FILSAFAT DAN KEBENARAN Bahan Diskusi Pertemuan IV-V Kebenaran menjadi tema sentral dalam filsafat. Karena kebenaran adalah fitrah manusia yang hanief, maka dengan didorong oleh thaumasia, unsatisfaction, sense of curiousity, dan aporia maka manusia mencari jalan menuju kebenaran. Diskursus kebenaran pun akhirnya mewarnai setiap peradaban manusia: apakah yang benar itu? Bagaimana mencari kebenaran itu? apakah kebenaran itu bernilai obsolut-statis ataukah relatif-dinamis? Serta segudang pertanyaan lain yang terus menerus menjadi warna dalam setiap peradaban hingga kini. Bila sampai kini manusia terus mencari jawaban atas kebenaran itu, apakah kemudian dapat diartikan bahwa kebenaran itu utopis: hanya ada dalam teori namun tidak mempraksis? De omnibus dubitandum! Segala sesuatu harus diragukan kata Rene Descartes. Namun segala yang ada dalam hidup ini dimulai dengan meragukan sesuatu, seperti Hamlet yang menantang Ophelia untuk ragu: "Doubt thou the stars are fire; doubt the sun doth move; doubt truth tobe a liar; but never doubt I love" (Shakespeare, "Hamlet") Kebenaran harusnya merupakan pernyataan tanpa ragu! Baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan ini membawa kita kepada sebuah pernyataan: bagaimanakah caranya kita mendapatkan pengetahuan yang benar itu? Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan paham apa yang kita kenal dengan rasionalisme. Sedangkan mereka yang mendasarkan diri kepada pengalaman mengembangkan paham yang disebut dengan empirisme. Guna memahami diskursus itu beberapa sub-tema diskusi berikut paling tidak dapat menghantarkan kita ke arah pemahaman yang 'benar' tentang kebenaran itu. Semoga.... Teori tentang Kebenaran Teori Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mempergunakan istilah teori, bahkan karena seringnya kita menggunakan istilah tersebut kita seringkali pula tidak memperhatikan makna yang sebenarnya sehingga di kalangan masyarakat awam istilah ini menjadi terdegradasi maknanya. Contoh percakapan dalam sebuah iklan terkenal beberapa waktu lalu ("ah…. teori" ) cukup menjadi bukti adanya degradasi makna bahwa seolah teori itu tidak bermanfaat sama sekali, dan tidak diperlukan karena yang terpenting adalah bukti dan kerja (praktek). Pendapat ini pada satu sisi mungkin ada benarnya, terutama bila kita berpikir secara dikotomis, yang mempertentangkan teori (theory) di satu sisi yang ekstrem dengan praktek (practice) di sisi yang lain. Namun bila paradigma berpikir yang kita gunakan lebih radikal, yang memandang teori dan praktek sebagai suatu kontinum dalam sebuah proses yang saling berhubungan dan sinergis, maka tentu kesalahan pemahaman sebagaimana digambarkan di muka tidak perlu terjadi. Untuk ini perlulah kita telaah terlebih dahulu konsep dan/ pengertian-pengertian tersebut. Secara gramatikal teori didefinisikan sebagai "asas dan hukum yang biasanya menjadi dasar suatu pengetahuan; pendapat, cara, dan aturan untuk melakukan sesuatu; pendapat atau temuan cara yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu kejadian". (Eka Yani A., Dra., 1997:504). Atau "an explanation or system of anything; ideas and abstract principles of a science or art" (Quen's Englis Dictionary). Sedangkan secara konseptual, teori antara lain didefinisikan sebagai "serangkaian konsep dalam bentuk preposisi yang saling berkaitan, bertujuan untuk memberikan gambaran sistematis mengenai suatu gejala". (Manasse Malo, 1986:34-35). Dalam pengertian lain disebutkan bahwa teori merupakan "pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu sektor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan". (M. Solly Lubis, Prof.DR.SH., 1994:30). Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa teori pada dasarnya merupakan konsep atau sekumpulan konsep yang disusun sedemikian rupa sehingga mampu menjelaskan suatu fenomena secara komprehensif dan sistematis. Dan oleh karenanya bila kesimpulan ini kita terapkan maka yang dimaksud (dan yang akan dibahas di dalam) Teori Konstitusi akan mencakup sekumpulan konsep dalam sistematika tertentu mengenai obyek studi konstitusi sedemikian rupa sehingga akan diperoleh kejelasan yang sistematis dan komprehensif mengenai obyek studi yang dimaksud. Di muka telah disebutkan bahwa teori itu tersusun dari konsep-konsep dalam bentuk preposisi. Lalu apakah yang dimaksud preposisi itu ? Kita tentu tidak akan membahas lebih jauh mengenai aspek ini karena akan dikaji dalam disiplin metodologi ilmu. Namun demikian, berbekal pengertian dasar setidaknya kita dapat memperoleh frameworks yang jelas mengenai aspek-aspek yang akan dikaji dalam diskusi tentang kebenaran itu, khususnya kebenaran ilmu. Hakikat Ilmu dan Kebenaran Ilmu merupakan "The sum of coordinated knowledge relative to a determined subject" (Deklarasi Paris 1948). Kebenaran ilmu secara filosofis dibangun dari keterpenuhannya atas tiga persyaratan dasar, yaitu: Ontologis, Epistemologis, Aksiologis. Oleh karenanya dalam pengertian lain ilmu didefinisikan sebagai "knowledge gained by systematic experimentation and analysis, and the formulation of general principles" (Quen's English Dictionary). Diskursus Kebenaran dari Jaman ke Jaman (Perspektif Filsafat Politik) Jaman Yunani Kuno: Jaman Romawi : Lebih mengkaji sistem kenegaraan yg lebih luas (imperium), masalah hukum, dan administrasi kenegaraan. Perhatian thd prinsip kebebasan dan demokrasi masih kurang, serta diskriminatif thd pola kekeluargaan dari garis ibu. Abad Pertengahan : Jaman Renaissance : Merupakan transisi antara abad pertengahan dan moden yg berciri: bergesernya dominasi iman (gereja) oleh akal dlm pemikiran politik, Pergeseran pemikiran politik yang Teosentris menjadi Antroposentris, mulai munculnya rasionalsme, individualisme, dan humanisme yg menjadi pilar munculnya sekularisme politik, bahkan menjadi embrio munculnya liberalisme, sosialisme, demokrasi, nasionalisme, dan pragmatisme dalam filsafat politik modern. Jaman Modern : ooOOoo
adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adaiah konsisten dengan pernyataan yang pertama. Matematika ialah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan pembuktian berdasarkan teori ini. Sistem matematika disusun di atas beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar yakni aksioma. Dengan mempergunakan beberapa aksioma maka disusun suatu teorema. Di atas teorema maka dikembangkan kaidah-kaidah matematika yang secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang konsisten. Plato (427-347 S.M.) dan Aristoteles (384-322 S.M.) mengembangkan teori koherensi berdasarkan pola pemikiran yang dipergunakan Euclid dalam menyusun ilmu ukurnya. (Jujun Suriasumantri, 2001: 55-57)
adalah pernyataan yang dideduksikan dari sejumlah aksioma atau postulasi sehingga kebenaran atau keberlakuannya tergantung dari kebenaran aksioma atau postulasi itu.
Sunday, July 4, 2010
FILSAFAT DAN KEBENARAN
onboard
6:33 PM
Teori Koherensi, suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelum-nya yang dianggap benar. Bila kita menganggap bahwa "semua manusia pasti akan mati" adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa "si Fulan adalah seorang manusia dan si Fulan pasti akan mati"
Teori Korespondensi. Bertrand Russell (1872— 1970) memandang suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Maksudnya jika seseorang mengatakan bahwa "Ibu Kota Republik Indonesia adalah Jakarta" maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual yakni Jakarta yang memang menjadi Ibu Kota Republik Indonesia. Sekiranya orang lain yang me-nyatakan bahwa "Ibu Kota Republik Indonesia adalah Bandung" maka pernyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang dengan pernyataan tersebut. Dalam hal ini maka secara faktual "Ibu Kota Republik Indonesia adalah bukan Bandung melainkan Jakarta."
Teori Kebenaran Pragmatis. Dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul "How to Make Our Ideas Clear". Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filsafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Herbert Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis. Bagi seorang pragmatis maka kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.
Preposisi adalah suatu pernyataan yang terdiri dari satu atau lebih konsep (variabel). Dalam dunia riset, preposisi ini dapat kita identifikasi dalam beberapa bentuk, antara lain: aksioma, postulasi, teorem, generalisasi empiris, dan hipotesis. (Manasse Malo, 1986:33).
Aksioma dan Postulasi didefinisikan sebagai pernyataan yang sudah diterima sebagai suatu hal yang dianggap benar (berlaku), karenanya tidak perlu diuji kembali. Namun demikian aksioma dan postulasi memiliki perbedaan nilai kebenaran. Bila aksioma nilai kebenarannya secara definisi (bandingkan teori koherensi), namun postulasi kebenarannya bersumber dari data empiris (bandingkan teori korespondensi).
Teorem
Generalisasi Empiris adalah pernyataan yang disimpulkan secara induktif dari sejumlah data berdasarkan hasil penelitian.
Sedangkan Hipotesis adalah pernyataan yang dirumuskan dalam bentuk yang dapat diuji kebenarannya dan menggambarkan atau memprediksikan suatu hubungan tertentu antara dua atau lebih variabel.
Socrates : dilandasi oleh konsepsi ttg "Yang Baik" untuk negara & penguasa. Menurutnya ada 3 tipe WN yang ideal yi: kaum pedagang yg ambisius, prajurit yang militan, dan penguasa yang berakal-budi. Di samping itu menurutnya ada 5 tipe negara, yaitu: Aristokrasi, Timokrasi (militerisme), Oligarki (korporatisme), demokrasi, dan Tirani.
Plato : dilandasi oleh "Idea Kebaikan" bagi negara. Menurutnya negara ideal adalah negara yang penuh dengan kebajikan dan keadilan, dan tiap WN berperan dg semestinya untuk mencapai negara ideal tsb. Pendidikan harus diatur oleh negara utk menciptakan WN yg bertgjwb. Untuk itu Raja haruslah seorg filosof shg kemudian Ia membagi 3 golongan WN, yaitu: Filosof-Raja, Prajurit, dan Rakyat Biasa. Raja hrs seorang filosof krn hanya filosof yang memiliki pengetahuan ttg kebajikan. Pengetahuan adalah sumber kebenaran maka bagi Plato "Knowledge is Power".
Aristotle: Negara adl "he koinonia politike" yg dibentuk untuk menjamin kesejahteraan bersama, krn dlm kesejahteraan bersama kesejahteraan individu dpt diperoleh. Idealnya memang negara diperintah raja-filosof, namun krn itu hampir tidak mungkin maka yg terbaik adl menyusun hukum / konstitusi terbaik yg dpt menjadi sumber dan pedoman pemerintahan bagi para penguasa. 3 bentuk negara yg ideal adl: Monarki, Aristokrasi, Politeia. Sedangkan lawan dari ke-3 bentuk itu adl: Despotie, Tiranie, Oligarkhie, Plutokrasi, dan Demokrasi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Write komentarSilahkan isi komentar Anda disini