Sunday, July 4, 2010

eum Banten Lama

 

Museum Banten Lama


 

Museum situs kepurbakalaan Banten Lama yang berdiri di atas lahan seluas 10.000 m2 dengan luas bangunan 778 m2. Museum ini menyimpan koleksi peninggalan benda-benda sejarah, seperti keramik lokal dan keramik-keramik dari luar negeri diantaranya Myanmar, Vietnam, China, Jepang dan Timur Tengah. Selain itu, di museum ini juga terdapat koleksi genting kuno, peluru, keris, golok, meriam, pakaian adat masa Kesultanan Banten, peti perhiasan, pengindelan serta alat pertunjukan kesenian debus. Bahkan yang sangat menarik, di museum Banten Lama juga terdapat koleksi puluhan mata uang asing dan mata uang yang dicetak masyarakat Banten sendiri, seperti mata uang Caxa (China), VOC (Belanda), Inggris, Tael (Tumdaya), dan mata uang Banten yang diberlakukan pada masa pergerakan nasional yaitu Oridabs (Orang Republik Indonesia Daerah Banten).

Banyaknya mata uang dari negara ini, sebagai tanda kawasan Banten Lama sebagai tempat persinggahan dan transaksi perdagangan internasional yang dilakukan berbagai bangsa, seperti China, Arab, Melayu, Persia, Belanda dan Inggris. Atau beberapa peninggalan sejarah seperti Keraton Surosowan, Masjid Agung, Keraton Kaibon, Waduk Tasik Ardi, Pelabuhan Karangantu, Wihara Avalokitesvara dan Benteng Speelwijk sebagai peninggalan Belanda.

Semua menggambarkan bagaimana Banten menjadi nadi perdagangan di abad XVI-XVIII. Namun, sisa-sisa bangunan di kawasan kesultanan Banten saat ini kondisinya sangat memprihatinkan. Bangunan cagar budaya yang menjadi symbol kejayaan banten, kemegahannya harus terhalang oleh semrautnya pedagang kaki lima yang berjajar menutupi bangunan.


 


 

  • Meriam

Nama meriam ini adalah meriam Ki Amuk. Pada meriam ini terdapat tiga buah prasasti dengan huruf dan bahasa arab. Salah satu prasasti tersebut, yaitu yang terletak pada bagian moncongnya tertulis kalimat "aqibatul khoiri salamatul imani". Dilihat dari tulisan tersebut, meriam ini dibuat pada tahun 1450 atau tahun 1528/1529 M. Jadi meriam ini telah ada kira-kira seperempat abad sebelum Kesultanan Banten berdiri. Meriam ini nampaknya buatan Eropa.

Sejarah keberadaan meriam ini diawali dengan pertahanan Keraton Sorosowan yang awalnya dikelilingi oleh benteng, dan benteng tersebut dilengkapi dengan berbagai pucuk senjata artileri, bahkan di Jawa Barat penggunaan meriam sebagai senjata telah tercatat cukup panjang dalam sejarahnya. Menurut de Barros, ketika orang Portugis pertama tiba di Jawa, meriam terbaik telah dibuat di daerah setempat. Catatan berikutnya dari orang Portugis, yang berasal dari abad 10 menyatakan bahwa Banten pada satu sisinya memiliki kubu kayu yang sangat kuat yang dilengkapi dengan meriam. (Crucq, 1938: 361). Pada tahun 1596 berdasarkan catatan orang Belanda yang pertama singgah di Banten meragukan keadaan meriam-meriam yang dipasang pada setiap sudut tersebut. Dan salah satu yang terbesar dan beberapa yang ukuran lebih kecil dipasang di depan istana (Crucq, 1938: 363). Bagaimanapun meriam-meriam itupun tidak dapat digunakan karena amunisinya harus diimpor dari Malaka, baru kemudian belakangan, Inggris memasok amunisinya. Peluru-peluru itu mulai dibuat di Banten pada tahun 1666. (Hasan M. Ambary).

Pada tahun 1637 ddirikan perbentengan baru sekeliling Banten untuk melawan serangan yang diduga akan datang dari Mataram, oleh karena itu mungkin ditempatkan sebuah meriam di sebelah selatan (Crucq, 1938: 373). Selama Blokade VOC terhadap Banten pada tahun 1657-1658. Banten memasang deretan meriam pada kubu-kubu sepanjang pantai. Menurut kebiasaan orang Jawa, setiap meriam tersebut memiliki nama khusus, seperti disebutkan dalam sejarah Banten, diantaranya dengan nama "ki Amuk" dan "Ki Jagur". Setiap meriam ini di bawah pengawasan seorang pangeran atau bangsawan. Seorang Belanda Dirk Van Lier pada tahun 1659 melaporkan bahwa Banten Lama diperkuat dengan 5 benteng pertahanan setinggi manusia, dan pada setiap kubu dilengkapi dengan 5-7 meriam. Ia memperkirakan bahwa di sana terdapat 250 meriam, setengahnya dibuat dari perunggu (mungkin usianya lebih tua), dan setengahnya lagi terbuat dari besi, yang mungkin merupakan tambahan yang dilakukan pada abad ke-17.

  • Pengindelan

Pengindelan adalah sebuah bangunan berbentuk lorong yang memanjang dengan bagian atas berbentuk setengah lingkaran, pada kedua ujungnya terdapat pintu keluar masuk air. Pengindelan ini terbuat dari bahan bata, semen dan pasir, derngan ukuran panjang 18,20 m dan lebar 5,65 m. Lorong ini sebagai penyaring air yang mengalir dari Kolam Tasik Ardi, sebagai penampung dan penjernih air. Pengindelan ini merupakan bangunan peninggalan masa Kerajaan islam Banten pada masa pemerintahan Sultan Maulana Malik Hasanuddin (1526-1570).

Pengindelan ada tiga jenis, yaitu : Pengindelan Merah untuk penyaringan air tahap pertama, Pengindelan Putih untuk tahap kedua yang tentunya lebih jernih air yang dihasilkannya, sedangkan yang terakhir adalah Pengindelan Emas di mana air yang keluar dari bangunan ini nantinya akan dialirkan menuju tempat pemandian raja-raja di dalam Istana Surosowan.

Air yang diperoleh berasal dari danau/waduk Tasik Ardi yang berjarak kurang lebih 2,5 km ke arah barat daya dari Istana Surosowan. Di tengah danau Tasik Ardi terdapat pulau berbentuk segi empat, yang dulunya digunakan sebagai tempat rekreasi keluarga Sultan. Di pulau ini juga ada bangunan dan kamar mandi, yang sisa-sisanya masih bisa dilihat sampai sekarang.

Melalui pipa-pipa bawah tanah, air yang berasal dari Tasik Ardi dialirkan ke Pengindelan Merah, Putih dan Emas untuk melalui proses penjernihan dan pengendapan kotoran. Sayang sekali ketiga pengindelan ini sudah tidak berfungsi lagi dengan baik, malah untuk Pengindelan Emas bentuk bangunan sudah rusak separuhnya dengan hanya menyisakan bahan bangunan dasarnya saja tanpa atap ditambah dengan tanaman liar dan genangan air yang berwarna kehijauan ikut menambah kesan tak terawatt.

Karena bentuk bangunan Pengindelan Emas yang sudah tidak utuh lagi dan jarak yang cukup jauh antara satu pengindelan dengan lainnya, tidak terpikir oleh penulis bahwa di samping Pengindelan Merah dan Putih masih ada satu pengindelan lagi. Untunglah petugas museum kepurbakalaan Banten memberi gambaran tentang di mana letak pengindelan terakhir (emas), sehingga penulis berhasil menemukan dan mencari lokasinya. Ketidak utuhan bangunan Pengindelan Emas ini juga menimbulkan tanda tanya tentang bagaimana bentuk atap tersendiri yang berbeda?


 

No comments:
Write komentar

Silahkan isi komentar Anda disini

E-learning

Produk Rekomendasi