alam, yang logico-emperisme (Logico-emperisme adalah sebuah tradisi intelektual, yang berprinsip: tiada perbedaan antara fenomena sosial dan fenomena alam, karenanya tiada perbedaan antara studi fenomena sosial dan studi fenimena alam; agar segenap ilmu pengetahuan harus dapat membuktikan dirinya melalui kepastian dari observasi sistematik yang menjamin “intersubjektivitas”).
Di Indonesia, pendekatan semacam ini masih begitu mewarnai pelajaran ilmu politik, bahkan tanpa mempertimbangkan dan mengajukan evaluasi kritis tentang asumsi-asumsi, teori-teori, dan konsep-konsep yang sesungguhnya diambil dari pengalaman sejarah masyarakat Barat.
Perkembangan teori pembangunan politik semacam ini memasuki pase ketiga (pasca-behavioralisme), Huntington adalah ilmuwan politik yang cukup berpengaruh dalam pase ketiga ini, menolak gagasan akan unilineritas teori modernisasi yang diajukan sebelumnya, terutama mengenai dislokasi-dislokasi yang muncul dalam proses modernisasi. Karyanya Political Order in Changing Societies (1968), menekankan pentingnya tertib politik sebagai tujuan perubahan politik yang bisa dihampiri seperti kita menghampiri pertumbuhan ekonomi dalam teori pertumbuhan atas dasar GNP perkapita sepertimana yang dikembangkan oleh kalangan Keynesian. Metode indeks dalam ekonomi digunakan oleh Huntington untuk mengukur tertib politik, misalnya ada atau tidak kekerasan, kudeta, pemberontakan dan bentuk-bentuk instabilitas lain. Indeks tertib politik ini kemudian dapat dikuantifikasikan.
Metode indeks adalah suatu upaya untuk memecahkan masalah pembangunan ekonomi dan perubahan sosial melalui “comparative statics” dari tipe-tipe ideal yang berlawanan. Model ini, juga sebaliknya memiliki dua varian utama: pendekatan variabel pola (the pattern variable approach) dan pendekatan tahap historis (the historical stage approach). Umumnya kedua varian ini punya asumsi bahwa keterbelakangan merupakan suatu suasana asli yang dapat dikarakteristikkan dengan indeks tentang “tradisionalitas”. Lebih jauh, dalam rangka mengembangkan, negara-negara terbelakang harus membuang karakteristik-karakteristik ini dan mengadopsi karakteristik-karakteristik negara-negara maju (yaitu “modernisasi”).
Pendekatan variabel pola lebih senang menggunakan variabel-variabel pola Parsonian terhadap studi negara-negara terbelakang tertentu atau wilayah-wilayah terbelakang tertentu Dunia Ketiga. Ada lima variabel pola masing-masing yang mengkarakteristikkan berbagai aspek masyarakat “tradisional” dari orientasi nilai, variabel-variabel ini adalah: (1) universalisme-partikularisme; (2) spesifitas-diffussenness; (3) achievement-ascription; (4) netralitas ofektif-affektivitas; (5) orientasi kolektivitas dan orientasi diri (Talcott Parsons, 1951). Apa yang ditekankan oleh Parsons dan para pengikutnya adalah bahwa masyarakat “tradisional” (misalnya, negara-negara terbelakang) harus menyingkirkan struktur normatif “partikularistik” menuju sistem “universalitas”, menyingkirkan “diffuseness” peranan menuju “spesifikasi” peranan, dan menyingkirkan “ascription” dari satu tempat dalam masyarakat menuju “achievement” dari posisi sosial. Adalah jelas bahwa apa yang diinginkan oleh teoritis Parsonian terhadap negara-negara terbelakang yaitu mengikuti implementasi dari sebuah kebijaksanaan “pembangunan”. Solusi bagi keterbelakangan, menurut mereka membutuhkan suatu penetrasi lebih besar prinsip-prinsip ekonomi modern dan institusi-institusi ekonomi modern, seperti “pasar bebas”, “perniagaan bebas”, dan “sistem perpajakan modern”, “rasionalisasi negara”, dan seterusnya. Dalam suasana sosial, “masyarakat tradisional” memiliki mobilitas sosial yang tidak cukup dan mendapatkan selayaknya “ascription” posisi sosial dan kurangnya “motivasi achievement” di kalangan individu. Dalam kerangka kebudayaan, maka itu berarti bahwa nilai-nilai tertentu seperti kerja keras, dan “orientasi achievement” yang berkaitan dengan “fondasi-fondasi filososfis” negara-negara maju tidak hadir pada negara-negara terbelakang. Dengan demikian, menurut teoritis ini, pembangunan membutuhkan program yang akan menanamkan nilai-nilai yang tetap ke dalam individu-individu dan memodernkan institusi-institusi, dan dalam prosesnya, negara-negara ini akan beralih dari suasana “tradisionalitas” ke suasana “masyarakat modern”.
Dalam aspek politik, Huntington menekankan indeks pembangunan politik sebagai tertib politik hanya bergantung pada hubungan antara pertumbuhan institusi politik dan kekuatan-kekuatan sosial baru. Fokus perubahan politik menjadi hubungan antara partisipasi politik dan intitusionalisasi politik. Sumber utama ekspansi partisipasi politik disebutkan sebagai proses sosio-ekonomi yang non-politik dan dapat diidentifikasi sebagai modernisasi. Huntington juga menekankan bahwa pembedaan politik yang paling penting antara negara-negara tidak terletak pada bentuk pemerintahannya melainkan derajat pemerintahannya; dan menyebutkan bahwa masalah utama politik adalah keterlambatan dalam pembangunan institusi-institusi politik di samping perubahan sosial dan ekonomi. Ia juga menyarankan agar ilmuwan politik dapat memberikan kontribusi dengan mempelajari berbagai krisis yang dihadapi masyarakat politi selama pembangunan mereka.
Paling tidak atas dasar pemikiran di atas, Huntington lalu menelaah masyarakat Dunia Ketiga sebagai masyarakat “praetorian”; mobilisasi atau tingat partisipasi politik massa cenderung berjalan terlalu cepat dibandingkan dengan institusionalisasi politik. Ia lalu percaya, pembangunan politik selaras dengan tingkat mobilisasi sosial, munculnya kekuatan sosial baru dan partisipasi politik yang mengikutinya. Politi “praetorian”, atau lebih tertuju pada “political decay” (1965) muncul tatkala arena politik dibanjiri oleh kekuatan eksogenus (kepentingan terorganisir, militer, mahasiswa, suku bangsa, dll). Tertib politik muncul ketika autoritas yang mapan menggunakan kontrol dengan sukses. Konsep itu kemudian menggelapkan legitimasi dari cara-cara yang digunakan oleh pemerintah untuk memelihara kekuasaan. Dengan begitu, konsep tertib politik ini menolak bahayanya pemilikan kekuasaan oleh pemerintah yang begitu kuat (bagaimanapun ketatnya institusionalisasi itu), dan etidak-tertiban yang berasal dari represi/penekanan bersanksi secara resmi.
Kritik atas Huntington ini paling jelas ditemuan dari Mark Kesselman, yang menyebutkan bahwa konsep tertib politik tidaklah netral: konsep itu meletakkan beban ketidak-tertiban pada lapisan lebih rendah yang menentang kaum elite. “Decay” menunjukkan hanya pada gangguan status quo oleh lapisan lebih rendah. Ketidak-tertiban (disorder) yang merupakan hasil karena penguasa dan institusi berkuasa yang menggunakan kekerasan (coersion) gagal membatasinya. Juga authoritas dapat menganggu status quo lebih besar ketimbang dengan lapisan lebih bawah, bisa menciptakan status quo yang tahan menghadapi syarat-syarat elemental komuniti politik. Dengan mempertimbangkan ketidak-tertiban sebagai sebuah fungsi mobilisasi melupakan ketidak-tertiban yang diadakan oleh mereka yang berupaya untuk menjamin hak-hak (Mark Kesselman, 1973).
Penekanan pada tertib politik sebagai pase kedua (behavioralisme) diperkuat lagi oleh sebuah kelompok/komite dari AS, terdiri dari Leonard Binder, James S. Coleman, Josep La Palombara, Lucian W. Pye, Sidney Verba, Myron Weiner, yang tulisan mereka dapat ditemukan dalam Crises and Sequences in Political Development (1971). Karya ini merupakan karya kumulatif yang lebih maju dari Komite, menyediakan sebuah garis utama antara pase kedua dan pase ketiga (pasca-behavioralisme), yang memberikan perhatian atas kapasitas pemerintah untuk menanggapi atau menentukan tuntutan-tuntutan tertentu. Lebih deat dengan tipe ideal dan variabel pola dari Parsonian, para ilmuwan politik terakhir ini lebih memandang pembangunan politik sebagai kemampuan sistem politik dalam menanggulangi lima krisis: legitimasi, identitas, partisipasi, penetrasi dan distribusi. Kemampuan pemerintah secara khusus berarti kemampuan elite penguasa, dan krisis dipandang dari perspektif ancaman akan posisi elite dan kepentingan elite untuk memelihara tertib politik. Posisi pemikiran semacam ini lebih terungkap di dalam bab-bab tentang legitimasi Lucian W. Pye, partisipasi politi Weiner, penetrasi dan kapasitas pemerintah La Palombara.
Kontinuitas dan perubahan teori pembangunan politi mengambil tempat kemudian pada karya Seymour Lipset, Political Man (1981), yang berbicara tentang perlunya stabilitas politik untu pembangunan ekonomi. Persoalan-persoalan besar ekonomi telah dikaitkan dengan pembangunan politik. Lipset menekankan, stabilitas demokrasi bergantung bukan saja pada pembangunan ekonomi, melainkan juga pada efetivitas dan legitimasi sistem politik. Intinya, Lipset menekankan bahwa untuk menciptakan demokrasi politik perlu terlebih dahulu diperoleh pendapatan ekonomi masyarakat yang tinggi dan untuk mencapai pendapatan atau pertumbuhan ekonomi semacam itu perlu pula pemerintahan yang efektif. Lipset tidak lagi mempersoalkan apakah elite penguasa itu berasal dari golongan militer atau sipil, yang penting bukan komunis. Kontroversi dalam tradisi liberalisme cukup jelas dalam konteks demokrasi di Dunia Ketiga, yakni di satu pihak mereka menuntut demokrasi politik di negerinya, dan di lain pihak mereka mensikapi Dunia Ketiga dengan penekanan bahwa tidak perlu meyakinkan ilmuwan politik tentang demokrasi politik sebagai prasyarat penting untuk pembangunan ekonomi.
Perkembangan berikutnya muncul dari pengungkapan konsep “kebijakan”, yang tentunya mempunyai hubungan dengan ilmu kebijakan, studi kebijakan, analisis kebijakan, proses kebijakan dan kebijakan negara. Konsep ini muncul karena ketidapuasan terhadap teori pembangunan politik sebelumnya.
Dalam studi negara-negara terbelakang, kebijakan lebih banyak digunakan dalam pengertian luas. Kebijakan sering menunjukkan secara tidak langsung pada nilai-nilai dan kesadaran sosial seperti mana proses dan pilihan-pilihan. Kebijakan juga dapat dipandang sebagai sinomin dari kata “kegiatan negara”. Penganalisis negara baru cukup tertarik dengan terminologi itu karena negara dinilai memainkan peranan penting. Mereka kembali menelaah tentang peranan negara dalam masyarakat terbelakang. Dalam banyak hal, bentuk analisis negara ini berkaitan erat dengan bentuk analisis ekonomi. Ilmu ekonomi mengambil bagian didalamnya dan amat membantu statusnya sebagai ilmu sosial yang relatif maju dalam batas-batas perkembangan teori. Kalau “grand theory” pada 1960-an dapat diatakan dan dikarakteristikkan sebagai penjelasan tentang sejumlah besar kasus dengan daya eksplanasi yang rendah, sedangkan pendekatan kebijakan negara ini bisa jadi tergolong sebuah upaya bentuk analisis dengan daya eksplanasi yang lebih effektif. Sebagaimana Ilchman dan Uphoff (1969) menyebutkan: “Policy oriented social science adopts levels and kinds of explanation that can be tested and verified as a consequence of public choice” (Ilchman dan N.T. Uphoff, 1969).
Pentingnya analisis kebijakan negara bertentangan dengan teori politik behavioralisme pada 1960-an. Periode formalime legal menekankan pentingnya negara dan institusi; dan periode behavioralisme memperhatikan sentralitas sistem politik dan input sebagaimana sosialisasi politik, kultur politik dan sistem kepercayaan – misalnya, lingkungan sosio-psikologis sistem politik terhadap perluasan proses dan output kebijakan. Pertumbuhan kebijakan negara yang semakin populer mewakili, dalam banya hal, outcome (hasil) dialektis dari antagonisme institusionalisme dan behavioralisme dalam ilmu politik. Analisis kebijakan mewakili suatu perubahan substansial perhatian oleh kalangan ilmuwan politik dalam dua hal: pertama, analisis itu mengubah fokus tahun 1960-an dari input ke output; kedua, analisis itu mengubah fokus dari politik makro dari bentuk analisis ke politik mikro dari bentuk eksperiensial dan kontekstual. Analisis kebijakan adalah sebuah perubahan perhatian dari sistem dalam mana politik bekerja ke strategi dari dan untu ativitas politik. Untuk memusatkan perhatian pada strategi adalah melihat kebijkan negara dalam konteks pemecahan masalah dan pilihan negara sebagaimana bertentangan dengan sebuah produk dari sistem politik tertentu.
Perkembangan ilmuwan politik ke bentuk-bentuk analisis ekonomi dan semain pentingnya analisis kebijakan, tentu saja, sangat berhubungan. Sesungguhnya, keterlibatan panjang dengan analisis kebijakan membantu memperhitungkan untuk statusnya sebagai ilmu sosial yang paling maju dalam batas-batas perkembangan teori. Aplikasi studi kebijakan dan perkembangannya di negara-negara baru dalam kenyataannya beberapa tahun di samping perkembangannya untuk penggunaan di dalam masyarakat-masyarakat industri.
Sesungguhnya, sukar untu mengkhususkan apa yang berbagao pengarang sebutkan sebagai analisis kebijakan, namun Albert Hirschman mungkin salah satu tokoh analisis kebijakan di Dunia Ketiga, menyebutkan bahwa menelaah kebijakan negara dalam kenyataannya semata-mata suatu cara lain untuk memperhatikan hubungan negara, masyarakat dan politik (Albert Hirschman, 1975). Ada perubahan dari teori modernisasi pada tahun 1960-an menuju tumbuhnya penggunaan pendekatan kebijakan negara dalam studi negara-negara Dunia Ketiga berdasarkan atas suatu kumpulan pembuktian yang agak kecil, namun meskipun demikian sedang tumbuh. Pembuktian sejauh ini meliputi dua bentuk. Pertama, bentuk statemen luas tentang perubahan umum dalam studi ilmu politik secara keseluruhan. Kedua, statemen khusus tentang fusi (gabungan) ekonomi dan politik ke dalam apa yang disebut oleh Ilchman dan Uphoff sebagai “ekonomi politik baru”.
Karya yang paling baik menunjukkan adanya kontinuitas dan perubahan dalam teori modernisasi yang berkaitan dengan pemanfaatan aplikasi pendekatan kebijakan negara adalah edisi kedua Gabriel Almond dan Bingham Powel, Comparative Politics, yang diterbitkan pada tahun 1978. Edisi pertamanya muncul pada 1966 dengan sub-judul A Development Approach; kemudian edisi kedua dengan sub-judul System, Proses and Policy. Lebih jauh, edisi revisi ini mengandung sebuah bagian ahir baru dengan judul “Public Policy” yang mencakup satu bab panjang tentang “ekonomi politik pembangunan”. Perubahan ini, dalam apa yang terdapat pada salah satu buku ilmu politik sangat berpengaruh pada tahun 1960-an, tercermin dalam ungkapan pengarang itu sendiri, yang menyebutkan bahwa dalam edisi pertama mereka menekankan mode analisis sosiologis, antropologis dan psikologis, dan pada edisi kedua mereka memperluas perlakuan mereka atas kebijakan negara. “Our discussion of public policy and its consequences leads us to adopt a political economy approach”, kata Almond dan Powell.
Perhatian pada pendekatan kebijakan dalam masyarakat-masyarakat non-industri pada dasarnya beraitan dengan pemecahan masalah, manajemen dan pemeliharaan, tetapi dalam suatu konteks yang terbatas. Meskipun perhatian atas hubungan yang menunjukkan kontras tajam dengan karya tahun 1960-an, namun ada derajat yang tinggi kontinuitas dengan literatus teori modernisasi. Ini pasti mempengaruhi cara dalam mana pendekatan-pendekatan kebijakan negara yang baru terhadap negara-negara terbelakang seyogyanya dipahami atau diterima. Pada tingat bahwa literatur tentang kebijakan negara di Dunia Ketiga berkaitan dengan kemampuan pusat (centre) untu menggunakan kekuasaan dan authoritas politik dan administratif atas pinggiran (periphery), literatur itu berbeda sedikit dari teori modernisasi pada akhir 1960-an. Perbedaan antara literatur awal 1960-an dan 1970-an adalah teoritis modernisasi cenderung menganggap kehadiran kekuasaan yang tersentralisir sementara penulis 1970-an seperti karya Huntington dkk., The Crises of Democracy (New York: Columbia University Press, 1975), dan Binder dkk., Crises and Sequences in Political Development (1971) tidak membuat asumsi semacam itu.
Kebijakan negara tentang pembangunan juga tidak terbebas dari kritik, yang mengajukan pertama sekali masalah transfer metode analisis yang ditemukan dalam situasi masyarakat industri Barat ke lingkungan non-industri. Masalah-masalah semacam ini muncul juga dalam ilmu politik selama 1950-an dan 1960-an, dan nampaknya tidak ada alasan mengapa masalah-masalah ini secara misterius menghilang pada tahun 1970-an dan 1980-an. Namun demikian, dapat diperkiraan beberapa faktor yang membatasi prospek transfer yang dibutuhkan. Pertama, akar intelektual analisis kebijakan berada dalam model-model proses sistem David Easton, dalam The Political System: An Inquiry into the State of Political Science (Chicago: University of Chicago Press, Edisi Pertama 1953 dan Edisi kedua 1971), yang nampaknya tidak cocok dengan Dunia Ketiga sebagai lingkungan yang secara khusus dikarakteristikkan dengan kelemahan institusi dan struktur pemerintahan. Di Barat, telah ada kecenderungan untuk memperhatikan input (partai politik, kelompok penekan, fungsi artikulasi dan agregasi) dengan mengorbankan output. Juga, dalam Dunia Ketiga sebuah situasi yang mendominir dalam mana kepentingan amat jarang diartikulasikan atau diagregasikan dan input kebijakan sering tidak mungkin mengidentifisir secara jelas. Faktor kedua yang membatasi aplikasi pendekatan berorientasi kebijakan secara berhasil dalam masyarakat non-industri berasal dari asal mula yang lebih luas, meskipun tidak eksklusif, pendekatan dalam tradisi pluralisme ilmu politik. Inti pokok tradisi ini adalah sebuah kepercayaan bahwa kebijakan dibuat oleh suatu tawar-menawar politik dan bahwa kebijakan mewakilkan penyesuaian antara tuntutan-tuntutan dan penekanan kelompok yang bersaing. Konsekuensinya, kebijakan tidak dapat selalu diantisipasi atau secara radikal diubah, kecuali semata dimodefikasi.

  1. Teori Pembangunan Radikal: Sebuah Basis Intelektual Yang Berbeda Dari Teori Modernisasi

Teori modernisasi, atau lebih khusus lagi, ilmu politik tentang pembangunan politik, telah mengalami suatu metamorphosis intelektual yang sangat terisolir dari teori pembangunan “radikal”. Secara filsafat ilmu-ilmu sosial, tradisi intelektual yang dikembangkan oleh teoritisi modernisasi ini umumnya tergolong kelompok logico-emperisme klasik, yang menganggap bahwa tiada perbedaan prinsipil antara studi fenomena sosial dan studi fenomena alam. Mereka condong menegaskan kesatuan metodologi melalui ilmu-ilmu fisika, sehingga ilmu-ilmu sosial pun mengambil tempat di tengah-tengah antara ilmu-ilmu alam. David Easton, misalnya, ilmuwan politik yang paling terkenal berupaya memasukkan ilmu politik ke dalam jajaran ilmu alam dengan menekankan bahwa semua fenomena politik mengandung regularitas (keteraturan). Disiplin-disiplin semacam ini telah mencapai status otonom di universitas-universitas Barat sejak abad lalu, namun abad ke 17 dan 18 kekuatan-kekuatan yang memunculkannya sudah mulai mengambil tempat. Pada abad ke 17 dan 18 kaum rasionalisasi membangun sistem berpikir dengan berupaya membangun ulang premis pertama kebudayaan Kristen Barat atas dasar rasional. Mereka juga menilai Revolusi Perancis sebagai gerakan yang memungkinkan universalisasi sistem itu, sekalipun kemudian kebingungan masih bermunculan akan status ilmiah ilmu-ilmu sosial semacam itu.
Kalangan ilmuwan politik Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, lebih menganut perspektif liberalisme dari ilmuwan politik AS. Kepada pelajar ilmu politik Dunia Ketiga ini, komuniti ilmu politik AS mengajarkan secara meyakinkan seperti “pembangunan politik”, “teori-teori politik”, “komunikasi politik”, “perbandingan sistem politik”, “Sosiologi politik”, dan bahkan “sistem politik negeri mereka sendiri” dengan terlebih dahulu menggunakan model analisis sistem (input-output, konversi, artikulasi, agregasi, dll), misalnya mata pelajaran “sistem politik Indonesia”, yang penggunaan kata “sistem” saja sudah menunjukkan posisi dalam perspektif liberalisme (teori modernisasi) dari ilmu politik.
Di antara negara-negara Dunia Ketiga, yang mengalami pengaruh teori modernisasi dalam pembangunan politik sangatlah bervariasi, namun secara umum dapat disebutkan melalui dua cara. Pertama, hubungan Barat dan Dunia Ketiga yang lebih menonjol dalam aspek ekonomi perlu mendapat dukungan dari aspek non-ekonomi, yaitu ilmu pengetahuan dan politik, yang termanifestasi ke dalam bentuk beasiswa cuma-cuma maupun utang ke AS khususnya. Para ilmuwan sosial, dan juga ilmuwan politik, yang mengajar di universitas-universitas Dunia Ketiga dengan beasiswa ini meneruskan studinya AS, yang di sana bertemu dengan kelompok ilmuwan sosial yang mengembangkan teori-teori modernisasi dengan berbagai alternatif bagi “kepentingan” Dunia Ketiga dalam pembangunan politik khususnya. Secara sadar atau tidak kurikulum yang ditawarkan kepada pelajar dari Dunia Ketiga ini sedemikian rupa sehingga terbenam dalam studi pembangunan politik tradisi intelektual liberalisme, yang tidak memberi alternatif lain sebagai pembanding secara proporsional.
Setelah pelajar ilmu politik itu dinilai lulus dari persyaratan-persyaratan yang dibuat oleh universitas di mana mereka studi di AS, mereka kembali ke negerinya dan mengajarkan tidak jauh dari apa yang diperolehnya di AS itu. Di Indonesia, ada universitas yang memiliki ilmuwan politik cukup berpengaruh untuk perkembangan ilmu politik, universitas Indonesia dan universitas Gadjah Mada, misalnya, menunjukkan indikasi semacam itu. Dua universitas ini sangat dominan mempengaruhi kalangan ilmuwan politik kita, dan tradisi intelektual yang diberikan dan ditransferkan juga liberalisme. Kebanyakan staf pengajar ilmu politik di seantero Indonesia berasal dari kedua universitas ini, dan kemudian mereka ketika mengajar di universitas tempat mereka bekerja, tradisi intelektual liberalisme itu pun mereka ajarkan dan berikan kepada mahasiswa. Itulah sebabnya, mata pelajaran-mata pelajaran dalam ilmu politik di Indonesia cenderung memiliki keseragaman.
Cara yang kedua adalah melalui bahan bacaan (literatur) ilmu politik yang berasal dari negara-negara Barat, terutama AS. Karena dominan literatur di perpustakaan kita mendapat sumbangan dari AS, maka bagaimanapun juga sumbangan itu berkaitan dengan kepentingan AS, yaitu mengembangkan tradisi intelektual liberalisme. Literatur-literatur itu kemudian di baca, diajarkan dan dijadikan buku wajib kepada mahasiswa.
Melalui buku-buku ini, berkembang pula publikasi terjemahan yang diperjual-belikan kepada masyarakat umum. Di Indonesia misalnya, kita menemukan terjemahan semacam itu melalui penerbit-penerbit komersial. Tanpa mengabaikan kontribusi mereka terhadap literatur ilmu politik kita, mereka sudah turut membantu lancarnya upaya AS mewarnai tradisi intelektual kaum ilmuwan politik kita.
Fenomena semacam ini mendapat reaksi dari kalangan ilmuwan ekonomi dan politik, yang mencoba mengajukan konsep-konsep seperti surplus, kelas, dependensia, imperialisme dan cara produksi, serta berasumsi bahwa masalah-masalah keterbelakangan adalah bagian dari pada corak yang terintegrasi dari kapitalisme global. Sebagaimana diketahui, baik munculnya teori pembangunan “radikal” ini akibat ketidakpuasan dengan peranan Economic Commission for Latin America (ECLA) dan khususnya dengan kegagalannya, selama Dekade Pembangunan PBB pertama, yang mempersoalkan tumbuhnya masalah-masalah pada tahun 1960-an. Pada 1963, Raul Presbisch membuat garis besar esensi-esensi dari apa yang dikenal sebagai posisi “strukturalis” dalam pembangunan ekonomi. Meskipun elemen-elemen posisinya telah digarisbesarkan pada awal 1950, atau beberapa memberikan argumentasi bahkan awal 1945 dalam karya Albert O. Hirschmann, tetapi posisi itu tidak terkenal sampai dengan karya Andre Gunder Frank mulai tampil pada pertengahan 1960-an hingga posisi strukturalis mulai mendapatkan penerimaan populer. Frank meletakan penolakan strukturalis akan kapabilitas diffusionis perdagangan internasional, transfer kapital dan teknologi dari dunia maju ke dunia terbelakang dan memformulasikan gagasan-gagasannya sendiri ke dalam thesis “development of underdevelopment”. Frank meletakkan penolakan strukturalis tentang eksploitasi dan hubungan yang eksploitatif antara negara-negara maju dan Dunia Ketiga, yang terbelakang setelah bekerjasama dengan sistem kapitalis internasional. Pembangunan dan keterbelakangan dipandang sebagai berkaitan dalam suatu hubungan kausal dalam mana industri maju Barat dapat berkembang karena Barat menjadikan Dunia Ketiga sebagai terbelakang.
Belakangan ini perspektif politik ekonomi dalam posisi tradisi intelektual semacam ini mulai dikembangkan oleh ilmuwan politik sebagaimana juga ilmuwan sosial, yang termanifestasi ke dalam thesis/teori ketergantungan (dependensia), yang mencoba melihat situasi politik ekonomi Dunia Ketiga dengan memasukkan variabel kapitalisme global, hubungan kelas atau elite dan massa, perjuangan politik rakyat berdaulat dan pada gilirannya kesadaran politik dalam pengertian budaya. Pada intinya posisi ini mengkaitkan faktor ekonomi dan faktor politik dalam menelaah kehidupan politik Dunia Ketiga. Salah satu ciri khas posisi ini adalah kemunculannya dari kajian-kajian tentang masyarakat-masyarakat terbelakang itu sendiri, awalnya Amerika Latin. Ilmuwan sosial lain yang termasuk penganut dan pengembang posisi ini adalah Theotovia dos Santos (1978), Fernando Henrique Cardoso (1980), Samir Amin (1976), W. Rodney (1972), dan juga kalau di Indonesia adalah Sritua Arief dan Adi Sasono (1980). Umumnya kalangan teoritisi semacam ini muncul bukan dari kubu universitas, melainkan kbu-kubu di lembaga-lembaga non-pemerintah dan non-universitas.
Kritik terhadap teori dependensia juga muncul dari kalangan lain, terutama dari kritik orthodoks dan radikal yang mengalami tumpang tindih dalam penolakan khusus mereka. Ritik orthodoks misalnya, terhadap keseksamaan dan level generalitas hipotesis “development of underdevelopment”, yang mengajukan ambiguitas pembedaan-pembedaan antara dependensia dan interdependensia. Tidak ada negeri yang autarkis. Pertumbuhan bergantung bukanlah unik bagi Dunia Ketiga dan harus dipandang sebagai suatu gambaran esensial dari pertumbuhan kapitalis pada umumnya.
Teori dependesia atau perspektif politik ekonomi, yang mencoba mengkaitkan variabel ekonomi dan politik, faktor internasional dalam situasi politik negara-negara terbelakang atau Dunia Ketiga ini kurang, kalau tidak boleh dikatakan sama sekali tiada, mendapat tempat dalam karya-karya dan pemikiran-pemikiran ilmuwan politik Indonesia. Salah satu sebabnya, mungkin karena pertimbangan kepentingan pribadi ilmuwan itu sendiri, atau mungkin juga karena tidak/kurang diketahui secara dalam tradisi intelektual ini. Namun, demi kemajuan dan peningkatan kualitas ilmuwan politik kita, perlu perluasan perspektif yang bukan saja perspektif modernisasi/liberalisme, melainkan perspektif politik ekonomi, termasuk di dalamnya teori dependensia. Semakin banyak kita mengetahui teori-teori politik, termasuk kelebihan dan kelemahannya, semakin bijaksana kita memilih dan menggunakan teori politik dalam menelaah fenomena, situasi, realitas politik obyektif masyarakat-masyarakat Dunia Ketiga.
Berdasarkan alasan itulah, tulisan ini sengaja saya publikasikan, karena saya merasakan dan menyadari betapa “terpenjaranya” para pelajar ilmu politik dalam perspektif modernisasi-liberalisme selama ini, yang bagaimana pun juga tidak membuat sehat suasana akademis karena tidak adanya alternatif lain ditawarkan kepada mahasiswa dan komuniti kampus, kecuali perspektif modernisasi-liberalisme yang itupun baru sebagian saja.
Bentuk konkrit dari realisasi peningkatan ilmu politik yang kaya dengan alternatif tradisi intelektual atau adanya proporsi yang seimbang antara perspektif modernisasi dan politik ekonomi versi teoritisi dependensia ini adalah pemberian mata pelajaran/kuliah misalnya “Politik Ekonomi”, “Sosiologi Pembangunan”, atau seminar “Teori-teori pembangunan”. Di dalam masing-masing mata pelajaran ini akan terlihat jelas bagaimana kalangan strukturalis atau politik ekonomi memahami fenomena-fenomena politik dan ekonomi pada masyarakat-masyarakat terbelakang (Dunia Ketiga), tentu juga masyarakat Indonesia. Agar supaya dampak dari pengajaran perspektif semacam ini tidak menjadikan mahasiswa sebagai penganut atau mengikut perspektif ini secara “membabi buta” tanpa kritis, maka perlu dimasukkan juga bagaimana teoritisi lain mengkritik teori-teori dalam politik ekonomi ini. Evaluasi kritis dalam tingkat teori perlu dibiasakan bukan saja dalam mata pelajaran semacam ini, juga pada teori-teori modernisasi-liberalisme yang selama atau akan diberikan kepada mahasiswa. Semakin luas cakrawala berpikir mahasiswa mungkin akan semakin bijaksana mereka memilih teori yang tepat untuk mereka aplikasikan dalam menganalisis atau memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat politik khususnya.

DAFTAR PUSTAKA

Fakih, Mansour. 2006, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Cetakan ke-IV, Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Giddens, Anthony. 2000, The Third Way: Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.


2 comments:
Write komentar
  1. Vanligtvis bilder:
    http://strapon.erolove.in/?CARISSA
     fot fotled smärta alice smith skola kent skoldistrikt lärare gepard flicka fest gangbang liza harper söta yngsta heta sex modeller Gallery Närliggande monster kuk e243 Bobbi Starr cyklister av kuk xxx wmv cumbuckets stor svart fitta åsnor video

    ReplyDelete

Silahkan isi komentar Anda disini

E-learning