Wednesday, August 25, 2010

MERESUMEHUKUM INTERNASIONAL

 

MERESUME

HUKUM INTERNASIONAL


 

Pengertian, Batasan, dan Istilah Hukum Internasional

Hukum Internasional : Pengertian dan Batasan

Hukum Perdata Internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara.

Hukum Internasional Publik ialah kesuluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara ( hubungan internasional ) yang bukan bersifat perdata.

Dari uraian di atas tampak persamaan dan perbedaan yang terdapat antara hukum internasional publik dan hukum perdata internasional. Persamaannya ialah bahwa keduanya mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (internasional). Perbedaannya terletak dalam sifat hukum hubungan atau persoalan yang diaturnya (objeknya).

Yang jelas ialah bahwa hubungan atau persoalan internasional demikian bukan merupakan persoalan perdata, sehingga bukan pula merupakan hubungan atau persoalan yang diatur hukum perdata internasional.

Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara :

  1. negara dengan negara
  2. negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain


     

Istilah Hukum Internasional

Istilah hukum bangsa – bangsa (law of nations, droit de gens, Voelkerrecht) berasal dari istilah hukum Romawi ius gentium. Ius gentium yaitu kaidah dan asas hukum yang mengatur antara orang romawi dengan orang bukan Romawi dan antara orang bukan romawi satu sama lain.

Hukum bangsa – bangsa akan dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan (hukum) yang berlaku dalam hubungan antara raja – raja zaman dahulu, ketika hubungan demikian baik karena jarangnya maupun karena sifat hubungannya, belum dapat dikatakan merupakan hubungan antara anggota suatu masyarakat bangsa – bangsa.

Hukum antarbangsa atau hukum antarnegara akan dipergunakan untuk menunjuk pada kompleks kaidah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa – bangsa atau negara – negara yang kita kenal sejak munculnya negara dalam bentuknya yang modern sebagai negara nasional (nation-state).


 

Bentuk perwujudan khusus Hukum Internasional : Hukum Internasional Regional dan Hukum Internasional Khusus (spesial)

Dapat dikatakan bahwa di samping hukum internasional yang berlaku umum ( general ) terdapat pula hukum internasional regional, yang terbatas daerah lingkungan berlakunya, seperti misalnya apa yang lazim dinamakan hukum internasional Amerika atau hukum internasional Amerika Latin.

Sebagai contoh dapat di sebut konsep landas kontinen (continental shelf) dan konsep perlindungan kekayaan hayati laut (conservation of the living resources of the sea) yang mula – mula timbul di Benua Amerika.

Dengan demikian, hukum internasional regional dapat memberikan sumbangan berharga kepada hukum internasional regional dapat memberikan sumbangan berharga kepada hukum internasional yang benar – benar universal.

Beberapa bentuk hukum internasional khusus yang telah diterangkan diatas merupakan pencerminan keadaan, kebutuhan, taraf perkembangan dan tingkat integrasi yang berbeda – beda dari bagian masyarakat internasional yang berlainan.


 

  1. Hukum Internasional dan Hukum Dunia ( World Law )

Pengertian hukum internasional didasarkan atas pikiran adanya suatu masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah Negara yang berdaulat dan merdeka (independent) dalam arti masing – masing berdiri sendiri yang satu tidak di bawah kekuasaan yang lain. Dalam rangka pikiran ini tidak ada suatu badan yang berdiri di atas Negara – Negara, baik dalam bentuk negara dunia (world state) maupun badan suprasional yang lain. Dengan perkataan lain, hukum internasional merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota – anggota masyarakat internasional yang sederajat. Anggota masyarakat internasional tunduk pada hukum internasional sebagai suatu tertib hukum yang mereka terima sebagai perangkat kaidah dan asas yang mengikat dalam hubungan antar mereka. Pengertian Hukum Dunia (World Law, Weltstaarsrecht) berpangkal pada dasar pikiran yang lain.

Jika di antara dua kemungkinan ini kita memilih konsep yang pertama, hal itu disebabkan karena tertib hukum internasional yang mengatur masyarakat internasional yang terdiri dari anggota yang sederajat lebih sesuai dengan kenyataan dunia dewasa ini. Kemungkinan terwujudnya suatu negara dunia yang diatur oleh hukum dunia merupakan suatu hal yang pada waktu sekarang masih jauh dari kenyataan.

Namun demikian, dalam dekade terakhir fenomena dini kearah terwujudnya suatu hukum dunia adalah tidak mustahil. Fenomena ini tampak dengan terwujudnya sekumpulan kaidah – kaidah hukum perdagangan internasional yang bersumber pada Agreement Estabilishing the World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994. Dengan adanya perjanjian ini, negara – negara di dunia dapat dikatakan telah menyerahkan sebagian kedaulatan ekonominya mengenai perdagangan internasional secara full complience , pada kaidah – kaidah hukum internasional sebagiamana diatur oleh WTO, termasuk penyelesaian perselisihan perdagangan internasional yang lebih efektif. Sebagian besar negara – negara di dunia yang berjumlah lebih dari 125, telah menjadi peserta dari WTO; juga Indonesia, 2 November 1994 telah menyetujui menjadi negara peserta pada Perjanjian Pembentukan WTO dengan Undang – Undang No. 7 Tahun 1994.


 

                    Bab 2

Masyarakat dan Hukum Internasional

Adanya Masyarakat Internasional Sebagai Landasan Sosiologis Hukum Internasional

  1. Adanya suatu masyarakat internasional

Karena masyarakat internasional – berlainan dari suatu negara dunia merupakan kehidupan kehidupan bersama dari negara – negara yang merdeka dan sederajat, unsur pertama yang harus dibuktikan ialah adanya sejumlah negaradi dunia ini.

Adanya sejumlah besar negara di dunia ini merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi, dan jelas bagi setiap orang yang memperhatikan kehidupan sehari – hari. Pertama – tama yang harus dapat ditunjukkan adanya hubungan yang tetap antara anggota masyarakat internasional, apabila negara itu masing – masing hidup terpencil satu dari lainnya. Adanya hubungan yang tetap dan terus – menerus demikian, juga merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi. Hubungan demikian timbul karena adanya kebutuhan yang disebabkan antara lain oleh pembagian kekayaan alam dan perkembangan industri yang tidak merata di dunia. Misalnya, perniagaan yang bertujuan mempertukarkan hasil bumi dengan hasil industri merupakan salah satu hubungan terpenting yang terdapat antara bangsa – bangsa di dunia.

Saling membutuhkan antara bangsa – bangsa di berbagai lapangan kehidupan yang mengakibatkan timbulnya hubungan yang tetap dan terus – menerus antara bangsa – bangsa, mengakibatkan pula timbulnya kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubungan demikian. Karena kebutuhan antara bangsa – bangsa timbal balik sifatnya, kepentingan memelihara dan mengatur hubungan hubungan yang bermanfaat demikian merupakan suatu kepentingan bersama.

  1. Asas hukum yang bersamaan sebagai unsur masyarakat hukum internasional

Faktor pengikat yang nonmaterial ini ialah adanya asas kesamaan hukum antara bangsa – bangsa di dunia ini, betapapun berlainan wujudnya hukum positif yang berlaku di masing – masing negara tanpa adanya suatu masyarakat hukum bangsa – bangsa. Asas pokok hukum yang bersamaan ini yang dalam ajaran mengenai sumber hukum formal dikenai dengan asas hukum umum yang diakui oleh bangsa – bangsa yang beradab merupakan penjelmaan hukum alami (natuurrecht). Adanya hukum alami yang mengharuskan bangsa – bangsa di dunia ini hidup berdampingan secara damai dapat dikembalikan pada akal manusia (ratio) dan naluri untuk mempertahankan jenisnya (instinct for survival).

Pendekatan antara negara demokrasi Barat dan negara sosialis Timur setelah mula – mula mengalami masa kerenggangan dalam periode perang dingin tak lama sesudah perang dunia II, adalah akibat yang positif dan hikmat dari perkembangan teknologi persenjataan yang telah menghasilkan senjata pemusnah massal.

Kedua kelompok negara tersebut di atas yang dalam masa memuncaknya perang dingin merupakan dua macam masyarakat bangsa – bangsa yang masing – masing memiliki sistem ekonomi, politik, dan hukum yang sama sekali berlainan dan disangka didasarkan atas asas yang tidak dapat didamaikan sehingga seakan – akan tidak ada titik perpaduan di antaranya, kemudian ternyata memiliki cukup banyak unsur pokok yang sama.

Dengan demikian, ketakserasian antara negara demokrasi barat dan negara sosialis Timur, bukan merupakan suatu persoalan asasi dan mutlak, melainkan hanya merupakan soal berlainan kepentingan yang berdasarkan pandangan falsafah politik yang berlainan.


 

  1. Kedaulatan negara : hakikat dan fungsinya dalam masyarakat internasional

Menurut sejarah, asal kata kedaulatan yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah souvereignity berasal dari kata Latin superanus berarti yang teratas. Negara dikatakan berdaulat atau sovereign karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki negara. Bila dikatakan bahwa negara itu berdaulat, dimaksudkan bahwa negara itu mempunyai kekuasaan tertinggi.

Menurut asal katanya, kedaulatan memang berarti kekuasaan tertinggi. Negara berdaulat memang berarti bahwa negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari pada kekuasaannya sendiri.

Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas wilayah negara itu, artinya suatu negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayahnya.

Di luar wilayahnya, suatu negara tidak lagi memiliki kekuasaan demikian. Misalnya, negara A berbatasan dengan negara B, di luar batas wilayah negara A, tegasnya di wilayah negara B, bukan negara A melainkan B-lah yang memiliki kekuasaan tertinggi. Jadi, pengertian kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengandung dua pembatasan penting dalam dirinya, yaitu :

  1. kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu, dan
  2. kekuasaan itu berakhir di mana kekuasaan suatu negara lain mulai.

Jadi, pembatasan yang penting ini yang melekat pada pengertian kedaulatan itu sendiri dilupakan oleh orang yang beranggapan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh suatu negara menurut paham kedaulatan itu tidak terbatas


 

  1. .Masyarakat internasional dalam peralihan (transition) : perubahan – perubahan dalam peta bumi politik, kemajuan teknologi dan stuktur masyarakat internasional

Perubahan penting yang terjadi dalam konsep ilmu hukum yang berkenaan dengan perjanjian, kewajiban negara (responsibility of state), nasionalisasi, hukum laut publik, tidak perlu dikhawatirkan. Bahkan, harus dilihat sebagai proses pertumbuhan ke arah hukum internasional yang wajar, bebas dari berbagai konsep dan lembaga yang menggambarkan atau merupakan akibat dominasi bangsa – bangsa oleh beberapa bangsa di dunia ini.

Perkembangan kedua yang mempunyai akibat yang besar sekali terhadap perkembangan masyarakat internasional dan hukum internasional yang mengaturnya ialah kemajuan teknologi. Kemajuan teknik dalam berbagai alat perhubungan menambah mudahya perhubungan yang melintasi batas negara. Kemajuan teknologi persenjataan menimbulkan berbagai masalah baru dan keharusan meninjau kembali ketentuan mengenai hukum perang. Kemajuan dalam teknologi pengolahan kekayaan alam telah dan sedang mengakibatkan berbagai perubahan besar dalam konsep hukum laut dan timbulnya konsep baru untuk mengikuti perkembangan yang pesat ini.

Bab 3

Sejarah Hukum Internasional dan Perkembangannya


 

Hukum internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antara negara – negara, lahir dengan kelahiran masyarakat internasional yang didasarkan atas negara – negara nasional. Sebagai titik saat lahirnya negara – negara nasional yang modern biasanya diambil saat ditandatanganinya perjanjian perdamaian Westphalia yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa.

Perdamaian Westphalia dianggap sebagai peristiwa penting dalam sejarah hukum internasional modern. Bahkan, dianggap sebagai suatu peristiwa yang meletakkan dasar masyarakat internasional modern yang didasarkan atas negara – negara nasional. Sebabnya ialah karena dengan Perdamaian Westphalia ini telah tercapai hal sebagai berikut :

  1. selain mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun, Perjanjian Westphalia telah meneguhkan perubahan dalam peta bumi politik yang telah terjadi karena perang itu di Eropa;
  2. perjanjian perdamaian itu mengakhiri untuk selama – lamanya usaha Kaisar Romawi yang suci (The Holy Roman Emperor) untuk menegakkan kembali Imperium Roma yang suci;
  3. hubungan antara negara – negara dilepaskan dari persoalan hubungan kegerejaan dan didasarkan atas kepentingan nasional negara itu masing – masing dan
  4. kemerdekaan Negara Nederland, Swiss dan negara – negara kecil di Jerman diakui dalam Perjanjian Westphalia itu.

Dengan demikian, Perjanjian Westphalia telah meletakkan dasar bagi suatu susunan masyarakat internasional yang baru, baik mengenai bentuknya yaitu didasarkan atas negara – negara nasional ( tidak lagi didasarkan atas kerajaan – kerajaan ) maupun mengenai hakikat negara – negara itu dan Pemerintanya yakni pemisahan kekuasaan negara dan pemerintahan dan pengaruh gereja.

Ciri – ciri pokok yang membedakan organisasi atau susunan masyarakat internasional yang baru ini dari susunan masyarakat Kristen Eropa pada zaman abad pertengahan yang didasarkan atas sistem feodalisme adalah sebagai berikut :

  1. Negara merupakan satuan teritorial yang berdaulat. Setiap negara dalam batas wilayahnya mempunyai kekuasaan tertinggi yang eksklusif;
  2. Hubungan nasional satu dengan yang lainnya didasarkan atas kemerdakaan dan persamaan derajat
  3. Masyarakat negara – negara tidak mengakui kekuasaan di atas mereka seperti seorang kaisar pada zaman abad pertengahan dan Paus sebagai kepala gereja;
  4. Hubungan antara negara – negara berdasarkan atas hukum yang banyak mengambil oper pengertian lembaga hukum perdata hukum romawi;
  5. Negara mengakui adanya hukum internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antara negara – negara, tetapi menekankan peranan yang besar yang dimainkan negara dalam kepatuhan terhadap hukum ini;
  6. Tidak adanya mahkamah (internasional) dan kekuatan polisi internasional untuk memaksakan ditaatinya ketentuan hukum internasional;
  7. Anggapan terhadap perang yang dengan lunturnya segi – segi keagamaan beralih dari anggapan mengenai doktrin belum justum sebagai ajaran perang suci ke arah ajaran yang menganggap perang sebagai salah satu cara penggunaan kekerasan ( di samping represaille ) dalam penyelesaian sengketa yang mencapai tujuan kepentingan nasional ( perang yang benar ).

Dasar – dasar yang diletakkan dalam Perjanjian Westphalia di atas di perteguh lagi dalam Perjanjian Utrecht, yang penting artinya dilihat dari sudut politik internasional pada waktu itu karena menerima asas Keseimbangan Kekuatan sebagai asas politik internasional.

Dalam masa (periode) yang berakhir dengan diadakannya Konferensi Perdamaian Den Haag tahun 1907 di atas tadi, telah terjadi tiga hal yang penting yang dapat kita anggap sebagai ciri konsolidasi masyarakat internasional yang didasarkan atas negara – negara kebangsaan.

Pertama, negara sebagai kesatuan politik teritorial yang terutama didasarkan atas kebangsaan (nation state) telah menjadi kenyataan. Dalam tahap pertama pertumbuhan masyarakat internasional, yaitu sesudah terjadinya Perjanjian Westphalia, kekuasaan riil dalam negara masih berada dalam tangan raja.

Kedua, ialah diadakannya berbagai konferensi internasional yang dimaksudkan sebagai konferensi untuk mengadakan perjanjian internasional yang bersifat umum dan meletakkan kaidah hukum yang berlaku secara universal.

Ketiga, dibentuknya Mahkamah Internasional Arbitrase Permanen yang merupakan suatu kejadian penting dalam mewujudkan suatu masyarakat (hukum) internasional. Dengan dibentuknya Mahkamah Arbitrase Permanen ini dihidupkan kembali suatu lembaga penyelesaian pertikaian antara bangsa – bangsa yang telah merupakan suatu lembaga yang Ampuh dalam masyarakat bangsa – bangsa pada abad pertengahan Lembaga (institut) arbitrase sebagai satu cara penyelesaian persengketaan antar bangsa – bangsa banyak berkurang artinya sejak pertengahan kedua abad XVII dan dalam abad XVIII dan XIX yaitu dalam masa tumbuhnya negara – negara kebangsaan.

Pada masa sesudah Perjanjian Perdamaian Den Haag tahun 1907 yang kita namakan masa konsolidasi masyarakat internasional modern, telah terjadi pula beberapa kejadian yang penting bagi perkembangan masyarakat internasional sebagai suatu masyarakat hukum, yaitu :

  1. diadakannya Perjanjian Melarang Perang sebagai suatu cara mencapai tujuan nasional yakni Briand Kellog Pact yang diadakan di Paris tahun 1928, dan
  2. didirikannya Liga Bangsa – Bangsa dengan perjanjian Versailles sesudah Perang Dunia pertama dan PBB sesudah Perang Dunia II.

Semua kejadian atau kenyataan sejarah diatas, telah membantu meluaskan asas dan sistem hukum, yang mula – mula berkembang di kontinen Eropa dan kepulauan Inggris ke seluruh penjuru dunia. Dapatlah dikatakan bahwa karena kejadian sejarah yang dituturkan di atas, asas dan sistem hukum barat kini telah menjadi milik masyarakat manusia di seluruh dunia atau setidaknya , seperti juga teknologi, arsitektur, ilmu kedokteran, dan aspek lain kehidupan manusia modern, telah umum dikenal di seluruh dunia.


 


 


 



Bab 4

Hakikat dan Dasar Berlakunya Hukum Internasional


 

Masyarakat internasional dalam bentuknya sekarang merupakan suatu tertib hukum koordinasi dari sejumlah negara yang masing – masing berdaulat. Semua kelemahan kelembagaan (institusional) ini telah menyebabkan beberapa pemikir mulai dari Hobbes dan Spinoza hingga Austin menyangkal sifat mengikat hukum internasional. Bagi mereka hukum internasional itu bukan hukum.

John Austin menyatakan bahwa Every Law or rule (taken with the largest signification which can be given to the term property) is a command…." Menurut dia hukum internasional itu bukan hukum dalam arti yang sebenarnya (properly so called). Ia menempatkannya segolongan dengan the law of honour dan the laws set by fashion sebagai rules of positive morality.)

Menurut para penganut ajaran hukum alam ini, hukum internasional itu mengikat karena hukum internasional itu tidak lain daripada hukum alam yang diterapkan pada kehidupan masyarakat bangsa – bangsa. Dengan lain perkataan Negara itu terikat atau tunduk pada hukum internasional dalam hubungan antara mereka satu sama lain karena hukum internasional itu merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi yaitu hukum alam.

Di sini teori kehendak mempunyai titik pertemuan dengan teori alam tentang perjanjian. Menurut ajaran hukum alam yang klasik, hukum itu mengikat sekadar orang – orang (individu) mau terikat olehnya. Diterapkan pada masyarakat internasional yang pada waktu itu merupakan masyarakat antarnegara, teori ini sampailah pada kesimpulan yang sama dengan aliran teori kehendak.

Kesukaran teori – teori yang hendak menerangkan hakikat hukum (yaitu kekuatan dasar mengikat hukum itu) berdasarkan kehendak subjek hukum ialah bahwa dasar pikiran ini tidak bisa diterima. Kehendak manusia saja tidak mungkin merupakan dasar kekuatan hukum yang mengatur kehidupan. Sebab kalau demikian ia bisa melepaskan diri dari kekuatan mengikat hukum dengan menarik kembali persetujuannya untuk tunduk pada hukum itu. Dengan perkataan lain, persetujuan negara untuk tunduk pada hukum internasional menghendaki adanya suatu hukum atau norma sebagai sesuatu yang telah ada terlebih dahulu, dan berlaku lepas dari kehendak negara (aliran objektivis). Bukan kehendak negara melainkan suatu norma hukum-lah yang merupakan dasar terakhir kekuatan mengikat hukum internasional. Demikianlah pendirian suatu aliran yang terkenal dengan nama mazhab Wiena. Menurut mazhab ini kekuatan mengikat suatu kaidah hukum internasional didasarkan suatu kaidah yang lebih tinggi yang pada gilirannya didasarkan pula pada suatu kaidah yang lebih tinggi lagi dan demikian seterusnya. Akhirnya, sampailah kita pada puncak piramida kaidah hukum tempat terdapatnya kaidah dasar (Grundnorn) yang tidak dapat lagi dikembalikan pada suatu kaidah yang lebih tinggi, melainkan harus diterima adanya sebagai suatu hipotese asal (Ursprungshypothese) yang tidak dapat diterangkan secara hukum.

Kelsen yang dianggap sebagai Bapak MazhabWiena ini mengemukakan asas pacta sunt servanda sebagai kaidah dasar (Grundnorm) hukum internasional.

Namun, seperti telah dikatakan waktu membicarakan teori hukum alam, keberatan teori yang hendak mengembalikan segala sesutunya pada keadilan, kesadaran hukum, moral dan sebagainya itu ialah bahwa pengertian itu sangat samar dan terlalu bergantung kepada pendapat subyektif pihak yang mengemukakannya.

Mazhab perancis dengan para pemukanya antara lain terutama Fauchile, Scelle, dan Duguit mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional. Jadi , dasar kekuatan mengikat hukum (internasional) terdapat dalam kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum itu mutlak perlu untuk dapat terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa) untuk hidup bermasyarakat.


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Bab 5

Hubungan Antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional


 

  1. Tempat hukum internasional dalam tata hukum secara keseluruhan.

Persoalan tempat hukum internasional dalam keseluruhan tata hukum didasarkan atas hukum internasional merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Dengan ketentuan dan asas yang efektif diantaranya yang palaing penting ialah ketentuan hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam lingkungan kebangsaannya masing-masing yang dikenal dengan nama hukum nasional.

Dari sudut teoretis persoalan hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional dilihat dari sudut dan kebutuhan praktik. Ada dua pandangan tentang hukum internasional yaitu pandangan yang dinamakan Voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional ini pada kemauan negara , dan pandangan Obyektivis yang menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini lepas dari kemauan negara. Ini berarti membawa pandangan yang berbeda yang mengakibatkan adanya hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua satuan perangkat hukumyang hidup berdampingan dan terpisah, sedangkan pandangan obyektivis menganggapnya sebagai dua kesatuan perangkat hukum.

Aliran dualisme pernah sangat berpengaruh di Jerman dan Italia. Menurut paham dualisme ini bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasioanal dan hukum nasional merupakn dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya.

* Diantara alasan-alasan yang terpenting adalah sebagai berikut :

  1. Hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara;
  2. Subyek hukum nasional adalah orang perorangan baik hukum perdata atau hukum publik, sedangkan subyek hukum internasional ialah negara;
  3. Sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional menampakan perbedaan pada strukturnya. Dengan perkataan lain yang dinamakan perbedaan struktural itu hanya merupakan bentuk perwujudan atau gejala saja dari taraf integrasi yang berlainan dari masyarakat nasional dan masyarakat internasional.

* Alasan utama hukum internasional bersumber pada hukum nasional adalah:

  1. Tidak ada satu organisasi diatas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara di dunia ini;
  2. Dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional terletak dalam wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional jadi wewenang konstitusional.

Pada umumnya negara-negara didunia inisaling menghormati garis batas yang memisahkan wilayahnya dari wilayah negara yang lain. Mereka mentaati kaidah hukum internasional yang mengatur perjanjian internasional antar negara. pelanggaran terhadap perjanjian internasional sering mempunyai alasan atau latar belakang yang cukup kuat. Pada umumnya ketentuan mengenai hukum kekebalan dan hak istimewa diplomatik dan ketentuan hukum tentang hak istimewa kekebalan konsuler ditaati oleh negara-negara.

Juga mengenai perlakuan terhadap orang asing dan hak milik orang asing juga perlindungan terhadap orang asing dan hak milik orang asing yang diberikan oleh hukum internasional ditaati oleh semua negara.

Suatu tindakan nasionalisasai milik orang warga negara asing yang dilakukan demi kepentingan umum sebagai tindakan suatu negara berdaulat adalah sah. Dan pada saat yang sama membayar ganti kerugian sebagai suatu kewajiban negara menurut hukum internasional (state responsibility).

Bidang lain dalam praktek hukum internasional yang dilakukan oleh Indonesia yang menggambarkan hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional ialah hukum laut (publik)

* Tiga pertimbangan pokok menurut hukum internasional tentang penetapan batas laut teritorial ialah :

  1. Eratnya hubungan laut teritorial dengan wilayah darat ;
  2. Bagian-bagian laut yang terletak pada sisi dalam garis pangkal cukup erat hubungannya dengan daratan untuk dapat tunduk pada ketentuan mengenai perairan pedalaman; dan
  3. Kepentingan ekonomi setempat yang khas yang didasarkan atas adanya kebiasaan yang cukup lama.

Kegagalan hukum laut Jenewa tahun 1958 dan1960 mengenai batas lebar laut tertorial yang berlaku umum diseluruh dunia disebabkan oleh kegagalan konferensi, tetapi pada kenyataan internasional kebanyakn negara menganut batas lebar 12 mil atau setidak-tidaknya condong menganutnya. Dan mengubah pola kebiasaan internasional menjadi suatu kaidah hukum internasional melalui suatu konvensi atau perjanjian internasional.

Proses pembentuksn kaidah hukum internasional sangatlah lambat bergantung kepada banyak faktor yang terpenting diantaranya faktor politik.


 

  1. Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional menurut hukum positif beberapa negara

Inggris menganut suatu ajaran (doktrin) bahwa hukum internasional adalah hukum negara (international law is the of the land). Ajaran ini lazim dikenal dengan nama doktrin inkorporasi (incorporation doctrine).

Doktrin ini mula – mula dikemukakan oleh ahli hukum terkenal Blackstone dalam abad ke delapan belas mula – mula dirumuskan sebagai berikut :

"The law of nations, wherever any question arises which is properly the object of its jurisdiction is here adopted in its full extent by the common law, and it is held to be part of the land".

Doktrin yang menganggap hukum internasional sebagai bagian hukum inggris ini berkembang dan dikukuhkan selama abad XVII dan XIX dalam beberapa keputusan pengadilan yang terkenal.

Sepanjang mengenai hukum kebiasaan internasional dapat dikatakan bahwa doktrin inkorporasi ini berlaku dengan dua pengecualian yakni :

  1. bahwa ketentuan hukum kebiasaan internasional itu tidak bertentangan dengan suatu undang – undang, baik yang lebih tua maupun yang diundangkan kemudian; dan


 

  1. sekali ruang lingkup suatu ketentuan hukum kebiasaan internasional ditetapkan oleh keputusan mahkamah yang tertinggi, maka semua pengadilan terikat oleh keputusan itu sekalipun kemudian terjadi perkembangan suatu ketentuan hukum kebiasaan internasional yang bertentangan. Selain itu, ketentuan hukum kebiasaan internasional yang bersangkutan harus merupakan ketentuan yang umum diterima masyarakat internasional.

Disamping beberapa pengecualian yang telah diuraikan diatas, pengadilan di Inggris dalam persoalan yang menyangkut hukum internasional terikat oleh tindakan (atau) sikap pemerintah (eksekutif) dalam hal – hal berikut :

  1. tindakan pemerintah (eksekutif) seperti pernyataan perang, perebutan (aneksasi) wilayah atau tindakan nasionalisasi tidak boleh diragukan keabsahan-nya oleh pengadilan;
  2. pengadilan terikat untuk mengakui pernyataan pemerintah mengenai hal yang termasuk wewenang prerogatifnya seperti misalnya tentang hal pengakuan suatu pemerintahan atau Negara, kedaulatan (dan kekebalan) suatu pemerintah atau wakil – wakilnya.

Doktrin inkorporasi di Inggris itu ada pembatasan dan pengecualiannya, baik dalam ruang lingkup maupun penerapannya. Namun, dapat dikatakan bahwa doktrin ini cukup kuat tertanam dalam hukum positif di Inggris. Hal ini terbukti dari dua dalil yang dipegang teguh oleh pengadilan di Inggris yakni :

  1. dalil konstruksi hukum (rule of construction), menurut dalil ini UU yang dibuat oleh Parlemen (Acts of Parliament) harus ditafsirkan sebagai tidak bertentangan dengan hukum internasional. Artinya, dalam mengkaji suatu UU ada pra-anggapan bahwa Parlemen tidak berniat melakukan pelanggaran hukum internasional;
  2. dalil tentang pembuktian suatu ketentuan hukum internasional. Berlainan dengan hukum asing, hukum internasional tidak memerlukan kesaksian para ahli di pengadilan Inggris untuk membuktikannya. Pengadilan di Inggris boleh menetapkan sendiri ada tidaknya (take judicial notice) suatu ketentuan hukum Internasional dengan langsung menunjuk pada keputusan mahkamah lain.


 

Menurut praktik di Inggris perjanjian internasional berikut memerlukan persetujuan Parlemen dan memerlukan pengundangan nasional bagi berlakunya secara intern :

  1. yang memerlukan diadakannya perubahan dalam perundang – undangan nasional;
  2. yang mengakibatkan perubahan dalam status atau garis batas wilayah negara;
  3. yang mempengaruhi hak sipil kaula negara Inggris atau memerlukan penambahan wewenang atau kekuasaan pada raja (atau ratu) Inggris;
  4. menambah beban keuangan secara langsung atau tidak pada pemerintahan Inggris.

Namun, dalam beberapa hal menurut pendapat penulis pengundangan dalam undang – undang nasional adalah mutlak diperlukan yakni antara lain apabila diperlukan perubahan dalam UU nasional yang langsung menyangkut hak warga negara sebagai perorangan.

Misalnya, apabila turut sertanya indonesia pada suatu konvensi mengakibatkan bahwa suatu perbuatan atau tindakan terjadikan suatu kejahatan yang dapat dipidana yang sebelumnya tidak dikualifikasikan demikian atau apabila ada perubahan dalam ancaman hukuman, seperti misalnya dalam hal kejahatan penerbangan (hijacking) dan kejahatan terhadap sarana penerbangan.

Demikianlah pendapat penulis mengenai suatu hal yang di negara kita yang masih muda ini memang tidak diatur seperti juga persoalan pengesahan perjanjian internasional yang sedikit banyak turut menentukan jawaban atas persoalan ini.


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

Bab 6

Subjek Hukum Internasional


 

Apabila kita melihat persoalan secara demikian hukum internasional mengenal subjek hukum internasional sebagai berikut di bawah ini :

  1. Negara

Negara adalah subjek hukum internasional dalam arti yang klasik, dan telah demikian halnya sejak lahirnya hukum internasional.

Dalam suatu negara federal, yang menjadi pengembang hak dan kewajiban subjek hukum internasional adalah Pemerintah Federal. Akan tetapi, ada kalanya konstitusi federal memungkinkan negara bagian mempunyai hak dan kewajiban yang terbatas atau melakukan hal yang biasanya dilakukan oleh Pemerintah Federal. Misalnya konstitusi USSR memungkinkan dalam batas – batas tertentu negara bagian seperti Byeto-Russia SSR dan Ukranian SSR mengadakan hubungan luar negeri sendiri di samping USSR.

Praktik Inggris pada masa lampau juga menunjukkan bahwa daerah jajahan atau protektoratnya ada kalanya menghadiri konferensi internasional dan menjadi peserta konvensi atau badan internasional secara tersendiri, lepas dari kerajaan Inggris.

Walaupun sekarang sudah tidak ada artinya lagi karena telah diganti dengan sistem Perwalian PBB (UN Trusteeship system), sejarah mengenal pula daerah mandat sebagai subjek hukum internasional dalam arti yang terbatas.

  1. Takhta Suci

Takhta Suci (Vatican) merupakan suatu contoh dari suatu subjek hukum Internasional yang telah ada sejak dahulu di samping negara. Hal ini merupaka peninggalan – peninggalan sejarah sejak zaman dahulu ketika Paus bukan hanya merupakan kepala gereja Roma, tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi. Hingga sekarang Takhta Suci mempunyai perwakilan diplomatik negara – negara lain.

Dalam kategori yang sama, yaitu subjek hukum internasional karena karena sejarah, walaupun dalam arti yang jauh lebih terbatas dapat pula disebut suatu satuan yang bernama Order of The Knights of Malta. Himpunan ini hanya diakui oleh beberapa negara sebagai subjek hukum internasional.


 

  1. Palang Merah Internasional

Palang Merah Internasional yang berkedudukan di Jenewa mempunyai tempat tersendiri (unik) dalam sejarah hukum internasional. Boleh dikatakan bahwa organisasi ini sebagai suatu subjek hukum (yang terbatas) lahir karena sejarah walaupun kemudian kedudukannya diperkuat dalam perjanjian dan kemudian konvensi – konvensi Palang Merah ( sekarang Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan Koeban Perang). Sekarang Palang Merah Internasional secara umum diakui sebagai organisasi internasional yang memiliki kedudukan sebagai subjek hukum internasional walaupun dengan ruang lingkup yang sangat terbatas.

  1. Organisasi Internasional

Kedudukan Organisasi Internasional sebagai subjek hukum internasional sekarang tidak diragukan lagi, walaupun pada mulanya belum ada kepastian mengenai hal ini.

Badan – badan khusus PBB pada waktu ini ialah : 1. International Telecommunications Union (ITU); 2. Universal Postal Union (UPU); 3. International Labor Organization (ILO); 4. International Bank for Reconstruction and Development (World Bank); 5. International Monetery Fund (IMF); 6. Food and Agriculture Organization (FAO); 7. International Civil Aviation Organization (ICAO); 8. United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO); 9. World Health Organization (WHO); 10. World Meteorological Organization (IMCO); 11. International Maritime Consultative Organization (IMCO); dan 12. Intenational Atomic Energy Authority (IAEI).

  1. Orang Perorangan (Individu)

Dalam proses di muka Mahkamah Penjahat Perang yang diadakan di Numberg dan Tokyo, bekas para pemimpin perang Jerman dan Japan, dituntut sebagai orang perorangan (individu) untuk perbuatan yang dikualifikasikan sebagai berikut : (1) kejahatan terhadap perdamaian; (2) kejahatan terhadap perikemanusiaan; (3) kejahatan perang (yaitu pelanggaran terhadap hukum perang) dan permufakatan jahat untuk mengadakan kejahatan tersebut.

Hukum Organisasi internasional, baik di dalam maupun di luar PBB telah menimbulkan keadaan individu dan badan hukum internasional. Pegawai PBB dapat mengajukan tuntutan mengenai persoalan yang menyangkut status kehadapan Mahkamah Administratif PBB, sedangkan ILO mempunyai badan dan prosedur yang serupa untuk para pegawainya, yang juga digunakan oleh Badan – Badan Khusus PBB lainnya.

  1. Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa (Billigerent)

Menurut hukum perang, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa dalam beberapa keadaan tertentu.

Kelainan itu karena pengakuan gerakan pembebasan demikian merupakan penjelmaan dari suatu konsepsi baru yang terutama dianut oleh negara – negara dunia ketiga yang didasarkan atas pengertian bahwa bangsa – bangsa dianggap mempunyai beberapa hak asasi seperti : (1) hak menentukan nasib sendiri; (2) hak secara bebas memilih sistem ekonomi, politik, dan sosial sendiri; dan (3) hak menguasai sumber kekayaan alam dari wilayah yang didudukinya.

Hukum Internasional untuk sebagian besar masih mengatur hubungan antara negara dan munculnya individu dan satuan badan hukum lainnya bukan negara sebagai subjek hukum internasional masih dapat dianggap sebagai suatu pengecualian.


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


Bab 7

Sumber Hukum Internasional


 

Hukum Internasional positif hanya Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional sajalah yang penting. Pasal 38 ayat (1) mengatakan bahwa dalam mengadili perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah Internasional akan mempergunakan :

  1. Perjanjian Intenasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara – negara yang bersengketa;
  2. Kebiasaan Internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum;
  3. Prinsip hukum yang diakui oleh bangsa – bangsa yang beradab;
  4. Keputusan Pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum.

Pembahasan selanjutnya akan mengikuti urutan yang terdapat dalam Pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional.


 

  1. Perjanjian Internasional

Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa – bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.

Mengingat pentingnya perjanjian internasional sebagai sumber hukum, akan diuraikan lebih lanjut mengenai perjanjian ini dengan membaginya dalam 3 bagian yaitu :

  1. Tentang hal membuat perjanjian internasional

Tentang hal membuat perjanjian internasional dapat dibagi lagi dalam 3 tahap yaitu :

  1. Perundingan (negotiation)
  2. Penandatanganan (signature)
  3. Pengesahan (ratification)
  4. Tentang hal berakhir atau ditangguhkan berlakunya perjanjian

Secara umum suatu perjanjian bisa punah atau berakhir karena beberapa sebab yang tersebut di bawah ini :

  1. karena telah tercapai tujuan perjanjian itu;
  2. karena habis waktu berlakunya perjanjian itu;
  3. karena punahnya salah satu pihak peserta perjanjian atau punahnya objek perjanjian itu;
  4. karena adanya persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri perjanjian itu;
  5. karena diadakannya perjanjian antara para peserta kemudian yang meniadakan perjanjian yang terdahulu.


 

  1. Kebiasaan Internasional

Untuk dapat dikatakan bahwa kebiasaan internasional itu merupakan sumber hukum perlu terdapat unsur – unsur sebagai berikut :

  1. harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum;
  2. kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum.

Kapankah dapat dikatakan ada terdapat kebiasaan internasional yang merupakan satu kebiasaan umum ?

Pertama, perlu adanya satu kebiasaan, yaitu suatu pola tindak yang berlangsung lama, yang merupakan serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa pula.

Kedua, kebiasaan atau pola tindak yang merupakan serangkaian tindakan yang serupa mengenai hal dan keadaan yang serupa diatas harus bersifat umum dan bertalian dengan hubungan internasional. Hanya apabila unsur – unsur tersebut di atas dipenuhi dapat dikatakan telah ada kebiasaan internasional yang bersifat umum.

Dilihat secara praktis suatu kebiasaan internasional dapat dikatakan diterima sebagai hukum apabila negara – negara itu tidak menyatakan keberatan terhadapnya. Keberatan ini dapat dinyatakan dengan berbagai cara misalnya dengan jalan diplomatik (protes) atau dengan jalan hukum dengan mengajukan keberatan di hadapan suatu mahkamah.


 


 


 


 


 


 

Bab 8

Wilayah Negara dalam Hukum Internasional


 

Setiap negara memiliki kemungkinan untuk menambah atau memperluas wilayahnya. Dilihat dari praktik negara ada beberapa cara bagi suatu negara untuk dapat memperluas wilayahnya yaitu melalui :

  1. Akresi

Akresi adalah penambahan wilayah yang disebabkan oleh proses alamiah. Sebagai contoh adalah terbentuknya pulau yang disebabkan oleh endapan lumpur di muara sungai; atau mengeringnya bagian sungai.

  1. Cessi

Salah satu cara yang banyak digunakan untuk memperoleh tambahan wilayah adalah dengan cessi. Dasar pemikiran yang melandasi cessi adalah bahwa penyerahan suatu wilayah atau bagian wilayah adalah hak yang melekat pada kedaulatan negara. Cessi merupakan cara penyerahan wilayah secara damai yang biasanya dilakukan melalui suatu perjanjian perdamaian yang mengakhiri perang.

  1. Okupasi

Okupasi menunjukkan adanya penguasaan terhadap suatu wilayah yang tidak berada di bawah kedaulatan negara manapun. Hal itu harus ditunjukkan misalnya dengan suatu tindakan simbolis yang menunjukkan adanya penguasaan terhadap wilayah tersebut, misalnya dengan pemancangan bendera atau melalui suatu proklamasi.


  1. Preskripsi

Preskripsi adalah pelaksanaan kedaulatan oleh suatu negara secara de facto dan damai untuk kurun waktu tertentu, bukan terhadap terra nullius melainkan terhadap wilayah yang sebenarnya berada di bawah kedaulatan negara lain.

Persamaannya dengan okupasi adalah bahwa pelaksanaan kedaulatan tersebut harus dilakukan oleh nagara atau a titre de souverain dan bukan usaha dari orang – perorangan yang tidak ada kaitannya dengan klaim kedaulatan negara dimaksud.


  1. Aneksasi

Aneksasi adalah cara perolehan wilayah secara paksa berdasarkan pada dua kondisi sebagai berikut :

  1. wilayah yang dianeksasi telah dikuasai oleh negara yang menganeksasinya;
  2. pada waktu suatu negara mengumumkan kehendaknya untuk menganeksasi suatu wilayah, wilayah tersebut telah benar – benar berada di bawah penguasaan negara tadi
    1. Perolehan Wilayah Oleh Negara Baru

Menurut Starke, kenyataan bahwa eksistensi suatu negara memerlukan adanya wilayah mengakibatkan perolehan hak atas wilayah harus menunggu pengakuan atas negara.


 

  1. Wilayah dan Yurisdiksi Negara di Laut

Pengaturan tentang kedaulatan dan yuridiksi negara di laut secara komprehensif mulai dilakukan oleh empat Konvensi – Konvensi Jenewa tahun 1985 yang mengatur tentang laut territorial dan zona tambahan, perikanan, dan konservasi sumber daya hayati di laut lepas, landas kontinen dan laut lepas.

Konvensi ini mengatur tentang segala aspek kegiatan di laut, seperti misalnya delimitasi, hak lintas, pencemaran terhadap lingkungan laut, riset ilmiah kelautan, kegiatan ekonomi, dan perdagangan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 308 Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 16 November 1994, yaitu 12 bulan setelah diterimanya ratifikasi ke-60. Beberapa ketentuan penting dari Konvensi ini, secara umum diuraikan di bawah ini :

  1. Status Hukum tentang Pelbagai Zona Maritim

Konvensi Hukum Laut 1982 mengakui hak negara – negara untuk melakukan klaim atas pelbagai macam zona maritim dengan status hukum yang berbeda – beda, yang dibagi sebagai berikut :

  1. berada di bawah kedaulatan penuh negara meliputi laut pedalaman, laut teritorial, dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional;
  2. negara mempunyai yurisdiksi khusus dan terbatas yaitu zona tambahan;
  3. negara mempunyai yurisdiksi eksklusif untuk memanfaatkan sumberdaya alamnya, yaitu zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen;
  4. berada dibawah suatu pengaturan internasional khusus, yaitu daerah dasar laut samudra dalam, atau lebih dikenal sebagai kawasan (international sea-bed area atau Area); dan
  5. tidak berada dibawah kedaulatan maupun yurisdiksi negara manapun, yaitu laut lepas
    1. Status Hukum tentang Pelbagai Zona Maritim

Batasan yang diberikan oleh Konvensi tentang perairan pedalaman adalah perairan yang terletak pada sisi darat dari garis pangkal yang dipakai untuk menetapkan laut teritorial suatu negara.

  1. Laut Teritorial

Konvensi menetapkan bahwa kedaulatan suatu negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya, dan dalam hal suatu negara kepulauan, perairan kepulauannya, meliputi juga suatu jalur laut yang berbatasan dengannya yang disebut lautu teritorial. Batas luar laut teritorial adalah garis yang jarak setiap titiknya dari titik yang terdekat pada garis pangkal, sama dengan lebar laut teritorial.

  1. Selat yang digunakan umtuk Pelayaran Internasional

Salah satu ketentuan baru yang dihasilkan oleh Konferensi Hukum Laut Ketiga adalah pengakuan masyarakat internasional tentang pengaturan khusus bagi selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.

  1. Jalur / Zona Tambahan

Di luar laut teritorialnya, dalam suatu jalur / zona yang berbatasan dengannya yang disebut jalur / zona tambahan. Batas terluar jalur / zona tambahan ini tidak boleh melebihi 24 mil laut, yang diukur dari garis pangkal yang dipakai untuk menetapkan laut teritorialnya.

  1. Negara Kepulauan
  2. Zona Ekonomi Eksklusif
  3. Landas Kontinen
  4. Negara – negara yang tidak berpantai dan negara – negara yang secara geografis tidak beruntung

(10.) Laut lepas

(11.) Kawasan

(12.) Pulau

(13.) Laut tertutup dan setengah tertutup

(14.) Lingkungan laut


 

  1. Penyelesaian Sengketa
  2. Persetujuan Implementasi Bab XI Konvensi Hukum Laut 1982
  3. Persetujuan tentang Konservasi dan Pengelolaan Jenis – Jenis ikan yang terdapat di dua ZEE (Straddling) dan yang bermigrasi jauh (highly migratory)
  4. Ruang Udara dan Ruang Angkasa


 


 


 

SUATU TINJAUAN UMUM TENTANG

PERJANJIAN INTERNASIONAL


 

Pengertian Perjanjian Internasional

Dalam pengerttian umum dan luas, perjanjian internasional yang dalam bahasa Indonesia disebit juga persetujuan, traktat, ataupun konvensi, adalah :

Kata sepakat antara dua atau lebih subjek hukum internasional mengenai suatu objek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional.

    Pengertian ini tampak masih sangat umum dan luas, antara lian dapat ditunjukkan pada:

    Pertama; dalam definisi tersebut semua subjek hukum internasional dipandang dapat mengadakan perjanjian iternasional. Padahal dalam kenyataannya, tidaklah semua subyek hukum internasional dapat bekedudukan sebagai pihak dalam perjanjian internasional. Atau tidak semua subyek hujum Internasional itu dapat mengadakan perjanjian internasional. Hingga kini, hanya negara, tahta suci, dan organisasi internasional (tidak semuanya), kaum belligerensi, bangsa yang sedang memperjuangkan hak-haknya, yang apat berkedudukan sebagai pihak dalam suatu perjanjian internasional.

    Kedua; definisi tersebut disamping mencakup perjanjian internasional tertulis juga mencakup perjanjian internasional yang berbentuk tidak tertulis, yang masing-masing memiliki karakter yang sangat berbeda, meskipun sama-sama merupakan perjanjian internasional.


 

    Unsur-unsur Perjanjian Internasional

    Berdasarkan alasan di atas, maka dapatlah dirumuskan perjanjian internasional itu dalam ruang lingkup yang lebih sempit yaitu :

Kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional (negara, tahta suci, kelompok pembebasan, organisasi internasional) mengenai suatu obyek tertentu yang dirumuskan secara tertulis dan tunduk pada atau yang diatur dalam hukum internasional.

    Dibandingkan dengan pengertian perjanjian internasional seperti tersebut di atas, maka dapat dilihat bahwa pengertian ini sudah lebih sempit, karena subyek-subyek hukum internasional yang membuat atau terikat pada perjanjian internasional itu sudah lebih sempit, tegasnya tidak semua subjek hukum internasional dapat mengadakan atau sebagai pihak dalam suatu perjanjian internasional. Demikian pula bentuk perjanjian internasional itu sendiri dibatasi pada perjanjian internasional yang berbentuk tertulis. Jadi tidak termasuk perjanjian internasional tak tertulis.


 

    Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat dijabarkan beberapa unsur atau kualifikasi yang harus terpenuhi suatu perjanjian, untuk dapat disebut sebagai perjanjian internasional, yaitu:

  1. Kata sepakat,
  2. Subyek-subyek hukum,
  3. Berbentuk tertulis
  4. Obyek tertentu
  5. Tunduk pada atau diatur oleh hukum internasional.

    Subyek-subyek Hukum Internasional yang Memiliki Kemampuan untuk Mengadakan Perjanjian Internasional

    Subyek-subyek hukum internasional sebagai pemegang hak dan pemmikul kewajiban berdasarkan hukum internasional, termasuk memiliki hak untuk mengadakan ataupun menjadi pihak atau peserta pada suatu perjanjian internasional. Dalam sejarah perkembangan hukjum internasional, semula hanya negaralah yang diakui sebagai subyek hukum internasional.


 


 

    Negara

    Negara adalah subyek hukum internasional yang memiliki kemampuan penuh (full capasty) untuk mengadakan atau untuk duduk sebagai pihak dalam suatu perjanjian internasional. Hak suatu negara untuk mengadakan perjanjian internasional adalah merupakan atribut dari kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara. Negara dapat mengadakan perjanjian mengenaai apapun tanpa ada hak dari pihak lain untuk membatasi maupun melarangnya. Pembatasan-pembatasan bagi negara untuk mengadakan perjanjian internasional lebih bersifat politis daripada yuridis.


 

    Negara Bagian

Negara Bagian hanya terdapat dalam suatu negara yang berbentuk federasi atau disebut juga negara federal. Atau sebuah negara federal terdiri dari negara-negara bagian.


 

    Tahta Suci atau Vatikan

Tahta suci atau Vatikan, yang dikepalai oleh Paus sebagai pemimpin tertinggi dari Gereja Khatolik, juga diakui sebagai subyek hukum internasional. Diakuinya Tahta Suci sebagai subyek hukum internasional mempunyai latar belakang sejarahnya tersendiri. Walaupun tahta suci bukanlah negar daklam pengertian yang sebenarnya tetapi praktis kedudukannya sama seperti negara. Tahta suci dapat membuka hubbungan diplomatik dengan negara maupun dengan organisasi internasional, demikian pula dapat ikut serta sebagai pihak dalam satu perjanjian internasional.


 


 

    Wilayah Perwalian

    Wilayah perwalian (trusteeship territory) semula merupakan wilayah jajahan dari negara-negara kolonial (bekas penjajah) yang karena kalah dalam perang dunia pertama, lalu di ubah statusnya menjadi wilayah mandat dalam kerangka liga bangsa-bangsa, seperti wilayah-wilayah bekas jajahan Jerman dan Italia.

    Bab XII pasal 87 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa secara khusus mengatur tentang sistem perwalian internasional, dengan menetapkan wilayah-wilayah tertentu sebagai wilayah perwalian yang ditempatkan di bawah negara yang dipandang mampu bertindak sebagai wallinya, dengan pengawasan Dewan Perwalian. Wilayah-wilayah yang dapat diberikan status sebagai wilayah perwalian adalah :

  1. Wilayah-wilayah yang dahulu, yaitu pada masa Liga bangsa-bangsa dikenal sebagai wilayah mandat.
  2. Wilayah-wilayah yang dilepaskan dari negara-negara yang kalah dalam Perang Dunia II,
  3. Wiayah-wilayah yang secara sukarela dijadikan sebagai wilayah perwalian oleh negara-negara yang bertanggung jawab mengaturnya.    


     

    Organisasi atau Lembaga Internasional

    Munculnya organisasi atau lembaga internasional yang bersifat permanen dengan memiliki kepribadian internasional yang mandiri terlepas dari negara-negara anggotanya, semakin lama jumlahnya semakin bertambah. Suatu organisasi internasional dibentuk dan didirikan melalui suatu konprensi in ternasional yang menghasilkan perjanjian internasional yang merupakan anggaran dasarnya yang biasa disebut piagam, covenan, atau statuta, atau dengan istilah yang lebih umum disebut juga konstitusinya itulah suatu organisasi internasional diartikan


 


 


 


 


 


 


 


 

    SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL


 

    Pengertian  Subyek Hukum


 

Secara Umum Subyek hukum diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban, jadi pengertian subyek hokum internasional adalah pendukung hak dan kewajiban dalam hukum internasional. Pendukung hak dan kewajiban dalam hokum internasional dewasa ini ternyata tidak terbatas pada Negara tetapi juga meliputi  subyek hokum internasional lainnya

Hal ini dikarenakan dewasa ini sering dengan tingkat kemajuan di bidang teknologi, telekomunikasi dan ransportasi dimana kebutuhan manusia semakin meningkat cepat sehingga menimbulkan interaksi yang semakin kompleks. Munculnya organisasi-organisasi Internasional baik yang bersifat bilateral, regional maupun multilateral dengan berbagai kepentingan dan latar belakang yang mendasari pada akhirnya mampu untuk dianggap sebagai subyek hokum internasional. Begitu juga dengan keberadaan individu atau kelompok individu (belligerent) yang pada akhirnya dapat pula diakui sebagai subyekInternasional.
Jadi subyek hokum Internasional meliputi:


1.   Negara
2.   Organisasi Internasional (OI) baik yang Bilateral, Regional maupun Multilateral
3.   Vatican

4.   PalangMerah
5.   Pemberontak
6.   Penjahat

7.   Indivu.

    

    Dengan meninjau dua aspek di atas maka legal capacity dari subyek hukum Internasional dalam bentuknya yang moderen dimana subyek hukum internasional tidak hanya terbatas pada negara sebagai satu-satunya subyek hukum internasional (pandangan klasik), maka kiranya perlu dikemukakan beberapa subyek hukum internasional yang merupakan kesatuan-kesatuan bukan negara khususnya mengenai legal capacitynya.

    Beberapa literatur menyebutkan bahwa negara adalah subyek hukum internasional yang utama, bahkan ada literatur yang menyatakan bahwa negara adalah satu-satunya subyek hukum internasional.

 
  


 

    Pengertian Hukum Internasional

Pada dasarnya yang dimaksud hukum internasional dalam pembahasan ini adalah hukum internasional publik, karena dalam penerapannya, hukum internasional terbagi menjadi dua, yaitu: hukum internasional publik dan hukum perdata internasional.
Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, yang bukan bersifat perdata.
Sedangkan hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara, dengan perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata yang berbeda. (Kusumaatmadja, 1999; 1)

Awalnya, beberapa sarjana mengemukakan pendapatnya mengenai definisi dari hukum internasional, antara lain yang dikemukakan oleh Grotius dalam bukunya De Jure Belli ac Pacis (Perihal Perang dan Damai). Menurutnya "hukum dan hubungan internasional didasarkan pada kemauan bebas dan persetujuan beberapa atau semua negara. Ini ditujukan demi kepentingan bersama dari mereka yang menyatakan diri di dalamnya ".
Sedang menurut Akehurst : "hukum internasional adalah sistem hukum yang di bentuk dari hubungan antara negara-negara"

Definisi hukum internasional yang diberikan oleh pakar-pakar hukum terkenal di masa lalu, termasuk Grotius atau Akehurst, terbatas pada negara sebagai satu-satunya pelaku hukum dan tidak memasukkan subjek-subjek hukum lainnya.

Salah satu definisi yang lebih lengkap yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai hukum internasional adalah definisi yang dibuat oleh Charles Cheny Hyde :
" hukum internasional dapat didefinisikan sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh negara-negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka satu dengan lainnya, serta yang juga mencakup

a. organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional satu dengan lainnya, hubungan peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan fungsi-fungsi lembaga atau antara organisasi internasional dengan negara atau negara-negara ; dan hubungan antara organisasi internasional dengan individu atau individu-individu ;
b. peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non-state entities) sepanjang hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan subyek hukum bukan negara tersebut bersangkut paut dengan masalah masyarakat internasional" (Phartiana, 2003; 4)

    Sejalan dengan definisi yang dikeluarkan Hyde, Mochtar Kusumaatmadja mengartikan ''hukum internasional sebagai keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara, antara negara dengan negara dan negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain''. (Kusumaatmadja, 1999; 2)

Berdasarkan pada definisi-definisi di atas, secara sepintas sudah diperoleh gambaran umum tentang ruang lingkup dan substansi dari hukum internasional, yang di dalamnya terkandung unsur subyek atau pelaku, hubungan-hubungan hukum antar subyek atau pelaku, serta hal-hal atau obyek yang tercakup dalam pengaturannya, serta prinsip-prinsip dan kaidah atau peraturan-peraturan hukumnya.

Sedangkan mengenai subyek hukumnya, tampak bahwa negara tidak lagi menjadi satu-satunya subyek hukum internasional, sebagaimana pernah jadi pandangan yang berlaku umum di kalangan para sarjana sebelumnya.


 

     Sejarah dan Perkembangan Hukum Internasional

Hukum internasional sebenarnya sudah sejak lama dikenal eksisitensinya, yaitu pada zaman Romawi Kuno. Orang-orang Romawi Kuno mengenal dua jenis hukum, yaitu Ius Ceville dan Ius Gentium, Ius Ceville adalah hukum nasional yang berlaku bagi masyarakat Romawi, dimanapun mereka berada, sedangkan Ius Gentium adalah hukum yang diterapkan bagi orang asing, yang bukan berkebangsaan Romawi.

Dalam perkembangannya, Ius Gentium berubah menjadi Ius Inter Gentium yang lebih dikenal juga dengan Volkenrecth (Jerman), Droit de Gens (Perancis) dan kemudian juga dikenal sebagai Law of Nations (Inggris). (Kusumaatmadja, 1999 ; 4)

Sesungguhnya, hukum internasional modern mulai berkembang pesat pada abad XVI, yaitu sejak ditandatanganinya Perjanjian Westphalia 1648, yang mengakhiri perang 30 tahun (thirty years war) di Eropa. Sejak saat itulah, mulai muncul negara-negara yang bercirikan kebangsaan, kewilayahan atau territorial, kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat. Dalam kondisi semacam inilah sangat dimungkinkan tumbuh dan berkembangnya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional. (Phartiana, 2003 ; 41)

Perkembangan hukum internasional modern ini, juga dipengaruhi oleh karya-karya tokoh kenamaan Eropa, yang terbagi menjadi dua aliran utama, yaitu golongan Naturalis dan golongan Positivis.

Menurut golongan Naturalis, prinsip-prinsip hukum dalam semua sistem hukum bukan berasal dari buatan manusia, tetapi berasal dari prinsip-prinsip yang berlaku secara universal, sepanjang masa dan yang dapat ditemui oleh akal sehat. Hukum harus dicari, dan bukan dibuat. Golongan Naturalis mendasarkan prinsip-prinsip atas dasar hukum alam yang bersumber dari ajaran Tuhan. Tokoh terkemuka dari golongan ini adalah Hugo de Groot atau Grotius, Fransisco de Vittoria, Fransisco Suarez dan Alberico Gentillis. (Mauna, 2003 ; 6)

Sementara itu, menurut golongan Positivis, hukum yang mengatur hubungan antar negara adalah prinsip-prinsip yang dibuat oleh negara-negara dan atas kemauan mereka sendiri. Dasar hukum internasional adalah kesepakatan bersama antara negara-negara yang diwujudkan dalam perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiasaan internasional. Seperti yang dinyatakan oleh Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya Du Contract Social, La loi c'est l'expression de la Volonte Generale, bahwa hukum adalah pernyataan kehendak bersama. Tokoh lain yang menganut aliran Positivis ini, antara lain Cornelius van Bynkershoek, Prof. Ricard Zouche dan Emerich de Vattel

Pada abad XIX, hukum internasional berkembang dengan cepat, karena adanya faktor-faktor penunjang, antara lain : (1) Setelah Kongres Wina 1815, negara-negara Eropa berjanji untuk selalu menggunakan prinsip-prinsip hukum internasional dalam hubungannya satu sama lain, (2). Banyak dibuatnya perjanjian-perjanjian (law-making treaties) di bidang perang, netralitas, peradilan dan arbitrase, (3). Berkembangnya perundingan-perundingan multilateral yang juga melahirkan ketentuan-ketentuan hukum baru.

Di abad XX, hukum internasional mengalami perkembangan yang sangat pesat, karena dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut: (1). Banyaknya negara-negara baru yang lahir sebagai akibat dekolonisasi dan meningkatnya hubungan antar negara, (2). Kemajuan pesat teknologi dan ilmu pengetahuan yang mengharuskan dibuatnya ketentuan-ketentuan baru yang mengatur kerjasama antar negara di berbagai bidang, (3). Banyaknya perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat, baik bersifat bilateral, regional maupun bersifat global, (4). Bermunculannya organisasi-organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa Bangsa dan berbagai organ subsidernya, serta Badan-badan Khusus dalam kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyiapkan ketentuan-ketentuan baru dalam berbagai bidang. (Mauna, 2003; 7)

Pada azasnya, sumber hukum terbagi menjadi dua, yaitu: sumber hukum dalam arti materiil dan sumber hukum dalam arti formal. Sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber hukum yang membahas materi dasar yang menjadi substansi dari pembuatan hukum itu sendiri.

Sebenarnya Palang Merah Internasional, hanyalah merupakan salah satu jenis organisasi internasional. Namun karena faktor sejarah, keberadaan Palang Merah Internasional di dalam hubungan dan hukum internasional menjadi sangat unik dan di samping itu juga menjadi sangat strategis. Pada awal mulanya, Palang Merah Internasional merupakan organisasi dalam ruang lingkup nasional, yaitu Swiss, didirikan oleh lima orang berkewarganegaraan Swiss, yang dipimpin oleh Henry Dunant dan bergerak di bidang kemanusiaan. Kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Palang Merah Internasional mendapatkan simpati dan meluas di banyak negara, yang kemudian membentuk Palang Merah Nasional di masing-masing wilayahnya. Palang Merah Nasional dari negar-negara itu kemudian dihimpun menjadi Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC) dan berkedudukan di Jenewa, Swiss. (Phartiana, 2003; 123)

Tahta Suci Vatikan di akui sebagai subyek hukum internasional berdasarkan Traktat Lateran tanggal 11 Februari 1929, antara pemerintah Italia dan Tahta Suci Vatikan mengenai penyerahan sebidang tanah di Roma. Perjanjian Lateran tersebut pada sisi lain dapat dipandang sebagai pengakuan Italia atas eksistensi Tahta Suci sebagai pribadi hukum internasional yang berdiri sendiri, walaupun tugas dan kewenangannya, tidak seluas tugas dan kewenangan negara, sebab hanya terbatas pada bidang kerohanian dan kemanusiaan, sehingga hanya memiliki kekuatan moral saja, namun wibawa Paus sebagai pemimpin tertinggi Tahta Suci dan umat Katholik sedunia, sudah diakui secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, banyak negara membuka hubungan diplomatik dengan Tahta Suci, dengan cara menempatkan kedutaan besarnya di Vatikan dan demikian juga sebaliknya Tahta Suci juga menempatkan kedutaan besarnya di berbagai negara. (Phartiana, 2003, 125)

Kaum belligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu negara berdaulat. Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara yang bersangkutan. Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus berkembang, seperti perang saudara dengan akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan meluas ke negara-negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil oleh adalah mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri sendiri, walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberontak menempati status sebagai pribadi atau subyek hukum internasional;.

Pertumbuhan dan perkembangan kaidah-kaidah hukum internasional yang memberikan hak dan membebani kewajiban serta tanggungjawab secara langsung kepada individu semakin bertambah pesat, terutama setelah Perang Dunia II. Lahirnya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948 diikuti dengan lahirnya beberapa konvensi-konvensi hak asasi manusia di berbagai kawasan, dan hal ini semakin mengukuhkan eksistensi individu sebagai subyek hukum internasional yang mandiri.

Perusahaan multinasional memang merupakan fenomena baru dalam hukum dan hubungan internasional. Eksistensinya dewasa ini, memang merupakan suatu fakta yang tidak bisa disangkal lagi. Di beberapa tempat, negara-negara dan organisasi internasional mengadakan hubungan dengan perusahaan-perusahaan multinasional yang kemudian melahirkan hak-hak dan kewajiban internasional, yang tentu saja berpengaruh terhadap eksistensi, struktur substansi dan ruang lingkup hukum internasional itu sendiri.
    Ada dua teori yang dapat menjelaskan bagaimana hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional, yaitu: teori Dualisme dan teori Monisme.
Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional, merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan hukum nasional memerlukan ratifikasi menjadi hukum nasional. Kalau ada pertentangan antar keduanya, maka yang diutamakan adalah hukum nasional suatu negara.
Sedangkan menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional. (Burhan Tsani, 1990; 26).

Ketentuan hukum internasional telah melarang penggunaan kekerasan dalam hubungan antar negara. Keharusan ini seperti tercantum pada Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa-Sengketa Secara Damai yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2 ayat (3) Piagan Perserikatan bangsa-Bangsa dan selanjutnya oleh Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama antar Negara. Deklarasi tersebut meminta agar "semua negara menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamanan internasional dan keadilan tidak sampai terganggu".

Penyelesaian sengketa secara damai dibedakan menjadi: penyelesaian melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Yang akan dibahas pada kesemapatan kali ini hanyalah penyelesaian perkara melalui pengadilan. Penyelesaian melalui pengadilan dapat ditempuh melalui Penyelesaian sengketa internasional melalui arbitrase internasional adalah pengajuan sengketa internasional kepada arbitrator yang dipilih secara bebas oleh para pihak, yang memberi keputusan dengan tidak harus terlalu terpaku pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Arbitrase adalah merupakan suatu cara penerapan prinsip hukum terhadap suatu sengketa dalam batas-batas yang telah disetujui sebelumnya oleh para pihak yang bersengketa. Hal-hal yang penting dalam arbitrase adalah :
(1). Perlunya persetujuan para pihak dalam setiap tahap proses arbitrase, dan
(2). Sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum. (Burhan Tsani, 1990; 211)
Secara esensial, arbitrase merupakan prosedur konsensus, karenanya persetujuan para pihaklah yang mengatur pengadilan arbitrase.

Arbitrase terdiri dari seorang arbitrator atau komisi bersama antar anggota-anggota yang ditunjuk oleh para pihak atau dan komisi campuran, yang terdiri dari orang-orang yang diajukan oleh para pihak dan anggota tambahan yang dipilih dengan cara lain.
Pengadilan arbitrase dilaksanakan oleh suatu "panel hakim" atau arbitrator yang dibentuk atas dasar persetujuan khusus para pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang telah ada.

Pada permulaan abad XX, Liga Bangsa-Bangsa mendorong masyarakat internasional untuk membentuk suatu badan peradilan yang bersifat permanent, yaitu mulai dari komposisi, organisasi, wewenang dan tata kerjanya sudah dibuat sebelumnya dan bebas dari kehendak negara-negara yang bersengketa.

Pasal 14 Liga Bangsa-Bangsa menugaskan Dewan untuk menyiapkan sebuah institusi Mahkamah Permanen Internasional. Namun, walaupun didirikan oleh Liga Bangsa-Bangsa, Mahkamah Permanen Internasional, bukanlah organ dari Organisasi Internasional tersebut. Hingga pada tahun 1945, setelah berakhirnya Perang Dunia II, maka negara-negara di dunia mengadakan konferensi di San Fransisco untuk membentuk Mahkamah Internasional yang baru. Di San Fransisco inilah, kemudian dirumuskan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah Internasional.

Menurut Pasal 92 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa disebutkan bahwa Mahkamah Internasional merupakan organ hukum utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Namun sesungguhnya, pendirian Mahkamah Internasional yang baru ini, pada dasarnya hanyalah merupakan kelanjutan dari Mahkamah Internasional yang lama, karena banyak nomor-nomor dan pasal-pasal yang tidak mengalami perubahan secara signifikan
Secara umum, Mahkamah Internasional mempunyai kewenangan untuk:
1. melaksanakan "Contentious Jurisdiction", yaitu yurisdiksi atas perkara biasa, yang didasarkan pada persetujuan para pihak yang bersengketa;
2. memberikan "Advisory Opinion", yaitu pendapat mahkamah yang bersifat nasehat

Advisory Opinion tidaklah memiliki sifat mengikat bagi yang meminta, namun biasanya diberlakukan sebagai "Compulsory Ruling", yaitu keputusan wajib yang mempunyai kuasa persuasive kuat (Burhan Tsani, 1990; 217).

Mahkamah Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan ex aequo et bono, yaitu didasarkan pada keadilan dan kebaikan, dan bukan berdasarkan hukum, namun hal ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar negara-negara yang bersengketa. Keputusan Mahkamah Internasional sifatnya final, tidak dapat banding dan hanya mengikat para pihak. Keputusan juga diambil atas dasar suara mayoritas.
Yang dapat menjadi pihak hanyalah negara, namun semua jenis sengketa dapat diajukan ke Mahkamah Internasional.

Masalah pengajuan sengketa bisa dilakukan oleh salah satu pihak secara unilateral, namun kemudian harus ada persetujuan dari pihak yang lain. Jika tidak ada persetujuan, maka perkara akan di hapus dari daftar Mahkamah Internasional, karena Mahkamah Internasional tidak akan memutus perkara secara in-absensia (tidak hadirnya para pihak).


G. Peradilan-Peradilan Lainnya di Bawah Kerangka Perserikatan Bangsa-bangsa.

Mahkamah Pidana Internasional (International Court of Justice/ICJ)
    Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak pembentukannya telah memainkan peranan penting dalam bidang hukum inetrnasional sebagai upaya untuk menciptakan perdamaian dunia.
Selain Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda, saat ini Perserikatan Bangsa-bangsa juga sedang berupaya untuk menyelesaikan "hukum acara" bagi berfungsinya Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC), yang statuta pembentukannya telah disahkan melalui Konferensi Internasional di Roma, Italia, pada bulan Juni 1998. Statuta tersebut akan berlaku, jika telah disahkan oleh 60 negara.

Berbeda dengan Mahkamah Internasional, yurisdiksi (kewenangan hukum) Mahkamah Pidana Internasional ini, adalah di bidang hukum pidana internasional yang akan mengadili individu yang melanggar Hak Asasi Manusia dan kejahatan perang, genosida (pemusnahan ras), kejahatan humaniter (kemanusiaan) serta agresi.

Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak secara otomatis terikat dengan yurisdiksi Mahkamah ini, tetapi harus melalui pernyataan mengikatkan diri dan menjadi pihak pada Statuta Mahkamah Pidana Internasional. (Mauna, 2003; 263)

  1. Mahkamah Kriminal Internasional untuk Bekas Yugoslavia (The International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY)

  1. Mahkamah Kriminal untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda)
        Mahkamah ini bertempat di Arusha, Tanzania dan didirikan berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 955, tanggal 8 November 1994. tugas Mahkamah ini adalah untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku kejahatan pembunuhan missal sekitar 800.000 orang Rwanda, terutama dari suku Tutsi. Mahkamah mulai menjatuhkan hukuman pada tahun 1998 terhadap Jean-Paul Akayesu, mantan Walikota Taba, dan juga Clement Kayishema dan Obed Ruzindana yang telah dituduh melakukan pemusnahan ras (genosida) . Mahkamah mengungkap bahwa bahwa pembunuhan massal tersebut mempunyai tujuan khusus, yaitu pemusnahan orang-orang Tutsi, sebagai sebuah kelompok suku, pada tahun 1994.

Walaupun tugas dari Mahkamah Kriminal Internasional untuk Bekas Yugoslavia dan Mahkamah Kriminal untuk Rwanda belum selesai, namun Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah menyiapkan pembentukan mahkamah- untuk Kamboja untuk mengadili para penjahat perang di zaman pemerintahan Pol Pot dan Khmer Merah, antara tahun 1975 sampai dengan 1979 yang telah membunuh sekitar 1.700.000 orang.

Jika diperkirakan bahwa tugas Mahkamah Peradilan Yugoslavia dan Rwanda telah menyelesaikan tugas mereka, maka Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mengeluarkan resolusi untuk membubarkan kedua Mahkamah tersebut, yang sebagaimana diketahui memiliki sifat ad hoc (sementara). (Mauna, 2003; 265).


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

No comments:
Write komentar

Silahkan isi komentar Anda disini

E-learning

Produk Rekomendasi