Showing posts with label Kesehatan. Show all posts
Showing posts with label Kesehatan. Show all posts

Sunday, July 6, 2014

KEBIASAAN TIDAK SEHAT ORANG INDONESIA KETIKA BERPUASA

 


Terdapat beberapa kebiasaan orang Indonesia yang dinilai tidak sehat dan justru membuat puasa terasa semakin berat. Beberapa kebiasaan berikut dapat membuat ibadah puasa terasa berat dan juga tak sehat untuk tubuh,.

1. Banyak makan manis saat sahur
Makanan yang terlalu manis dan karbohidrat sederhana akan meningkatkan gula darah secara cepat, namun kemudian akan menurunkannya secara drastis, yang akhirnya akan menyebabkan tubuh kekurangan zat gula sebagai zat tenaga sehingga tubuh cepat lemas, cepat lapar dan mengantuk.

2. Langsung tidur sehabis sahur
Jika sehabis sahur langsung tidur, maka makanan itu akan berbalik dari lambung menuju ke kerongkongan. Kondisi ini disebut refluks esofagus. Bila ini terjadi, makanan yang berbalik arah ke kerongkongan akan membawa asam lambung. Akibatnya, kerongkongan akan terasa kering, panas, membuat mual, mulas dan ingin muntah. Ini akan semakin parah pada penderita maag. Tidur boleh dilakuan setelah jedah waktu 1-2 jam setelah sahur.

3. Buka puasa pakai gorengan
Gorengan membawa efek yang tidak baik untuk saluran tenggorokan dan pencernaan, terutama bagi orang yang seharian mengosongkan perut. Makanan yang tinggi lemak seperti gorengan akan menghambat penyerapan nutrisi, membuat orang rentan terserang batuk dan memperlambat pengosongan lambung.

4. ‘Balas dendam’ saat buka puasa bikin kolesterol naik
Puasa sebenarnya bagus sekali untuk kesehatan tubuh, sepanjang orang mau membatasi pola makannya. Dan tidak ada itu kata balas dendam,Akan tetapi banyak sekali kecenderungan orang makan tidak terkontrol pada bulan puasa, tsehingga dapat meningkatkan kolesterol.

5. Puasa malah makin gemuk karena makan berlebihan
Orang menjadi gemuk apabila makanan yang dikonsumsi lebih banyak dari makanan yang diolah menjadi tenaga. Hal ini banyak terjadi di bulan puasa, Biasanya orang yang berpuasa akan makan berlebihan ketika sahur karena takut lemas atau makan balas dendam saat buka. Sedangkan di pagi dan siang harinya, aktivitas fisik yang dilakukan berkurang, banyak tidur dan jarang sekali bergerak. Alhasil, lemak menumpuk dan akhirnya berat badan meningkat

Nabi Muhammad SAW “Berpuasalah maka kamu akan sehat”. Bagaimana agar tubuh kita sehat? Ya berusaha untuk menerapkan pola hidup sehat, termasuk ketika berpuasa.




Monday, January 27, 2014

Nyeri

 

DEFINISI
Nyeri merupakan perasaan tidak menyenangkan yang merupakan pertanda bahwa tubuh telah mengalami kerusakan atau terancam oleh suatu cedera.

Nyeri berawal dari reseptor nyeri yang tersebar di seluruh tubuh.
Reseptor nyeri ini menyampaikan pesan sebagai impuls listrik di sepanjang saraf yang menuju ke medula spinalis dan kemudian diteruskan ke otak.

Kadang ketika sampai di medula spinalis, sinyal ini menyebabkan terjadinya respon refleks; jika hal ini terjadi, maka sinyal segera dikirim kembali di sepanjang saraf motorik ke sumber nyeri dan menyebabkan terjadinya kontraksi otot.
Contoh dari respon refleks adalah reaksi segera menarik tangan ketika menyentuh sesuatu yang sangat panas.

Sinyal nyeri juga sampai ke otak.
Seseorang akan akan merasakan nyeri hanya jika otak mengolah sinyal ini dan mengartikannya sebagai nyeri.

Reseptor nyeri dan jalur sarafnya berbeda pada setiap bagian tubuh.
Karena itu, sensasi nyeri bervariasi berdasarkan jenis dan lokasi dari cedera yang terjadi.
Reseptor nyeri di kuklit sangat banyak dan mampu meneruskan informasi secara akurat. Sedangkan sinyal nyeri dari usus sangat terbatas dan tidak akurat. Otak tidak dapat menentukan sumber yang tepat dari nyeri di usus, lokasi nyeri sulit ditentukan dan cenderung dirasakan di daerah yang lebih luas.

Nyeri yang dirasakan di beberapa daerah tubuh tidak secara pasti mewakili lokasi kelainannya, karena nyeri bisa berpindah ke daerah lain (referred pain).
Referred pain terjadi karena sinyal dari beberapa daerah di tubuh seringkali masuk ke dalam jalur saraf yang sama ke medula spinalis dan otak.
Misalnya nyeri karena serangan jantung bisa dirasakan di leher, rahang, lengan atau perut dan nyeri karena serangan kandung kemih bisa dirasakan di bahu.

Setiap orang memiliki tingkat toleransi yang berbeda terhadap nyeri.
Seseorang bisa merasakan nyeri yang hebat karena tergores atau mengalami memar, sedangkan yang lainnya hanya sedikit mengeluh meskipun mengalami kecelakaan berat atau tertusuk pisau.
Kemampuan untuk mengatasi nyeri tergantung kepada suasana hati, kepribadian dan lingkungan.


PENILAIAN NYERI

Nyeri dapat bersifat tajam atau tumpul, terus menerus atau hilang-timbul, berdenyut-denyut atau menetap, di satu tempat atau di beberapa tempat.
Beberapa jenis nyeri sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Intensitasnya bervariasi mulai dari yang ringan sampai yang tak tertahankan.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membuktikan keberadaan atau parahnya nyeri.

Berbagai penyakit kronis (misalnya kanker, artritis atau penyakit sel sabit) dan penyakit akut (misalnya luka, luka bakar, robekan otot, patah tulang, terkilir, radang usus buntu, batu ginjal atau serangan jantung) menyebabkan nyeri.
Kelainan psikis (misalnya depresi dan kecemasan) juga menyebabkan nyeri, yang disebut nyeri psikogenik.

Nyeri akut adalah nyeri yang dimulai secara tiba-tiba dan biasanya tidak berlangsung lama.
Jika nyerinya hebat, bisa menyebabkan denyut jantung yang cepat, laju pernafasan meningkat, tekanan darah meninggi, berkeringat dan pupil melebar.

Nyeri kronis adalah nyeri yang berlangsung selama beberapa minggu atau bulan; istilah ini biasanya digunakan jika:
- nyeri menetap selama lebih dari 1 bulan
- nyeri sering kambuhan dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun
- nyeri berhubungan dengan penyakit menahun (misalnya kanker).
Nyeri kronis biasanya tidak mempengaruhi denyut jantung, laju pernafasan, tekanan darah maupun pupil; tetapi bisa menyebabkan gangguan tidur, mengurangi nafsu makan dan menyebabkan sembelit, penurunan berat badan, berkurangnya gairah seksual dan depresi.


JENIS NYERI

Nyeri Neuropatik.

Nyeri neuropatik disebabkan oleh suatu kelainan di sepanjang suatu jalur saraf.
Suatu kelainan akan mengganggu sinyal saraf, yang kemudian akan diartikan secara salah oleh otak.

Nyeri neuropatik bisa menyebabkan suatu sakit dalam atau rasa terbakar dan rasa lainnya (misalnya hipersensitivitas terhadap sentuhan).

Infeksi (misalnya herpes zoster) bisa menyebabkan peradangan pada saraf sehingga terjadi neuralgia post-herpetik.
Neuralgia post-herpetik merupakan rasa terbakar yang menahun dan terus menerus dirasakan di daerah yang terinfeksi oleh virus.

Distrofi refleks simpatis merupakan jenis nyeri neuropatik dimana nyeri disertai oleh pembengkakan dan berkeringat atau oleh perubahan pada aliran darah lokal atau perubahan di dalam jaringan (misalnya atrofi atau osteoporosis).
Kekakuan (kontraktur) sendi menyebabkan sendi tidak dapat ditekuk atau diluruskan secara sempurna.

Kausalgia merupakan nyeri yang terjadi setelah suatu cedera atau penyakit pada saraf utama.
Kausalgia menyebabkan nyeri terbakar yang hebat disertai dengan pembengkakan, berkeringat, perubahan aliran darah dan efek lainnya.

Distrofi refleks simpatis maupun kausalgia diobati dengan cara menghambat saraf secara khusus (penghambatan saraf simpatis).

Salah satu contoh dari nyeri neuropatik adalah phantom limb pain, dimana seseorang yang lengan atau tungkainya telah diamputasi merasakan nyeri pada lengan atau tungkai yang sudah tidak ada.
Nyeri bukan berasal dari sesuatu di dalam anggota gerak, tetapi berasal dari saraf diatas anggota gerak yang telah diamputasi. Otak salah mengartikan sinyal saraf ini, yaitu berasal dari anggota gerak yang sudah tidak ada.

Nyeri Setelah Pembedahan.

Hampir setiap orang merasakan nyeri setelah menjalani pembedahan.
Nyerinya bisa menetap dan hilang-timbul, semakin memburuk jika penderita bergerak, batuk, tertawa atau menarik nafas dalam atau ketika perban pembungkus luka diganti.

Setelah pembedahan biasanya diberikan obat pereda nyeri opioid (narkotik). Obat ini paling efektif jika diminum beberapajam sebelum nyeri semakin hebat.
Jika nyeri semakin memburuk, penderita harus melakukan aktivitas atau perban luka operasi akan diganti, maka dosisnya bisa ditingkatkan atau ditambah dengan obat lainnya.

Opiod menimbulkan efek samping berupa mual, ngantuk dan linglung.
Bila nyeri berkurang, sebaiknya dosis diturunkan dan diganti dengan obat pereda nyeri non-opioid (misalnya asetaminofen).

Nyeri Karena Kanker.

Terjadinya nyeri karena kanker bisa melalui beberapa cara.
Tumor tumbuh ke dalam tulang, saraf dan organ lainnya dan menyebabkan rasa tidak nyaman atau nyeri hebat yang tak tertahankan.
Beberapa pengobatan kanker (misalnya pembedahan dan terapi penyinaran) juga bisa menyebabkan nyeri.

Cara terbaik untuk menghilangkan nyeri karena kanker adalah mengobati kankernya.
Nyeri akan berkurang jika tumor diangkat melalui pembedahan atau diperkecil ukurannya melalui penyinaran. Tetapi biasanya diperlukan pereda nyeri yang lain.

Biasanya diberikan obat non-opioid seperti asetaminofen atau obat anti peradangan non-steroid.
Jika obat tersebut tidak berhasil mengatasi nyeri, bisa diberikan pereda nyeri opioid.

Opioid diberikan dalam sediaan per-oral (ditelan). Jika penderita tidak dapat mentolerir obat per-oral, maka opioid diberikan melalui jalan lain (misalnya melalui kulit atau vena).
Suntikan diberikan setiap beberapa jam atau obat dimasukkan melalui selang infus yang terpasang.

Lama-lama penderita akan memerlukan dosis opioid yang lebih tinggi karena kanker tumbuh lebih besar atau karena terjadi toleransi.
Penderita tidak perlu takut bahwa obat ini tidak manjur lagi atau menjadi ketagihan.
Jika kanker telah berhasil diatasi, sebagian besar penderita mampu menghentikan pemakaian opioid tanpa kesulitan yang berarti. Jika kanker tidak dapat diobati, sangat penting untuk membebaskan pasien dari rasa nyeri.

Nyeri Yang Berhubungan Dengan Kelainan Psikis

Nyeri biasanya disebabkan oleh penyakit, sehingga dokter akan mencari penyebab yang bisa diobati.
Beberapa penderita memiliki nyeri yang menetap tanpa adanya penyakit yang bisa menimbulkan nyeri.

Proses-proses psikis seringkali menimbulkan keluhan nyeri.
Nyeri yang dirasakan terutama berasal dari penyebab psikogenik atau disebabkan oleh suatu kelainan fisik, yang bertambah hebat selama penderita mengalami stres psikis.

Sebagian besar manifestasi nyeri akibat masalah psikis adalah berupa sakit kepala, nyeri punggung bagian bawah, nyeri wajah, nyeri perut atau nyeri panggul.

Nyeri psikogenik kadang perlu ditangani oleh seorang ahli jiwa, dengan menitikberatkan pengobatan pada rehabilitasi dan terapi psikis.
Bisa juga diberikan obat-obatan untuk meredakan nyeri.


Jenis Nyeri Yang Lainnya

Beberapa penyakit, seperti AIDS, dapat menyebabkan nyeri sehebat nyeri karena kanker.
Pengobatan terhadap nyeri yang berhubungan dengan penyakit ini serupa dengan pengobatan untuk kanker.

Artritis, baik karena osteoartritis maupun karena penyakit tertentu (misalnya artritis rematoid) merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan nyeri.
Untuk mengatasinya bisa diberikan obat-obatan atau melakukan latihan-latihan tertentu.

Suatu nyeri dikatakan idiopatik jika penyebabnya tidak diketahui, dan tidak ditemukan bukti-bukti adanya penyakit atau masalah psikis.


PENGOBATAN NYERI

Beberapa jenis analgetik (obat pereda nyeri) bisa membantu mengurangi nyeri.
Obat ini digolongkan ke dalam 3 kelompok:

Analgetik opioid (narkotik)
Analgetik non-opioid
Analgetik ajuvan.
Analgetik opioid merupakan pereda nyeri yang paling kuat dan sangat efektif untuk mengatasi nyeri yang hebat.

Analgetik Opioid

Secara kimia analgetik opioid berhubungan dengan morfin.
Morfin merupakan bahan alami yang disarikan dari opium, walaupun ada yang berasal dari tumbuhan lain dan sebagian lainnya dibuat di laboratorium.

Analgetik opioid sangat efektif dalam mengurangi rasa nyeri namun mempunyai beberapa efek samping.
Semakin lama pemakai obat ini akan membutuhkan dosis yang lebih tinggi. Selain itu sebelum pemakaian jangka panjang dihentikan, dosisnya harus dikurangi secara bertahap, untuk mengurangi gejala-gejala putus obat.

Berbagai kelebihan dan kekurang dari analgetik opiod:
Morfin, merupakan prototipe dari obat ini, yang tersedia dalam bentuk suntikan, per-oral (ditelan) dan per-oral lepas lambat.
Sediaan lepas lambat memungkinkan penderita terbebas dari rasa nyeri selama 8-12 jam dan banyak digunakan untuk mengobati nyeri menahun.
Analgetik opioid seringkali menyebabkan sembelit, terutama pada usia lanjut.
Pencahar (biasanya pencahar perangsang, contohnya senna atau fenolftalein) bisa membatu mencegah atau mengatasi sembelit.
Opioid dosis tinggi sering menyebabkan ngantuk.
Untuk mengatasinya bisa diberikan obat-obat perangsang (misalnya metilfenidat).
Analgetik opioid bisa memperberat mual yang dirasakan oleh penderita.
Untuk mengatasinya diberikan obat anti muntah, baik dalam bentuk per-oral, supositoria maupun suntikan (misalnya metoklopramid, hikroksizin dan proklorperazin).
Opioid dosis tinggi bisa menyebabkan reaksi yang serius, seperti melambatnya laju pernafasan dan bahkan koma.
Efek ini bisa dilawan oleh nalokson, suatu penawar yang diberikan secara intravena.

Analgetik Opioid

Obat Masa efektif Keterangan
Morfin Suntikan intravena/intramuskuler:2-3 jam
Per-oral:3-4 jam
Sediaan lepas lambat:8-12jam Mula kerjanya cepat
Sediaan per-oral sangat efektif untuk mengatasi nyeri karena kanker
Kodein Per-oral:3-4 jam Kurang kuat dibandingkan dengan morfin
Kadang diberikan bersamaan dengan aspirin atau asetaminofen
Meperidin Suntikan intravena/intramuskuler:sekitar 3 jam
Per-oral:tidak terlalu efektif Bisa menyebabkan epilepsi, tremor dan kejang otot
Metadon Per-oral:4-6 jam, kadang lebih lama Juga digunakan untuk mengobati gejala putus obat karena heroin
Proksifen Per-oral:3-4 jam Biasanya diberikan bersamaan dengan aspirin atau asetaminofen, untuk mengatasi nyeri ringan
Levorfanol Suntikan intravena atau intramuskuler:4 jam
Per-oral:sekitar 4 jam Sediaan per-oral sangat ampuh
Bisa digunakan sebagai pengganti morfin
Hidromorfon Suntikan intravena/intramuskuler:2-4 jam
Per-oral:2-4 jam
Suppositoria per-rektum:4 jam Mula kerjanya cepat
Bisa digunakan sebagai pengganti morfin
Efektif untuk mengatasi nyeri karena kanker
Oksimorfon Suntikan intravena/intramuskuler:3-4 jam
Suppositoria per-rektum:4 jam Mula kerjanya cepat
Oksikodon Per-oral:3-4 jam Biasanya diberikan bersama aspirin atau asetaminofen
Pentazosin Per-oral:sampai 4 jam Bisa menghambat kerja analgetik opioid lainnya
Kekuatannya hampir sama dengan kodein
Bisa menyebabkan linglung & kecemasan, terutama pada usia lanjut


Analgetik Non-opioid

Semua analgetik non-opiod (kecuali asetaminofen) merupakan obat anti peradangan non-steroid (NSAID, nonsteroidal anti-inflammatory drug).
Obat-obat ini bekerja melalui 2 cara:
Mempengaruhi sistem prostaglandin, yaitu suatu sistem yang bertanggungjawab terhadap timbulnya rasa nyeri.
Mengurangi peradangan, pembengkakan dan iritasi yang seringkali terjadi di sekitar luka dan memperburuk rasa nyeri.
Aspirin merupakan prototipe dari NSAID, yang telah digunakan selama lebih dari 100 tahun.
Pertama kali disarikan dari kulit kayu pohon Willow.
Tersedia dalam bentuk per-oral (ditelan) dengan masa efektif selama 4-6 jam.
Efek sampingnya adalah iritasi lambung, yang bisa menyebabkan terjadinya ulkus peptikum. Karena mempengaruhi kemampuan darah untuk membeku, maka aspirin juga menyebabkan kecenderungan terjadinya perdarahan di seluruh tubuh. Pada dosis yang sangat tinggi, aspirin bisa menyebabkan gangguan pernafasan. Salah satu pertanda dari overdosis aspirin adalah teling berdenging (tinitus).

Mula kerja dan masa efektif dari berbagai NSAID berbeda-beda, dan respon setiap orang terhadadap NSAID juga berbeda-beda.
Semua NSAID bisa mengiritasi lambung dan menyebabkan ulkus peptikum, tetapi tidak seberat aspirin.
Mengkonsumsi NSAID bersamaan dengan makanan dan antasid bisa membantu mencegah iritasi lambung.
Obat misoprostol bisa membantu mencegah iritasi lambung dan ulkus peptikum; tetapi obat ini bisa menyebabkan diare.

Asetaminofen berbeda dari aspirin dan NSAID.
Obat ini bekerja pada sistem prostaglandin tetapi dengan mekanisme yang berbeda.
Asetaminofen tidak mempengaruhi kemampuan pembekuan darah dan tidak menyebabkan ulkus peptikum maupun perdarahan.
Tersedia dalam bentuk per-oral atau supositoria, dengan masa efektif selama 4-6 jam.
Dosis yang sangat tinggi bisa menyebabkan efek samping yang sangat serius, seperti kerusakan hati.

Analgetik Ajuvan

Analgetik ajuvan adalah obat-obatn yang biasanya diberikan bukan karena nyeri, tetapi pada keadaan tertentu bisa meredakan nyeri.
Contohnya, beberapa anti-depresi juga merupakan analgetik non-spesifik dan digunakan untuk mengobati berbagai jenis nyeri menahun, termasuk nyeri punggung bagian bawah, sakit kepala dan nyeri neuropatik.
Obat-obat anti kejang (misalnya karbamazepin) dan obat bius lokal per-oral (misalnya meksiletin) digunakan untuk mengobai nyeri neuropatik.

Anestesi Lokal & Topikall

Anestesi (obat bius) lokal bisa digunakan langung pada atau di sekitar daerah yang luka untuk membantu mengurangi nyeri.
Jika nyeri menahun disebabkan oleh adanya cedera pada satu saraf, maka bisa disuntikkan bahan kimia secara langsung ke dalam saraf untuk menghilangkan nyeri sementara.

Anestesi topikal (misalnya lotion atau salep yang mengandung lidokain) bisa digunakan untuk mengendalikan nyeri pada keadaan tertentu.

Krim yang mengandung kapsaisin (bahan yang terkandung dalam merica) kadang bisa membantu mengurangi nyeri karena herpes zoster, osteoartritis dan keadaan lainnya.

Pengobatan Nyeri Tanpa Obat

Selain obat-obatan, pengobatan lainnya juga bisa membantu mengurangi nyeri.
Mengobati penyakit yang mendasarinya, bisa menghilangkan atau mengurangi nyeri yang terjadi. Misalnya memasang gips pada patah tulang atau memberikan antibiotik untuk infeksi sendi, bisa mengurangi nyeri.

Tindakan yang bisa membantu mengurangi nyeri adalah:
Kompres dingin dan hangat
Ultrasonik bisa memberikan pemanasan dalamd an mengurangi nyeri karena otot yang robek atau rusak dan peradangan pada ligamen
TENS (transcutaneous electrical nerve stimulation) merupakan arus listrik ringan yang diberikan pada permukaan kulit
Akupuntur, memasukkan jarum kecil ke bagian tubuh tertentu.
Mekanismenya masih belum jelas dan beberapa ahli masih meragukan efektivitasnya.
Biofeedback dan teknik kognitif lainnya (misalnya hipnotis atau distraksi) bisa membantu mengurangi nyeri dengan merubah perhatian penderitanya.
Teknik ini melatih penderita untuk mengendalikan nyeri atau mengurangi dampaknya.
Dukungan psikis merupakan faktor yang tidak boleh disepelekan.
Sebaiknya diperhatikan tanda-tanda adanya depresi dan kecemasan, yang mungkin akan memerlukan penanganan ahli jiwa.




MENGELUARKAN FECES SECARA MANUAL

 

M
1.    Pengertian
Tindakan memasukkan jari perawat kedalam rektum klien untuk mengambil, menghancurkan massa feces dan mengeluarkannya dalam bentuk hancur
2.    Tujuan
Membantu mengeluarkan feces yang keras dari rektum
3.    Persiapan
a.    Persiapan pasien
1)    Mengucapkan salam terapeutik
2)    Memperkenalkan diri
3)    Menjelaskan pada klien dan keluarga tentang prosedur dan tujuan  tindakan yang akan dilaksanakan.
4)    Penjelasan yang disampaikan dimengerti klien/keluarganya
5)    Selama komunikasi digunakan bahasa yang jelas, sistematis serta tidak mengancam.
6)    Klien/keluarga diberi kesempatan bertanya untuk klarifikasi
7)    Privacy klien selama komunikasi dihargai.
8)    Memperlihatkan kesabaran , penuh empati, sopan, dan perhatian serta respek selama berkomunikasi dan melakukan tindakan
9)    Membuat kontrak (waktu, tempat dan tindakan yang akan dilakukan)
b.    Persiapan alat
1)    Pelumas
2)    Sarung tangan
3)    Selimut mandi
4)    Waskom
5)    Handuk
6)    Sabun
7)    Perlak dan pengalas
8)    Pispot
9)    Air bersih dalam wadah
10)    Kapas cebok/toilet tissue
4.    Prosedur
a.    Mencuci tangan
b.    Pasang perlak dan pengalas
c.    Letakkan pispopt disamping klien
d.    Tutup bagian bawah tubuh klien dengan selimut mandi. Bantu klien membuka pakaian bawah
e.    Gunakan sarung tangan. Olesi jelly pada jari telunjuk
f.    Masukkan jari kedalam rektum klien dan dengan perlahan sepanjang dinding rectal kearah iumbilicus
g.    Secara perlahan lunakkan feces dengan massase daerah sekitarnya. Arahkan jari kedalam inti yang mengeras
h.    Korek feces kebawah kearah anus. Keluarkan sebagian kecil feces setiap kali dan buang pada pispot
i.    Teruskan membersihkan rectum dari feces
j.    Setelah tindakan cuci bokong klien dengan menggunakan air atau toilet tissue dan keringkan dengan handuk
k.    Singkirkan pispot dan buang feces. Lepaskan sarung tangan dengan membalikannya bagian dalam keluar dan buang ketempat yang telah disediakan
l.    Klien dirapihkan
m.    Alat dirapihkan kembali
n.    Mencuci tangan
o.    Melaksanakan dokumentasi :
1)    Catat tindakan yang dilakukan dan hasil serta respon klien pada lembar catatan klien
2)    Catat tgl dan jam melakukan tindakan dan nama perawat yang melakukan dan tanda tangan/paraf pada lembar catatan klien

DIABETES MELITUS

 

A.    Konsep Dasar
1.    Pengertian
Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian mengenai Diabetes Melitus oleh beberapa orang ahli, diantaranya :
a.    Diabetes melitus adalah penyakit kronis metabolisme abnormal yang memerlukan pengobatan seumur hidup dengan diet, latihan, dan obat-obatan (Carpenito, 1999 : 143).
b.    Diabetes melitus merupakan suatu penyakit kronik yang kompleks yang melibatkan (1) kelainan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak dan (2) berkembangnya komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler dan neurologis (Long, 1996 : 4)
c.    Diabetes melitus adalah gangguan kronis yang ditandai dengan metabolisme karbohidrat dan lemak yang diakibatkan oleh kekurangan insulin atau secara relatif kekurangan insulin (Tucker et all, 1992 : 401).
d.    Dibetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Price dan Wilson, 1992 : 1111).

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa diabetes melitus adalah penyakit kronis yang ditandai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak yang disebabkan oleh defisiensi insulin relatif atau absolut.

2.    Anatomi dan Fisiologi
a.    Anatomi Pankreas
    Menurut Price dan Wilson (1992 : 430-431) pankreas merupakan organ yang panjang dan ramping. Panjangnya sekitar 6 inci dan lebarnya 1,5 inci. Pankreas terletak retroperitoneal dan dibagi dalam 3 segmen utama : kaput, korpus dan kauda. Kaput terletak pada bagian cekung duodenum dan kauda menyentuh limpa.
        Pankreas dibentuk dari 2 sel dasar yang mempunyai fungsi sangat berbeda. Sel-sel eksokrin yang berkelompok-kelompok disebut asini menghasilkan unsur-unsur getah pankreas. Sel-sel endokrin atau pulau Langerhans menghasilkan sekret endokrin, insulin dan glukagon yang penting untuk metabolisme karbohidrat.
        Pankreas merupakan kelenjar kompleks alveolar. Secara keseluruhan pankreas menyerupai setangkai anggur, cabang-cabangnya merupakan saluran yang bermuara pada duktus pankreatikus utama (duktus Wirsungi). Saluran-saluran kecil dari tiap asinus mengosongkan isinya ke saluran utama. Saluran utama berjalan di sepanjang kelenjar, sering bersatu dengan duktus koledokus pada ampula Vater sebelum masuk ke duodenum. Saluran tambahan, duktus Santorini, sering ditemukan berjalan dari kaput Pankreas masuk ke duodenum, sekitar 1 inci di atas papila duodeni.

b.    Konsep Fisiologis Pankreas
Menurut Corwin (1996 : 538 – 541), konsep fisiologis pankreas dibagi 2 yaitu :
1.    Fungsi Eksokrin Pankreas
a)    Sekresi Enzim Pankreas
Sekresi enzim-enzim pankreas terutama  berlangsung akibat perangsangan pankreas oleh kolesistokinin (CCK), suatu hormon yang dikeluarkan oleh usus halus.
b)    Sekresi Natrium bikarbonat
Natrium bikarbonat dikeluarkan dari sel-sel asinus ke usus halus, sebagai respon terhadap hormon usus halus untuk menetralkan kimus yang asam karena enzim-enzim pencernaan tidak dapat berfungsi dalam lingkungan asam.



2.    Fungsi Endokrin Pankreas
Fungsi endokrin pankreas adalah memproduksi dan melepaskan hormon insulin, glukagon dan somatostatin  yaitu oleh pulau Langerhans.
a)    Sekresi insulin
Insulin merupakan suatu hormon yang menurunkan glukosa darah (Price dan Wison, 1996 : 1109) dilepaskan pada suatu tingkat/kadar basal oleh sel-sel beta () pulau Langerhans. Rangsangan utama untuk pelepasan insulin di atas kadar basal adalah peningkatan kadar glukosa darah , hal ini merangsang sekresi insulin dari pankreas dengan cepat meningkat dan kembali ke tingkat basal dalam 2-3 jam. Insulin adalah hormon utama pada stadium absorptif pencernaan yang muncul segera setelah makan. Di antara waktu makan, kadar insulin rendah.
        Insulin bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor insulin yang terdapat di sebagian besar sel tubuh untuk menyebabkan peningkatan transportasi glukosa    (yang diperantarai oleh pembawa)  ke dalam sel. Setelah berada di dalam sel, glukosa dapat segera dipergunakan untuk menghasilkan energi melalui siklus Krebs, atau dapat disimpan di dalam sel sebagai glikogen, sewaktu glukosa dibawa masuk ke dalam sel, kadar glukosa darah menurun.    Insulin adalah hormon anabolik (pembangun) utama pada tubuh dan memiliki berbagai efek. Insulin meningkatkan transportasi asam amino ke dalam sel, merangsang pembentukan protein serta menghambat penguraian simpanan lemak, protein dan glikogen.   Insulin   juga    menghambat   glukoneogenesis  (pembentukan glukosa baru) oleh hati .



       

                                                                                                                                                                                                                                                                      





Gambar 2.2. Siklus umpan balik yang memperlihatkan efek penurunan glukosa darah pada  
          pengeluaran insulin. (Elizabeth J. Corwin. 1996. Handbook of Pathophysiology. Lippincot. Raven Publishers. Philadelphia)

b)    Sekresi glukagon
Glukagon adalah suatu hormon protein yang dikeluarkan oleh sel-sel alpha () pulau Langerhans sebagai respon terhadap kadar glukosa darah yang rendah dan peningkatan asam amino plasma. Glukagon adalah hormon stadium pascaabsorptif pencernaan, yang muncul dalam masa puasa di antara waktu makan. Fungsi hormon ini terutama adalah katabolik (penguraian).  Glukagon merangsang penguraian lemak dan pelepasan asam-asam lemak bebas ke dalam darah, untuk digunakan sebagai sumber energi selain glukosa.
c)    Sekresi Somatostatin
Somatostatin disekresikan oleh sel-sel delta () pulau Langerhans. Hormon ini mengotrol metabolisme dengan menghambat sekresi insulin dan glukagon.
3.    Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus (American Diabetes Association 1997)
a.    Diabetes tipe I
b.     Diabetes tipe II
c.     Diabetes tipe lain
1)    Defek genetik fungsi sel beta
2)    Defek genetik kerja insulin
3)    Penyakit eksokrin pankreas
Pankreatitis, tumor/pankteatektomi, dan pankreatopati fibro kalulus
4)    Endokrinopati
Akromegali, sindrom Cushing, feokromositoma, hipertiroidisme
5)    Karena obat/zat kimia
6)    Infeksi
Rubella kongenital
7)    Sebab imunologi yang jarang
Antibodi anti insulin.
8)    Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM.
d.    Diabetes Melitus Gestasional (DMG).

4.    Patofisiologi
a.    Diabetes Melitus Tipe I ( Diabetes Melitus Dependent Insulin/DMDI )
Diabetes melitus tipe I adalah penyakit hiperglikemi akibat ketiadaan absolut insulin, biasanya dijumpai pada orang yang tidak gemuk dan berusia kurang dari 30 tahun . Diabetes tipe I diperkirakan timbul akibat destruksi otoimun sel-sel beta pulau Langerhans yang dicetuskan oleh lingkungan. Individu yang peka secara genetik tampaknya memberikan respon dengan memproduksi antibodi terhadap sel-sel beta, yang akan mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa. Juga terdapat bukti adanya peningkatan antibodi-antibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans yang ditujukan terhadap komponen antigenik tertentu dari sel-sel beta. Mungkin juga bahwa para individu yang mengidap diabetes tipe I memiliki kesamaan antigen antara sel-sel beta pankreas mereka dengan virus atau obat tertentu, sehingga sistem imun gagal mengenali bahwa sel-sel pankreas adalah “diri” atau self     (Gambar 2.3) (Corwin, 1996 : 543 )

                                                                                                      Efektor sel T         
                 Virus ?
       Genetik ?                                                   
                                                                         


Gambar 2.3 Autoimunitas dan Diabetes
(Barbara C. Long 1999. Perawatan
Medikal Bedah edisi 3 . Yayasan
Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan.
Bandung)
       
b.    Diabetes Melitus Tipe II (Diabetes Melitus Non Dependent Insulin/DMNDI)
DM tipe II tampaknya berkaitan dengan kegemukkan. Selain itu, pengaruh genetik yang menentukan kemungkinan seseorang mengidap penyakit ini, cukup kuat. Mungkin pula bahwa individu yang menderita diabetes tipe II menghasilkan antibodi insulin yang berikatan dengan reseptor insulin, menghambat akses insulin ke reseptor, tetapi tidak merangsang aktivitas pembawa.
    Individu yang mengidap diabetes tipe II tetap menghasilkan insulin. Namun sering terjadi kelambatan dalam ekskresi setelah makan dan berkurangnya jumlah insulin yang dikeluarkan. Hal ini cenderung semakin parah seiring dengan pertambahan usia pasien. Sel-sel tubuh, terutama sel otot dan adiposa, memperlihatkan resistensi terhadap insulin yang terdapat dalam darah.Pembawa glukosa tidak secara adekuat dirangsang dan kadar glukosa darah meningkat. Hati kemudian melakukan glukoneogenesis, serta terjadi penguraian simpanan trigliserida, protein, dan glikogen untuk menghasilkan sumber bahan bakar alternatif. Hanya sel-sel otak dan sel darah merah yang terus menggunakan glukosa sebagai sumber energi efektif. Karena masih terdapat insulin, maka individu dengan diabetes tipe II jarang hanya mengandalkan asam-asam lemak untuk menghasilkan energi dan tidak rentan terhadap ketosis.
c.    Diabetes Gestasional
Diabetes gestasional terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap diabetes. Sekitar 50 % wanita pengidap kelainan ini akan kembali ke stastu nondiabetes setelah kehamilan berakhir. Penyebab diabetes gestasional dianggap berkaitan dengan peningkatan kebutuhan energi dan kadar estrogen dan hormon pertumbuhan yang teru-menerus tinggi selama kehamilan.

4.    Tanda dan Gejala Diabetes Melitus
Menurut Corwin (1996 : 546 – 547), terdapat 5 buah gambaran klinis dari DM, yaitu :
a.    Polifagia (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pascaabsorptif yang kronik, katabolik protein dan lemak, dan kelaparan relatif sel-sel. Sering terjadi penurunan berat badan.
b.    Polidipsia (peningkatan rasa haus) akibat volume urin yang sangat besar dan keluarnya air yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel merangsang pengeluaran ADH dan menimbulkan rasa haus.
c.    Poliuria (peningkatan pengeluaran urin), pada orang nondiabetes, semua glukosa yang difiltrasi ke dalam urin akan diserap secara aktif kembali ke dalam darah. Pengangkut-pengangkut glukosa di ginjal yang membawa glukosa keluar urin untuk masuk kembali ke darah akan mengalami kejenuhan dan tidak dapat mengangkut glukosa lebih banyak. Karena glukosa di dalam urin memiliki aktivitas osmotik, maka air akan tertahan di dalam filtrat dan diekskresikan bersama glukosa dalam urin sehingga terjadi poliuria.
8    Manajemen Medik Secara Umum
Pilar utama  pengelolaan DM (Perkeni, 1998)
a.    Penyuluhan
Edukasi merupakan bagian integral dari asuhan perawatan pasien diabetes.
b.    Perencanaan Makan
Disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan kegiatan jasmani.
c.    Latihan jasmani
Dianjurkan latihan yang sifatnya CRIPE (continuous, rhytmical, interval, progressive, endurance training). Zona sasaran adalah 75 – 85 % denyut nadi maksimal (220 – umur).
d.    Obat Berkhasiat Hipoglikemik
1)    Obat Hipoglikemik Oral (OHO).
2)    Insulin.
3)   
Manajemen medik lainnya  menurut Corwin (1996 :555) adalah :
a.    Pemberian cairan pada KHHN.
b.    Intervensi farmakologis.
c.    Penggantian sel pulau Langerhans.
d.    Insersi/memasukkan gen untuk insulin.
Secara khusus pada Simposium Pencegahan dan Pengendalian Diabetes serta Komplikasinya dikemukakan mengenai perawatan kaki pada penderita diabetes yaitu sebagai berikut :
a.    Perawatan kaki apabila ditemukan hal-hal sebagai berikut :
Usia di atas 40 tahun, berat badan berlebihan, menderita DM lebih dari 10 tahun, sirkulasi dalam darah kurang sehingga denyut nadi kurang teraba atau negatif, perubahan bentuk kaki : bengkak, ulkus, ibu jari bengkok ke luar dan radang sendi, dan kaki yang kema infeksi.

d.    Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di dalam otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi.
e.    Peningkatan angka infeksi akibat peningkatan konsentrasi glukosa di sekresi mukus, gangguan fungsi imun, dan penurunan aliran darah pada penderita diabetes kronik.

6    Pemeriksaan Diagnostik
a.    Glukosa darah sewaktu  200 mg/dl
Glukosa darah puasa  126 mg/dl
Glukosa darah 2 jam PP  200 mg/dl
b.    Aseton plasma (keton) positif secara mendadak
c.    Urin : gula dan aseton positif, berat jenis dan osmolalitas mungkin meningkat.
d.    Insulin darah : menurun / bahkan sampai tidak ada (DM tipe I), atau normal sampai tinggi (tipe II).
e.    Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat.
f.    Osmolalitas serum : meningkat tapi biasanya kurang dari 330 mOsm/L.
g.    Elektrolit : Natrium mungkin normal, meningkat atau menurun. Kalium normal atau peningkatan semu, selanjutnya akan menurun. Fosfor lebih sering menurun.
h.    Gas Darah Arteri : pH rendah, penurunan HCO3 (asidosis metabolik) dengan kompensasi alkalosis respiratorik.
i.    Trombosit darah : Ht mungkin meningkat (dehidrasi), leukositosis, hemokonsentrasi, merupakan respon terhadap stress atau infeksi.
j.    Ureum/kreatinin : mungkin meningkat atau normal (dehidrasi/penurunan fungsi ginjal).
k.    Amilase darah : mungkin meningkat yang mengidentifikasikan adanya pankreatitis akut sebagai penyebab dari DM.
l.    Pemeriksaan fungsi tiroid : peningkatan aktivitas hormon tiroid dapat meningkatkan glukosa darah dan kebutuhan akan insulin.


m.    Kultur dan sensitivitas : kemungkinan adanya infeksi pada saluran kemih, infeksi pernapasan dan infeksi pada luka.
n.    Glikohemoglobin A1c (HbA1c) : meningkat 2-3 kali lipat (normalnya HbA1c yang terbentuk 3-6 % dari kadar Hb).

7.    Komplikasi
Menurut Corwin (1996 : 549 – 553), komplikasi DM dapat dibagi ke dalam 2 bagian  besar yaitu akut dan kronik.
a.    Komplikasi Akut
1)    Ketoasidosis Diabetes
Kadar keton meningkat (ketosis) akibat pemakaian asam-asam lemak yang hampir total untuk menghasilkan ATP. Pada ketosis, pH turun di bawah 7,3. pH yang rendah menyebabkan asidosis metabolik dan merangsang hiperventilasi, yang disebut pernapasan Kusmaul.
2)    Koma Hiperglikemia Hiperosmolar Nonketosis (KHHN)
Dengan adanya peningkatan kadar glukosa darah akan menyebabkan osmolalitas plasma, yang dalam keadaan normal dikontrol secara ketat pada rentang 275-297 mOsm/L, meningkat melebihi 310 mOsm/L. Situasi ini menyebabkan berliter-liter urin, rasa haus yang hebat, defisit kalium yang parah, dan pada sekitar 15-20 % pasien, terjadi koma dan kematian.
3)    Efek Somogyi
Ditandai oleh penurunan unik kadar glukosa darah pada malam hari, diikuti oleh peningkatan rebound pada paginya.
4)    Fenomena Fajar (dawn phenomenon) adalah hiperglikemia pada pagi hari (antara jam 5 – 9).

b.    Komplikasi Jangka Panjang
1)    Sistem Kardiovaskuler
Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis. Gangguan-gangguan biokimia yang ditimbulkan akibat insufisiensi insulin berupa : (1) penimbunan sorbitol dalam intima vaskuler, (2) hiperlipoproteinemia dan, (3) kelainan pembekuan darah. Pada akhirnya makroangiopati diabetik ini akan mengakibatkan penyumbatan vaskuler (Price dan Wilson, 1992 : 1119)
2)    Gangguan Penglihatan
Ancaman  paling serius terhadap penglihatan adalah retinopati. Retina adalah jaringan yang sangat aktif bermetabolisme dan pada hipoksia kronik akan mengalami kerusakan secara progresif (Corwin, 1996 : 552)
3)    Gangguan Sistem Saraf
Menurut Barbara C. Long (1996 : 17), neuropati diabetes disebabkan oleh hipoksia kronik sel-sel saraf. Sel-sel penunjang saraf, sel Schwann, mulai menggunakan metode-metode alternatif untuk menangani beban peningkatan glukosa kronik, hal ini mentebabkan perlambatan hantaran saraf dan berkurangnya sensitivitas. Hilangnya sensasi suhu dan nyeri meningkatkan kemungkinan pasien mengalami sedera yang parah dan tidak disadari.Keadaan yang timbul akibat anestesia berperan  dalam terjadinya trauma minor dan tidak terdeteksinya infeksi yang menyebabkan gangren. Gangren yang timbul dapat berupa gangren kering atau gangren basah.Gangren kering terjadi jika jaringan yang mati tidak berhubungan dengan perubahan-perubahan pada reaksi peradangan. Gangren basah adalah gangren yang terjadi bersamaan dengan peradangan.Sepetikemi dan syok septik dapat terjadi pada keadaan ini. Hubungan antara perubahan vaskuler dan perubahan persarafan pada lesi-lesi kaki penderita diabetes, yang biasanya membutuhkan tindakan amputasi karena gangren yang terjadi.
3)    Gangguan Sistem Perkemihan
Akibat hipoksia yang berkaitan dengan diabetes jangka panjang, glomerulus, seperti sebagian besar kapiler lainnya, menebal. Terjadi hipertropi ginjal akibat peningkatan kerja yang harus dilakukan oleh ginjal pengidap DM kronik untuk menyerap ulang glukosa.

8    Manajemen Medik Secara Umum
Pilar utama  pengelolaan DM (Perkeni, 1998)
a.    Penyuluhan
Edukasi merupakan bagian integral dari asuhan perawatan pasien diabetes.
b.    Perencanaan Makan
Disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan kegiatan jasmani.
c.    Latihan jasmani
Dianjurkan latihan yang sifatnya CRIPE (continuous, rhytmical, interval, progressive, endurance training). Zona sasaran adalah 75 – 85 % denyut nadi maksimal (220 – umur).
d.    Obat Berkhasiat Hipoglikemik
1)    Obat Hipoglikemik Oral (OHO).
2)    Insulin.
Manajemen medik lainnya  menurut Corwin (1996 :555) adalah :
e.    Pemberian cairan pada KHHN.
f.    Intervensi farmakologis.
g.    Penggantian sel pulau Langerhans.
h.    Insersi/memasukkan gen untuk insulin.
Secara khusus pada Simposium Pencegahan dan Pengendalian Diabetes serta Komplikasinya dikemukakan mengenai perawatan kaki pada penderita diabetes yaitu sebagai berikut :
b.    Perawatan kaki apabila ditemukan hal-hal sebagai berikut :
Usia di atas 40 tahun, berat badan berlebihan, menderita DM lebih dari 10 tahun, sirkulasi dalam darah kurang sehingga denyut nadi kurang teraba atau negatif, perubahan bentuk kaki : bengkak, ulkus, ibu jari bengkok ke luar dan radang sendi, dan kaki yang kema infeksi.

B.    Tinjauan Teoritis Tentang Asuhan Keperawatan
1.    Assesment/Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan and merupakan suatu proses ayng sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi statu kesehatan klien (Iyes et all, 1996 : 17)
Menurut Rumahorbo (1996 : 105-105), pada klien dengan diabetes; tipe diabetes, kondisi klien, dan rencana pengobatan adalah pengkajian yang harus dilakukan. Pengkajian secara detail adalah sebagai berikut :
a.    Riwayat atau adanya faktor risiko :
Riwayat keluarga tentang penyakit, obesitas, riwayat pankreatitis kronik, riwayat melahirkan anak lebih dari 4 kilo, riwayat glukosuria selama stress (kehamilan,  pembedahan, trauma, infeksi,.penyakit) atau terapi obat (glukokortikosteroid, diuretik tiazid, dan kontrasepsi oral).
b.    Kaji terhadap manifestasi DM
Poliuri, polidipsi, polifagia, penurunan berat badan, pruritus vulvular, kelelahan, gangguan penglihatan, peka rangsang dan kram otot.
c.    Pemeriksaan Diagnostik
Tes Toleransi Glukosa (TTG), gula darah puasa (FBS), glikohemoglobin HbA1c, urinalisis, kolesterol dan kadar trigliserin. Diagnosis DM dibuat bila gula darah puasa di atas 140 mg/dL selama 2 atau lebih kejadian dan pasien menunjukkan gejala-gejala DM. Juga  diagnosis dapat dibuat bila contoh TTG selama periode 2 jam dan periode lainnya (30 menit, 60 menit atau 90 menit) melebihi 200 mgh/dL.
d.    Kaji pemahaman pasien tentang kondisi, tindakan, pemeriksaan diagnostik dan tindakan perawatan diri untuk mencegah komplikasi.
e.    Kaji perasaan klien tentang kondisi.




2.    Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon (status kesehatan/respon perubahan pola), dari individu atau kelompok dimana perawat secara akontabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah (Carpenito, 2000 : 35). Pengertian yang lain dari Diagnosa Keperawatan dikemukakan oleh Gordon (1976) yaitu masalah kesehatan aktual dan potensial dimana berdasarkan pendidikan, dan pengalamannya, dia mampu dan mempunyai kewenangan untuk memberikan tindakan keperawatan.
Diagnosa keperawatan dibuat berdasarkan analisa data pasien. Berikut adalah beberapa diagnosa keperawatan yang terdapat pada klien dengan DM
(Hotma Rumahorbo, SKp, 1997 : 106) :
a.    Defisit volume cairan.
b.    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
c.    Risiko tinggi terhadap infeksi.
d.    Risiko tinggi terhadap perubahan sensorik perseptual.
e.    Keletihan.
f.    Kurang pengetahuan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan.
g.    Ketidakberdayaan.
h.    Risiko terhadap inefektif penatalaksanaan regimanb terapeutik (individual).
3.    Rencana Tindakan Keperawatan
Rencana Keperawatan diartikan sebagai suatu dokumentasi tulisan tangan dalam menyelesaikan masalah, tujuan, dan intervensi.
Berikut ini akan dipaparkan beberapa rencana tindakan keperawatan dari 2 buah diagnosa yang sering muncul.
a.    Diagnosa Keperawatan 1 : Kurang pengetahuan mengenai penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan.

Tujuan :
Klien akan :
1)    Mengungkapkan pemahaman tentang penyakit
2)    Mengidentifikasi hubungan tanda atau gejala pada proses penyakit dan menghubungakan gejala dengan faktor penyebab.
3)    Dengan benar melakukan prosedur yang bdiperlukan dan menjelaskan rasional tindakan.
4)    Melakukan perubahan gaya hidup yang diperlukan dan berpartisipasi dalam program pengobatan.

Intervensi :
1)    Ciptakan lingkungan saling percaya dan bekerja dengan pasien dalam menata tjuan belajar yang diharapkan.
2)    Pilihlah berbagai strategi belajar dan diskusikan topik-topik penting.
3)    Dislusikan tentang rencana diet.
4)    Riviu regimen pengobatan dan pemberian insulin mandiri serta perawatan peralatan.
5)    Pemeriksaan gula darah setiap hari, buat jadwal latihan/ aktiovitas yang teratur.
6)    Identifikasi gejala hipoglikemi dan instruksikan pentingnya perawatan kaki.
7)    Tekankan pentingnya pemeriksaan mata.
8)    Diskusikan mengenai fungsi seksual dan identifikasi sumber-sumber yang bada di masyarakat.

b.    Diagnosa Keperawatan 2 : Ketidakberdayaan yang berhubungan dengan penyakit jangka panjang atau progresif yang tidak dapat disembuhkan, ketergantungan dengan orang lain :
Tujuan :
Klien akan :
1)    Mengakui perasaan putus asa.
2)    Mengidentifikasi cara-cara sehat untuk menghadapi perasaan.
3)    Membantu dalam merencanakan perawatannya sendiri dan secara mandiri mengambil tanggung jawab untuk aktivitas perawatan diri.

Intervensi :
1)    Anjurkan pasien/keluarga untuk menekspresikan perasaannya tentang perawatan di rumah sakit dan penyakit secara umum, akui normalitas perasaan.
2)    Identifikasi lokus kontrol dan berikan kesempatan pada orang terdekat untuk mengekspresikan kekuatirannya.
3)    Pertegas tujuan/harapan dan tentukan apakah telah terjadi perubahan hubungan dengan orang terdekat.
4)    Beri dorongan untuk membuat kepoutusan yang berhubungan dengan perawatan.
5)    Dukung partisipasi dalam perawatan diri dan berikan umpan balik positif untuk upaya yang dilakukannya.

Askep Jantung

 
BAB I
PENDAHULUAN


1.1.    Latar Belakang
Jantung adalah organ penting yang berfungsi memompakan darah ke seluruh tubuh sehingga tubuh dapat melakukan proses metabolisme yang menghasilkan energi tubuh untuk melakukan berbagai aktivitas.
Tekanan darah jantung dapat dipengaruhi oleh pekerjaan, tempat tinggal, gaya hidup, jenis kelamin dan ras.
Penyakit jantung menduduki peringkat ke-3 terbesar yang dapat mengakibatkan kematian di Indonesia, dengan penyebab yang berbeda-beda, diantaranya faktor stress, sehingga beban  jantung bertambah dan kerja jantung meningkat.
Asuhan keperawatan menunjang peranan penting dalam mengadaptasikan pasien yang mengalami penyakit infark miokard sehingga penulis membuat atau menyusun laporan ini.

1.2.    Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan ini adalah sebagai berikut :
a.    Untuk mengetahui dan mempelajari tentang askep pasien yang mengalami penyakit Miokard  Infark
b.    Untuk memperoleh pengalaman dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami penyakit Infark Miokard

1.3.    Ruang Lingkup
Ruang lingkup pembahasan dalam makalah ini meliputi tinjauan teoritis tentang infark miokard dan asuhan keperawatan terhadap pasien Tn. S dengan infark Miokard

1.4.    Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah study literatur, dimana penulis menggunakan buku- buku sumber sebagai bahan acuan dan study kasus untuk mengaplikasikan proses keperawatan

1.5.    Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini tersusun sebagai berikut :
BAB I    :     Pendahuluan yang meliputi latar belakang, maksud dan tujuan, ruang lingkup pembahasan, metode penulisan, fdan sistematika penulisan
BAB II     :     Tinjauan teoritis yang meliputi konsep dasar dan asuhan keperawatan
BAB III     :     Tinjauan kasus meliputi : pengkajian, perencanaan, implementasi dan evaluasi
BAB IV    :     Kesimpulan dan saran














BAB II
TINJAUAN TEORITIS


2.1.    Anatomi  Fisiologis
Jantung adalah organ otot yang berbentuk menyerupai jantung pisang, bagian atasnya tumpul (pangkal jantung) dan di sebut juga basis kordis.Terletak dalam rongga  dada  sebelah depan (kavum mediastinum  anterior).
Sebelah kiri bawah dari pertengahan rongga  dada, di atas diafragma dan pangkalnya terdapat di belakang kiri antara costa 5-6 dua   jari dibawah papila mamae, pada tempat ini teraba adanya pukulan jantung. Berat jantung antara 250- 300 gram.
Jantung dipersarafi olah nervus para simpatikus khususnya cabang dari nervus vagus yang bekerja memperlambat kerja jantung, jantung dapat bergerak yaitu mengembung dan menguncup disebabkan oleh rangsangan yang berasal dari susu nan saraf otonom .
Otot jantung merupakan jaringan istimewa karena kalau dilihat dari bentuk dan susunannya sama dengan otot saraf lintang, tetapi cara bekerjanya menyerupai otot polos yaitu di luar kemauan kita (dipengaruhi oleh susunan saraf otonom)
Dalam kerjanya otot jantung mempunyai 3 periode :
1.    Periode konstriksi (sistol, suatu keadaan dimana jantung bagian ventrikel dalam keadaan menguncup)
2.    Periode dilatasi (diastole, susunan keadaan dimana jantung mengembang)
3.    Periode istirahat, waktu antara periode konstriksi dan dilatasi dimana jantung berhenti kira-kira sepersepuluh detik


2.2.    Pathofisiologi
Iskemia yang berkangsung lebih dari 30-45 menit akan menyebabkan kerusakan selulae yang irreversibeldan kematian otot atau nekrosis. Bagian miokardium yang mengalami infark/ nekrosois akan berhenti berkontraksi secara permanen. Otot yang mengalami akan mengalami serangkaian perubahan selama berlangsungnya proses penyembuhan. Mula- mula otot yang mengalami infark tampak memar dan sianosis akibat teputusnya aliran darah regional.
Infark miokardium jelas akan mengurangi fungsi ventrikel karena otot yang nekrosis akan kehilangan daya kontraksi. Sedangkan otot disekitarnya juga mengalami gangguan daya kontraksi, secara fungsional infark miokardium akan menyebabkan perubahan-perubahan seperti pada iskemia.
1.    Daya kontraksi menurun
2.    Gerakan dinding abnormal
3.    Perubahab daya kembang dinding ventrikel
4.    Pengurangan curah sekuncup
5.    Pengurangan fraksi ejeksi
6.    Peningkatan volume akhir sistolik dan diastolik vetrikel
7.    Penigkatan tekanan akhgir diastolik ventrikel

Kondisi hemodinamika sesudah infark miokardium bervariasi, curah jantung dapat berkurang sedikit atau dsipertahankan dalam batas- batas normal  Meningkatnya frekuensi jantung biasanya tidak berlangsung terus-menerus kecuali jika terjadi defresi mikardium yang hebat.
Tekanan darah merupakan fungsi interaksi antara depresi miokardium dan reflek otonom. Respon otonom terhadapp infark miokardium tidak selalu merupakan proses bantuan simpatis terhadap sirkulasi  yang terancam bahaya.

Infark miokardium klasik pertama disertai gambaran klinis yang terdiri dari gambaran nyeri dada yang  berlangsung lama dan hebat boiasanya dusertai mual, keringat dingin, muntah dan perasaan seakan-akan sedang menghadapi ajal.  Tetapi 20%-605% kasus infark yang tidak  fatal bersifat tersembunyi atau asimptomatik.
Kedua meningkatnya kadar enzim-enzim jantung yang dilepaskan oleh sel-sel yang dilepaskan miokardium yang nekrosis. Pola peningkatan enzim mengikuti perjalanan waktu yang khas sesudah terjadinya infark miokardium.  Akhirnya selama  infark akut akan terlihat perubahan-perubahan pada elektro kardiografi, yaitu gelombang  Q yang nyata, kelevasi segmen ST , dan gelombang T  terbelik. Perubaha-perubahan ini tampak pada hantaran yang terletak di atas daerah miokardium yamg mengalami nekrosis.

2.3.    Pengkajian Keperawatan
a.    Data Subjektif
Didasarkan atas persepsi pasien terhadap nyeri :
    Lokasi nyeri dan penyebarannya
Pada infark miokard nyeri terjadi pada dada kiri dan menyebar ke  bah, leher, rahang dan lengan bagian dalam hingga pergelangan tangan.
    Timbul nyeri dan lamanya
Nyeri dada mikard infark ini dapat timbul baik saat istirahat ataupun saat istirahat. Jadi tidak berhubungan dengan aktivitas atau perubahan posisi. Lama nyeri lebih  dari 30 menit dan tidak hilang dengan pemberiasn nitrogliserin. Pemberian nitrogliserin ini dapat diulang setiap 5 menit untuk 3 kali  berturut-turut, tapi jika pemberian 3 kali nyeri tetap tidak hilang tidak perlu dilanjutkan karena hal tersebut menggambarkan bahwa pasien tersebut terserang infark miokard.

    Kualitas nyeri
-    Nyeri seperti dipukul atau ditimpa benda berat disertai nyeri abdomen (kadang) ada gangguan pencernaan (mual, muntah, anoreksia)
-    Nyeri timbul secara tiba- tiba lebih hebat dan lebih lama dari angina pektoris
    Faktor – faktor yang berhubungan dengan nyeri :
-    Aktivitas
-    Stress
-    Istirahat
    Perasan tidak berdaya
    Adanya riwayat penyakit jantung
b.    Data Objektif
1.    Tingkah laku gelisah
2.    Terjadinya perubahan-perubahan tanda vital :
-    Peningkatan atau penurunasn denyut jantung
-    Peningkatan kecepatan respirasi
-    Penurunan tekanan darah
3.    Tanda-tanda lain : berkeringat dingin, muntah-muntah perubahan irama jantung yang tiba-tiba
4.    Adanya faktor resiko
5.    Peningkatan suhu 1-12 jam pertama setelah serangan infark
6.    Pada infark miokard yang luas terdengar bunyi jantung 4 kadang-kadang juga bunyi jantung 3
7.    Terdengar mur-mur sistolik jika  terjadi :
-    Disfungsi m. papilaris
-    Robeknya m. papilaris
-    Robeknya septum ventrikuler
c.    Test diagnostik
    Pada EKG
Peubahan bertahap berupa :
-    Hiperakut gelombang T
-    Segmen ST elevasi
-    Segmen ST depresi
-    Gelombang Q patologis
-    Gelombang T inverted
    Pemeriksaan enzim darah

ASKEP KANKER PARU

 
BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang

 Kanker paru merupakan kasus keganasan yang paling sering ditemukan di seluruh dunia dewasa ini (12.6% dari seluruh kasus baru kanker, 17.8% dari kematian karena kanker).Diperkirakan sekitar 1.2 juta kasus baru kanker paru dan 1.1 juta kematian akibat kanker paru terjadi pada tahun 2000, dengan perbandingan rasio terjadinya antara laki-laki : perempuan sekitar 2.7. Sedangkan pada tahun 2007, secara global diperkirakan sekitar 1.5 juta kasus baru kanker paru.Kanker paru menjadi penyebab paling sering dari kasus kematian akibat kanker pada laki-laki di Amerika Utara dan hampir di semua negara-negara Eropa Timur maupun Eropa Barat, dan semakin sering menjadi penyebab kematian di negara-negara berkembang di Asia, Amerika Latin, dan Afrika, meskipun data-data yang berkualitas tinggi untuk perbandingan belum tersedia dari kebanyakan populasi tersebut.

1.2    Rumusan Masalah

Dari uraian singkat tersebut diatas maka muncul beberapa persoalan yang tentunya sangat menarik untuk dibahas demi untuk mendalami lagi masalah – masalah yang timbul dari penyakit – penyakit dari sistem respirasi yang merupakan salah satu penyakit yg terjadi di dalam masyarakat .

1.3    Identifikasi Masalah

Faktor utama yang menjadi motivasi bagi penulis untuk mengangkat tema CA Paru  adalah sebagai berikut :
a.    Untuk mengetahui seluk beluk penyakit ca paru
b.    Untuk mengetahui faktor apa saja yang menyebabkan penyakit ini
c.    Tema yang penulis angkat ada relevansinya dengan latar belakang pendidikan penulis yaitu jurusan kesehatan .


1
1.4 Tujuan Penulisan

1.4.1 Tujuan Umum
Dapat memahami konsep asuhan keperawatan pada klien dengan ca paru.
       1.4.2 Tujuan Khusus
a. Mampu menjelaskan tentang definisi, etiologi, klasifikasi, manifestasi klinis,
patofisiologi, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan pada klien dengan ca paru.
b. Mampu menjelaskan asuhan keperawatan pada klien dengan ca paru.
c. Dapat menambah wawasan baru mengenai angka kejadian penyakit abses paru.

1.5 Manfaat Penulisan

1. Keilmuan / Teori
Menambah ilmu terutama dalam keperawatan keluarga yang berhubungan dengan
penyakit ca paru.

2. Bagi Perawat / Mahasiswa
Bagi pendidikan ilmu keperawatan sebagai bahan bacaan dan menambah wawasan bagi
mahasiswa kesehatan khususnya mahasiswa ilmu keperawatan dalam hal pemahaman
asuhan keperawatan ca paru.

3. Bagi Masyarakat / Keluarga
Bagi masyarakat dapat memberikan gambaran tanda-tanda dan gejala serta penyebab
penyakit ca paru di suatu masyarakat sehingga dapat melakukan pencegahan.


















2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Tumor paru merupakan keganasan pada jaringan paru (Price, Patofisiologi, 1995).
Kanker paru merupakan abnormalitas dari sel – sel yang  mengalami proliferasi dalam paru (Underwood, Patologi, 2000).


2.2  Klasifikasi
Klasifikasi menurut WHO untuk Neoplasma Pleura dan Paru – paru (1977) :
1.    Karsinoma Bronkogenik.
a.    Karsinoma epidermoid (skuamosa).
Kanker ini berasal dari permukaan epitel bronkus. Perubahan epitel termasuk metaplasia, atau displasia akibat merokok jangka panjang, secara khas mendahului timbulnya tumor. Terletak sentral sekitar hilus, dan menonjol kedalam bronki besar. Diameter tumor jarang melampaui beberapa centimeter dan cenderung menyebar langsung ke kelenjar getah bening hilus, dinding dada dan mediastinum.
b.    Karsinoma sel kecil (termasuk sel oat).
Biasanya terletak ditengah disekitar percabangan utama bronki.Tumor ini timbul dari sel – sel Kulchitsky, komponen normal dari epitel bronkus. Terbentuk dari sel – sel kecil dengan inti hiperkromatik pekat dan sitoplasma sedikit. Metastasis dini ke mediastinum dan kelenjar limfe hilus, demikian pula dengan penyebaran hematogen ke organ – organ distal.
c.     Adenokarsinoma (termasuk karsinoma sel alveolar).
Memperlihatkan susunan selular seperti kelenjar bronkus dan dapat mengandung mukus. Kebanyakan timbul di bagian perifer segmen bronkus dan kadang – kadang dapat dikaitkan dengan jaringan parut local pada paru – paru dan fibrosis interstisial kronik. Lesi seringkali meluas melalui pembuluh darah dan limfe pada stadium dini, dan secara klinis tetap tidak menunjukkan gejala – gejala sampai terjadinya metastasis yang jauh. 
d.    Karsinoma sel besar.
Merupakan sel – sel ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam – macam. Sel – sel ini cenderung untuk timbul pada jaringan paru - paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat – tempat yang jauh.
e.    Gabungan adenokarsinoma dan epidermoid.
f.    Lain – lain.
1). Tumor karsinoid (adenoma bronkus).
2). Tumor kelenjar bronchial.
3). Tumor papilaris dari epitel permukaan.
4). Tumor campuran dan Karsinosarkoma
5). Sarkoma
6). Tak terklasifikasi.
7). Mesotelioma.
8). Melanoma.
(Price, Patofisiologi, 1995).



2.3  Etiologi
Meskipun etiologi sebenarnya dari kanker paru belum diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang agaknya bertanggung jawab dalam peningkatan insiden kanker paru :
2.    Merokok.
Tak diragukan lagi merupakan faktor utama. Suatu hubungan statistik yang defenitif telah ditegakkan antara perokok berat (lebih dari dua puluh batang sehari) dari kanker paru (karsinoma bronkogenik). Perokok seperti ini mempunyai kecenderung sepuluh kali lebih besar dari pada perokok ringan. Selanjutnya orang perokok berat yang sebelumnya dan telah meninggalkan kebiasaannya akan kembali ke pola resiko bukan perokok dalam waktu sekitar 10 tahun. Hidrokarbon karsinogenik telah ditemukan dalam ter dari tembakau rokok yang jika dikenakan pada kulit hewan, menimbulkan tumor.
3.    Iradiasi.
Insiden karsinoma paru yang tinggi pada penambang kobalt di Schneeberg dan penambang radium di Joachimsthal (lebih dari 50 % meninggal akibat kanker paru) berkaitan dengan adanya bahan radioaktif dalam bentuk radon. Bahan ini diduga merupakan agen etiologi operatif.


4.    Kanker paru akibat kerja.
Terdapat insiden yang tinggi dari pekerja yang terpapar dengan karbonil nikel (pelebur nikel) dan arsenic (pembasmi rumput). Pekerja pemecah hematite (paru – paru hematite) dan orang – orang yang bekerja dengan asbestos dan dengan kromat juga mengalami peningkatan insiden.
5.    Polusi udara.
Mereka yang tinggal di kota mempunyai angka kanker paru yang lebih tinggi dari pada mereka yang tinggal di desa dan walaupun telah diketahui adanya karsinogen dari industri dan uap diesel dalam atmosfer di kota.
( Thomson, Catatan Kuliah Patologi,1997).

6.    Genetik.
Terdapat perubahan/ mutasi beberapa gen yang berperan dalam kanker paru, yakni :
a.    Proton oncogen.
b.    Tumor suppressor gene.
c.    Gene encoding enzyme.


3




2.4 Patoflow
Predisposisi                    Gen supresor tumor
Inisitor

                        Delesi/ insersi
Promotor

                        Tumor/ autonomi
Progresor

                        Ekspansi/ metastasis

   
















4
2.5    Manifestasi Klinis
2.6    Gejala awal.
Stridor lokal dan dispnea ringan yang mungkin disebabkan oleh obstruksi bronkus.
2.7    Gejala umum.
2.7.1    Batuk
Kemungkinan akibat iritasi yang disebabkan oleh massa tumor. Batuk mulai sebagai batuk kering tanpa membentuk sputum, tetapi berkembang sampai titik dimana dibentuk sputum yang kental dan purulen dalam berespon terhadap infeksi sekunder.
2.7.2    Hemoptisis
Sputum bersemu darah karena sputum melalui permukaan tumor yang mengalami ulserasi.
2.7.3    Anoreksia, lelah, berkurangnya berat badan.

2.6  Pemeriksaan Penunjang
1.    Radiologi.
d.    Foto thorax posterior – anterior (PA) dan leteral serta Tomografi dada.
Merupakan pemeriksaan awal sederhana yang dapat mendeteksi adanya kanker paru. Menggambarkan bentuk, ukuran dan lokasi lesi. Dapat menyatakan massa udara pada bagian hilus, effuse pleural, atelektasis erosi tulang rusuk atau vertebra.
e.    Bronkhografi.
Untuk melihat tumor di percabangan bronkus.
2.    Laboratorium.
f.    Sitologi (sputum, pleural, atau nodus limfe).
Dilakukan untuk mengkaji adanya/ tahap karsinoma.
g.    Pemeriksaan fungsi paru dan GDA
Dapat dilakukan untuk mengkaji kapasitas untuk memenuhi kebutuhan ventilasi.
h.    Tes kulit, jumlah absolute limfosit.
Dapat dilakukan untuk mengevaluasi kompetensi imun (umum pada kanker paru).
3.    Histopatologi.
i.    Bronkoskopi.
Memungkinkan visualisasi, pencucian bagian,dan pembersihan sitologi lesi (besarnya karsinoma bronkogenik dapat diketahui).
j.    Biopsi Trans Torakal (TTB).
Biopsi dengan TTB terutama untuk lesi yang letaknya perifer dengan ukuran < 2 cm, sensitivitasnya mencapai 90 – 95 %.
k.    Torakoskopi.
Biopsi tumor didaerah pleura memberikan hasil yang lebih baik dengan cara torakoskopi.
l.    Mediastinosopi.
Umtuk mendapatkan tumor metastasis atau kelenjar getah bening yang terlibat.
m.    Torakotomi.
Totakotomi untuk diagnostic kanker paru dikerjakan bila bermacam – macam prosedur non invasif dan invasif sebelumnya gagal mendapatkan sel tumor.
4.    Pencitraan.
n.    CT-Scanning, untuk mengevaluasi jaringan parenkim paru dan pleura.
o.    MRI, untuk menunjukkan keadaan mediastinum.

2.7  Komplikasi
- Hematorak
- Pneumotorak
- Empiema
- Endokarditis
- Abses paru
- Atetektasis
2.8  Penatalaksanaan Medis
Tujuan pengobatan kanker dapat berupa :


p.    Kuratif
Memperpanjang masa bebas penyakit dan meningkatkan angka harapan hidup klien.
q.    Paliatif.
Mengurangi dampak kanker, meningkatkan kualitas hidup.
r.    Rawat rumah (Hospice care) pada kasus terminal.
Mengurangi dampak fisis maupun psikologis kanker baik pada pasien maupun keluarga.
s.    Supotif.
Menunjang pengobatan kuratif, paliatif dan terminal sepertia pemberian nutrisi, tranfusi darah dan komponen darah, obat anti nyeri dan anti infeksi.
(Ilmu Penyakit Dalam, 2001 dan Doenges, rencana Asuhan Keperawatan, 2000)

1.    Pembedahan.
Tujuan pada pembedahan kanker paru sama seperti penyakit paru lain, untuk mengankat semua jaringan yang sakit sementara mempertahankan sebanyak mungkin fungsi paru – paru yang tidak terkena kanker.
1.    Toraktomi eksplorasi.
Untuk mengkomfirmasi diagnosa tersangka penyakit paru atau toraks khususnya karsinoma, untuk melakukan biopsy.
2.    Pneumonektomi pengangkatan paru).
Karsinoma bronkogenik bilaman dengan lobektomi tidak semua lesi bisa diangkat.
3.    Lobektomi (pengangkatan lobus paru).
Karsinoma bronkogenik yang terbatas pada satu lobus, bronkiaktesis bleb atau bula emfisematosa; abses paru; infeksi jamur; tumor jinak tuberkulois.
4.    Resesi segmental.
Merupakan pengankatan satau atau lebih segmen paru.

5.    Resesi baji.
Tumor jinak dengan batas tegas, tumor metas metik, atau penyakit peradangan yang terlokalisir. Merupakan pengangkatan dari permukaan paru – paru berbentuk baji (potongan es).
6.    Dekortikasi.
Merupakan pengangkatan bahan – bahan fibrin dari pleura viscelaris)
2.    Radiasi
Pada beberapa kasus, radioterapi dilakukan sebagai pengobatan kuratif dan bisa juga sebagai terapi adjuvant/ paliatif pada tumor dengan komplikasi, seperti mengurangi efek obstruksi/ penekanan terhadap pembuluh darah/ bronkus.
3.    Kemoterafi.
Kemoterapi digunakan untuk mengganggu pola pertumbuhan tumor, untuk menangani pasien dengan tumor paru sel kecil atau dengan metastasi luas serta untuk melengkapi bedah atau terapi radiasi.

6
2.9 Konsep Asuhan Keperawatan
A. Analisa Data
Data Senjang    Etiologi    Masalah Keperawatan
DS :

DO :
-       

   




7
B. Diagnosa Keperawatan
Kerusakan pertukaran gas
Dapat dihubungkan :
Hipoventilasi.
Kriteria hasil :
-    Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenisi adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan.
-    Berpartisipasi dalam program pengobatan, dalam kemampuan/ situasi.
Intervensi :
a)    Kaji status pernafasan dengan sering, catat peningkatan frekuensi atau upaya pernafasan atau perubahan pola nafas.
Rasional    : Dispnea merupakan mekanisme kompensasi adanya tahanan jalan nafas.
b)    Catat ada  atau tidak adanya bunyi tambahan dan adanya bunyi tambahan, misalnya krekels, mengi.
Rasional    : Bunyi nafas dapat menurun, tidak sama atau tak ada pada area yang sakit.Krekels adalah bukti peningkatan cairan dalam area jaringan sebagai akibat peningkatan permeabilitas membrane alveolar-kapiler. Mengi adalah bukti adanya tahanan atau penyempitan jalan nafas sehubungan dengan mukus/ edema serta tumor. 
c)    Kaji adanmya sianosis
Rasional    : Penurunan oksigenasi bermakna terjadi sebelum sianosis. Sianosis sentral dari “organ” hangat contoh, lidah, bibir dan daun telinga adalah paling indikatif.
d)    Kolaborasi pemberian oksigen lembab sesuai indikasi
Rasional    : Memaksimalkan sediaan oksigen untuk pertukaran.


e)    Awasi atau gambarkan seri GDA.
Rasional    : Menunjukkan ventilasi atau oksigenasi. Digunakan sebagai dasar evaluasi keefktifan terapi atau indikator kebutuhan perubahan terapi.

2). Bersihan jalan nafas tidak efektif.
        Dapat dihubungkan :
- Kehilangan fungsi silia jalan nafas
- Peningkatan jumlah/ viskositas sekret paru.
- Meningkatnya tahanan jalan nafas
Kriteria hasil :
- Menyatakan/ menunjukkan hilangnya dispnea.
- Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih
- Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan.
- Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki/ mempertahankan bersiahn jalan nafas.
Intervensi :
a)   Catat perubahan upaya dan pola bernafas.
Rasional    : Penggunaan otot interkostal/ abdominal dan pelebaran nasal menunjukkan peningkatan upaya bernafas.
b)   Observasi penurunan ekspensi dinding dada dan adanya.
Rasional    : Ekspansi dad terbatas atau tidak sama sehubungan dengan akumulasi cairan, edema, dan sekret dalam seksi lobus.
c)   Catat karakteristik batuk (misalnya, menetap, efektif, tak efektif), juga produksi dan karakteristik sputum.
Rasional    : Karakteristik batuk dapat berubah tergantung pada penyebab/ etiologi gagal perbafasan. Sputum bila ada mungkin banyak, kental, berdarah, adan/ atau puulen.

d)   Pertahankan posisi tubuh/ kepala tepat dan gunakan alat jalan nafas sesuai kebutuhan.
Rasional    : Memudahkan memelihara jalan nafas atas paten bila jalan nafas pasein dipengaruhi.
e)   Kolaborasi pemberian bronkodilator, contoh aminofilin, albuterol dll. Awasi untuk efek samping merugikan dari obat, contoh takikardi, hipertensi, tremor, insomnia.
Rasional    : Obat diberikan untuk menghilangkan spasme bronkus, menurunkan viskositas sekret, memperbaiki ventilasi, dan memudahkan pembuangan sekret. Memerlukan perubahan dosis/ pilihan obat.

3). Ketakutan/Anxietas.
Dapat dihubungkan :
- Krisis situasi
- Ancaman untuk/ perubahan status kesehatan, takut mati.
- Faktor psikologis.
Kriteria hasil :
- Menyatakan kesadaran terhadap ansietas dan cara sehat untuk mengatasinya.
- Mengakui dan mendiskusikan takut.
-  Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat diatangani.
-  Menunjukkan pemecahan masalah dan pengunaan sumber efektif.
Intervensi :
a)   Observasi peningkatan gelisah, emosi labil.
Rasional    : Memburuknya penyakit dapat menyebabkan atau meningkatkan ansietas.

b)   Pertahankan lingkungan tenang dengan sedikit rangsangan.
Rasional    : Menurunkan ansietas dengan meningkatkan relaksasi dan penghematan energi.
c)   Tunjukkan/ Bantu dengan teknik relaksasi, meditasi, bimbingan imajinasi.
Rasional    : Memberikan kesempatan untuk pasien menangani ansietasnya sendiri dan merasa terkontrol.

A.    Perencanaan

No    Diagnosa Keperawatan    Implementasi
        Tujuan    Intervensi    Rasional
1.        Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x 24 jam klien dapat mendemonstrasikan suhu dalam batas normal dan bebas dari kedinginan dengan kriteria hasil :
-    Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan
    1.    Kaji tanda – tanda vital tiap 4 jam sekali



2.    Pantau suhu lingkungan


3.    Berikan kompres hangat








4.    Beri penjelasan pada klien / keluarga tentang hal – hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi demam

5.    Kolaborasi dengan dokter dalam pemberiain antipiretik dan antibiotik





    1.    Tanda vital dipakai sebagai pedoman untuk mengetahui keadaan umum klien

2.    Suhu lingkungan yang dingin bisa membuat klien menggigil

3.    Menghambat pusat simpisis di hipotalamus sehingga terjadi vasodilatasi kulit dengan merangsang kelenjar keringat untuk mengurangi panas tubuh melalui penguapan 

4.    Keterlibatan keluarga dapat membantu dalam proses penyembuhan



5.    Untuk mengurangi demam













No    Diagnosa Keperawatan    Implementasi
        Tujuan    Intervensi    Rasional
2.    Tidak efektif bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sekret ditandai dengan :
DS :
-    Klien mengatakan sulit bernafas
DO :
-    Perubahan atau kecepatan pernafasan
-    Bunyi nafas tidak normal
-    Batuk    Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam masalah teratasi dengan kriteria hasil :
-    Klien menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas ( batuk yang efektif dan mengeluarkan sekret )    1.    Auskultasi bunyi nafas





2.    Kaji / pantau frekuensi pernafasan




3.    Dorong / bantu latihan nafas abdomen atau bibir

    1.    Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas dan dapat dimanifestasikan dengan adanya bunyi nafas.

2.    Takipneu biasanya ada pada bebeerapa derajat dan dapat ditemukan selama / adanya proses infeksi.

3.    Memberikan cara untuk mengatasi dan mengontrol dispoe dan menurunkan jebakan udara.















12
No    Diagnosa Keperawatan    Implementasi
        Tujuan    Intervensi    Rasional
3.    Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan suplai oksigen dan kerusakan alveoli ditandai dengan :
DS :
- Klien mengatakan tidak mampu mengeluarkan sekret
DO :
-Klien tampak bingung / gelisah
-Dyspnea
-Nilai AGD tidak normal
-Perubahan tanda vital


-    -        Meunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan dengan GDA dalam rentang normal dan tidak ada gejala distress pernafasan    1. Kaji frekuensi , kedalaman , dan kemudahan bernafas



2.  Kaji status mental





3.  Observasi penyimpangan kondisi , catat hipotensi , banyaknya jumlah sputum merah muda / berdarah , pucat , sianosis , perubahan tingkat kesadaran , dispnea berat , gelisah

4.  Berikan terapi oksigen dengan benar , misalnya masker , masker venture
    1.    Manifestasi distress pernafasan tergantung pada / indikasi derajat keterlibatan paru dan status kesehatan umum

2.    Mencegah terlalu lelah dan menurunkan kebutuhan dan atau konsumsi oksigen untuk memudahkan perbaikan infeksi .

3.    Syok dan edema paru adalah penyebab umum kematian pada abses paru dan membutuhkan intervensi medic segera





4.    Tujuan terapi oksigen adalah mempertahankan PaO2 diata 60mmHg . Oksigen diberikan dengan metode yang memberikan pengiriman tapi dalam toleransi pasien .










13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Abses paru adalah suatu kavitas  dalam jaringan paru yang berisi material purulent dan sel radang akibat proses nekrotik parenkim paru oleh proses infeksi. Abses paru timbul karena faktor predisposisi seperti gangguan fungsi imun karena obat-obatan, gangguan kesadaran (anestesi, epilepsi), oral higine yang kurang serta obstruksi dan aspirasi benda asing.
Pada abses paru memberikan gejala klinis panas, batuk, sputum purulen dan berbau, disertai malaise, naspu makan dan berat badan yang turun. Pada pemeriksaan fisik didapatkan takikardia, tanda-tanda konsolidasi. Pada pemeriksaan foto polos dada didapatkan gambaran kavitas dengan air fluid level  atau proses konsolidasi saja bila kavitas tidak berhubungan dengan bronkus.
Diagnosis pasti bila didapatkan biakan kuman penyebab sehingga dapat dilakukan terapi etiologis.
Pemberian antibiotika merupakan pilihan utama disamping terapi bedah dan terapi suportif fisio terapi.










14
DAFTAR PUSTAKA
Asher MI, Beadry PH ; Lung Abscess in infections of Respicatory tract ; Canada ; 1990 : 429 – 34.
Assegaff H. dkk ; Abses Paru dalam Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru ; AUP ; Surabaya ; 136 – 41.
Barlett JG ; Lung Abscess in : Cecil text book of Medicine 19th ed ; Phildelphia ; 1992 ; 413 – 15.
Finegold SM, Fishman JA ; Empyema and Lung Abscess ; in Fishman’s pulmonary Diseases and disorders 3rd ed ; Philadelphia ; 1998 ; 2021 – 32.
Garry et al ; Lung Abscess in a Lange Clinical Manual : Internal Medicina : Diagnosis and Therapy 3rd ; Oklahoma ; 1993 ; 119 – 120.
Hammond JMJ et al ; The Ethiology and Anti Microbial Susceptibility Patterns of Microorganism in acute Commuity – Acquired Lung Abscess ; Chest ; 108 ; 4 ; 1995 ; 937 – 41.
Hirshberg B et al ; Factors predicting mortality of patients with lung Abscsess ; Chest ; 115 ; 3 ; 1999 ; 746 – 52.
Johnson KM, Huseby JS ; Lung Abscess Caused by Legionella micdadei ; Chest 111 ; 1 ; 1997 ; 109 – 13.
Klein JS et al ; Interventional Radiology of The Chest : Image Guided Percutaneons Drainage of Pleural Effusions, Lung Abscess, and Pneumothorax ; AJR ; 1995 ; 164 ; 581 – 88.
Ricaurte KK et al ; Allergic broucho pulumonary aspergillosis with multiple Streptococceus pneumonie Lung Abscess : an unussual insitial case presentation ; joutnal of allergy and clinical imonoligy ; 104 ; 1 1999 ; 238 – 40.










15
MAKALAH
ABSES PARU











DISUSUN OLEH :
1.    ANIS RULWAQI
2.    IRA NOVITASARI
3.    RIZKA KIKY CHAIRIYAH
4.    YATI

KELAS :   2A


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN FALETEHAN
PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN
SERANG – BANTEN
2011 - 2012

ASKEP BPH (BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA)

 




BPH (BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA)

  1. PENGERTIAN
1.      Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Price&Wilson (2005)
2.      Hiperplasia prostat jinak adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker, (Corwin, 2000)
3.      BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002)
4.      Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria > 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan pembiasan aliran urinarius. (Doenges, 1999)
5.      Menurut Doenges (1999) dan Engram (1998) untuk mengatasi BPH, tindakan infasif medikal yang sering digunakan oleh Rumah Sakit adalah prostatektomy, yaitu tindakan pembedahan bagian prostat  (sebagian/seluruh) yang memotong uretra bertujuan untuk memperbaiki aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut.  
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. Prostatektomy merupakan tindakan pembedahan bagian prostate  (sebagian/seluruh) yang memotong uretra, bertujuan untuk memeperbaiki aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut.

  1. ETIOLOGI
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah :
a.       Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut;
b.      Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat;
c.       Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati;
d.      Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan.
Pada umumnya dikemukakan beberapa teori :
-          Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel srem. Oleh karena suatu sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus lain.
Maka sel stem dapat berproliferasi dengan cepat, sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral.
-          Teori kedua adalah teori Reawekering (Neal, 1978) menyebutkan bahwa jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
-          Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa dengan bertanbahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testoteron dan terjadinya konversi testoteron menjadi setrogen. ( Kahardjo, 1995).

  1. PATOFISIOLOGI
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

  1. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah, rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer, 2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium :
a)      Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis.
b)      Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia.
c)      Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d)     Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara periodik (over flow inkontinen).
Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa :
Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang turun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
a.       Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
-          Grade 0     : Penonjolan prosrar 0-1 cm ke dalam rectum.
-          Grade 1     : Penonjolan prosrar 1-2 cm ke dalam rectum.
-          Grade 2     : Penonjolan prosrar 2-3 cm ke dalam rectum.
-          Grade 3     : Penonjolan prosrar 3-4 cm ke dalam rectum.
-          Grade 4     : Penonjolan prosrar 4-5 cm ke dalam rectum.
b.      Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
-          Normal      : Tidak ada sisa
-          Grade I      : sisa 0-50 cc
-          Grade II    : sisa 50-150 cc
-          Grade III   : sisa > 150 cc
-          Grade IV   : pasien sama sekali tidak bisa kencing.

  1. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin,  2000)
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat,  2005).

  1. PENATALAKSANAAN MEDIS
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis
a.   Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.
b.  Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
c.   Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d.  Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan dengan:
a.       Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
b.      Medikamentosa
1)      Mengharnbat adrenoreseptor α
2)      Obat anti androgen
3)      Penghambat enzim α -2 reduktase
4)      Fisioterapi
c.       Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
1)      TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui uretra.
2)      Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih.
3)      Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa memasuki kandung kemih.
4)      Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum dan rektum.
5)      Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih pada kanker prostat.
d.      Terapi Invasif Minimal
1)      Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang melalui/pada ujung kateter.
2)      Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)
3)      Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)

  1. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien dengan BPH adalah :
a.       Laboratorium
1).  Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.
2).  Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
b.      Pencitraan
1).  Foto polos abdomen
Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin.
2).  IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.
3).  Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor.
4).  Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

KONSEP DASAR KEPERAWATAN

  1. PENGKAJIAN
Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses keperawatan. Menurut Doenges (1999) fokus pengkajian pasien dengan BPH adalah sebagai berikut :
a.       Sirkulasi
Pada kasus BPH sering dijumpai adanya gangguan sirkulasi; pada kasus preoperasi dapat dijumpai adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh karena efek pembesaran ginjal. Penurunan tekanan darah; peningkatan nadi sering dijumpai pada. kasus postoperasi BPH yang terjadi karena kekurangan volume cairan.
b.      Integritas Ego
Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu integritas egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan, kacau mental, perubahan perilaku.
c.       Eliminasi
Gangguan eliminasi merupakan gejala utama yang seringkali dialami oleh pasien dengan preoperasi, perlu dikaji keragu-raguan dalam memulai aliran urin, aliran urin berkurang, pengosongan kandung kemih inkomplit, frekuensi berkemih, nokturia, disuria dan hematuria. Sedangkan pada postoperasi BPH yang terjadi karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga perlu adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin, contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan terjadinya konstipasi. Pada preoperasi BPH hal tersebut terjadi karena protrusi prostat ke dalam rektum, sedangkan pada postoperasi BPH, karena perubahan pola makan dan makanan.
d.      Makanan dan cairan
Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu karena efek penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun efek dari anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan, tindakan yang perlu dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun nutrisinya.
e.       Nyeri dan kenyamanan
Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan dasar yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada pasien postoperasi biasanya ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri punggung bawah.
f.       Keselamatan/ keamanan
Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor keselamatan tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat penting untuk menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada preoperasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada saluran perkemihannya.
g.      Seksualitas
Pada pasien BPH baik preoperasi maupun postoperasi terkadang mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran atau nyeri tekan pada prostat.
h.      Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien preoperasi maupun postoperasi BPH. Pada preoperasi perlu dikaji, antara lain urin analisa, kultur urin, urologi., urin, BUN/kreatinin, asam fosfat serum, SDP/sel darah putih. Sedangkan pada postoperasinya perlu dikaji kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari perdarahan. Dan kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.





           

Perubahan usia (usia lanjut)


 


Ketidakseimbangan produksi estrogen dan testosteron



 
    
Kadar Testoteron menurun                                                     Kadar Estrogen meningkat
CEMAS
 
        

Proligerasi sel prostat                                                  Hiperplasi sel stroma pada jaringan prostat











 
KURANG PENGETAHUAN
 
 








 
         Obstruksi saluran kemih                                                                                                  Pembedahan
                                                                                                         BPH
IMMOBILITAS FISIK
 
                                                                                     








 
Kompensasi otot destruksor        Dekompensasi otot destruksor
                                                                                                             
                                                                                                Perdarahan               Terputusnya kontinuitas jaringan







RETENSI URINE
 

 
Spasme otot            Penebalan
RISIKO KERUSAKAN INTEGRITAS KULIT
 
NYERI AKUT
 
destruksor               dinding urinaria











RESIKO KEKURANGAN VOLUME CAIRAN
 

 


Otot suprapubik        Kontraksi otot                                                           Adanya media masuk
                                                                                                                       kuman
NYERI AKUT
 
                                     
                                      Kesulitan berkemih


RESIKO INFEKSI
 
 
                               
                                  Dipasang kateter

  1. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Preoperasi
1)      Retensi urine berhubungan dengan tekanan uretral tinggi karena kelemahan detrusor (dekompensasi otot detrusor).
2)      Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera ( iritasi kandung kemih, spame, sesuai dengan prosedur bedah atau tekanan dari balon kandung kemih).
3)      Resiko infeksi berhubungan dengan peningkaran paparan lingkungan terhadap patogen (pemasangan kateter).
4)      Cemas berhubungan dengan akan dilakukannya tindakan operasi.
5)      Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan informasi mengenai pengobatan.
Pascaoperasi
1)      Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi dengan diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.
2)      Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi ( terputusnya kontinuitas jaringan akibat pembedahan).
3)      Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (nyeri).
4)      Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik.
5)      Resiko infeksi berhubungan dengan peningkaran paparan lingkungan terhadap patogen (adanya media masuknya kuman akibat prosedur invasif).

  1. INTERVENSI
Preoperasi
DX I    :Retensi urine berhubungan dengan tekanan uretral tinggi karena kelemahan detrusor (dekompensasi otot detrusor).
Tujuan:   Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pengeluaran urine lancar.
NOC: Inkontinensi urine
Kriteria Hasil:
1.      Bebas dari kebocoran urine diantara berkemih.         
2.      Kandung kemih kosong sempurna
3.      Tidak ada sisa setelah buang air > 100-200cc.
4.      Asupan cairan dalam rentang yang diharapkan.
Ket Skala:
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
NIC: Katerisasi urine
1)      Pantau asupan dalam haluaran urine.
2)      Pantau derajat distensi kandung kemih dengan palpasi dan perkusi.
3)      Instrusikan pasien dan keluarga untuk mencatat haluran urine bila diperlukan..
4)      Rujuk pada spesialis kontinensia urine jika diperlukan..
DX II  : Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera ( iritasi kandung kemih, spame, sesuai dengan prosedur bedah atau tekanan dari balon kandung kemih)
Tujuan:   Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang atau hilang.
a.       NOC 1: Level Nyeri
Kriteria Hasil:
1.      Laporkan frekuensi nyeri                   
2.      Kaji frekuensi nyeri
3.      Lamanya nyeri berlangsung
4.      Ekspresi wajah terhadap nyeri
5.      Perubahan TTV
b.      NOC 2: Kontrol Nyeri
Kriteria Hasil:
1.      Mengenal faktor penyebab
2.      Gunakan tindakan pencegahan
3.      Gunakan tindakan non analgetik
4.      Gunakan analgetik yang tepat

Ket Skala:
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
NIC: Manajemen Nyeri
5)      Kaji secara menyeluruh tentang nyeri termasuk lokasi, durasi, frekuensi, intensitas, dan faktor penyebab.
6)      Observasi isyarat non verbal dari ketidaknyamanan terutama jika tidak dapat berkomunikasi secara efektif.
7)      Berikan analgetik dengan tepat.
8)      Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berakhir dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur.
9)      Ajarkan teknik non farmakologi (misalnya: relaksasi, guide, imagery,terapi musik,distraksi)
DX III : Resiko infeksi berhubungan dengan peningkaran paparan lingkungan terhadap patogen (pemasangan kateter).
Tujuan:   Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan infeksi tidak  terjadi.
a.       NOC 1: Deteksi Infeksi
Kriteria Hasil:
1.      Mengukur tanda dan gejala yang mengindikasikan infeksi
2.      Berpartisipasi dalam perawatan kesehatan
3.      Mampu mengidentifikasi potensial resiko
b.      NOC 2: Pengendalian Infeksi
Kriteria Hasil:
1.      Pengetahuan tentang adanya resiko infeksi
2.      Mampu memonitor faktor resiko dari lingkungan
3.      Membuat strategi untuk mengendalikan resiko infeksi
4.      Mengatur gaya hidup untuk mengurangi resiko

Ket Skala:
1 = Selalu menunjukkan
2 = Sering menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Jarang menunjukkan
5 = Tidak pernah menunjukkan
NIC: Teaching diases proses
1)      Deskripsikan proses penyakit dengan tepat
2)      Sediakan informasi tentang kondisi pasien
3)      Diskusikan perawatan yang akan dilakukan
4)      Gambaran tanda dan gejala penyakit
5)      Instruksikan pasien untuk melaporkan kepada perawat untuk melaporkan tentang tanda dan gejala yang dirasakan.
DX IV             : Cemas berhubungan dengan akan dilakukannya tindakan operasi.
Tujuan             : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien dan  keluarga tidak mengalami kecemasan.
NOC: Control Cemas
Kriteria Hasil:
1.      Monitor Intensitas kecemasan
2.      Menurunkanstimulasi lingkungan ketika cemas
3.      Menggunakan strategi koping efektif
4.      Mencari informasi untuk menurunkan cemas
5.      Menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan cemas
Ket Skala:
1 = Tidak pernah dilakukan
2 = Jarang dilakukan
3 = Kadang dilakukan
4 = Sering dilakukan
5 = Selalu dilakukan
NIC: Penurunan Kecemasan
1)      Tenangkan Klien
2)      Jelaskan seluruh prosedur tindakan kepada klien dan perasaan yang mungkin muncul pada saat melakukan tindakan
3)      Berikan informasi tentang diagnosa, prognosis, dan tindakan.
4)      Temani pasien untuk mendukung keamanan dan menurunkan rasa sakit.
5)      Instruksikan pasien untuk menggunakan metode/ teknik relaksasi.
DX V   : Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan informasi mengenai pengobatan.
Tujuan:   Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pengetahuan pasien dan keluarga bertambah.
NOC: Pengetahuan: proses penyakit.
Kriteria Hasil:
a.       Mengenal tentang penyakit
b.      Menjelaskan proses penyakit
c.       Menjelaskan penyebab/faktor yang berhubungan
d.      Menjelaskan faktor resiko
e.       Menjelaskan komplikasi dari penyakit
f.       Menjelaskan  tanda dan gejala dari penyakit
Ket Skala:
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
NIC:
a.       NIC 1: Health Care Information exchange
1)      Identifikasi pemberi pelayanan keperawatan yang lain
2)      Identifikasi kemampuan pasien dan keluarga dalam mengimplementasikan keperawatan setelah penjelasan
3)      Jelaskan peran keluarga dalam perawatan yang berkesinambungan
4)      Jelaskan program perawatan medik meliputi; diet, pengobatan, dan latihan.
5)      Jelaskan rencana tindakan keperawatan sebelum mengimplementasikan
b.      NIC 2: Health Education
1)      Jelaskan faktor internal dan eksternal yang dapat menambah atau mengurangi dalam perilaku kesehatan.
2)      Jelaskan pengaruh kesehatan danperilaku gaya hidup individu,keluarga/lingkungan.
3)      Identifikasi lingkungan yang dibutuhkan dalam program perawatan.
4)      Anjurkan pemberian dukungan dari keluarga dan keluarga untuk membuat perilaku kondusif.

Pascaoperasi
DX I    : Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca obstruksi dengan diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu distensi secara kronis.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan  diharapkan kebutuhan cairan dan elektrolit terpenuhi.   
NOC      :        Fluid balance
KH         :       
1. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia
2.  Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
3. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit baik.
4. Membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan.
Keterangan skala:
1.   Tidak pernah menunjukkan
2.   Jarang menunjukkan
3.   Kadang menunjukkan
4.   Sering menunjukkan
5.   Selalu menunjukkan
NIC                 :     Fluid manajement
1.      Pertahankan catatan intake dan output yang akurat.
2.      Monitor status hidrasi (kelemahan membran mukosa, nadi adekuat)
3.      Monitor vital sign
4.      Monitor cairan/makanan dan hitung intake kalon harian
5.      Kolaborasikan pemberian cairan IV
6.      Masukkan oral
7.      Keluarga untuk membantu pasien maka
DX II  : Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi ( terputusnya kontinuitas jaringan akibat pembedahan).
Tujuan:   Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang atau hilang.
a.       NOC 1: Level Nyeri
Kriteria Hasil:
6.      Laporkan frekuensi nyeri                   
7.      Kaji frekuensi nyeri
8.      Lamanya nyeri berlangsung
9.      Ekspresi wajah terhadap nyeri
10.  Perubahan TTV
b.      NOC 2: Kontrol Nyeri
Kriteria Hasil:
1.      Mengenal faktor penyebab
2.      Gunakan tindakan pencegahan
3.      Gunakan tindakan non analgetik
4.      Gunakan analgetik yang tepat
Ket Skala:
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
NIC: Manajemen Nyeri
1)      Kaji secara menyeluruh tentang nyeri termasuk lokasi, durasi, frekuensi, intensitas, dan faktor penyebab.
2)      Observasi isyarat non verbal dari ketidaknyamanan terutama jika tidak dapat berkomunikasi secara efektif.
3)      Berikan analgetik dengan tepat.
4)      Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berakhir dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur.
5)      Ajarkan teknik non farmakologi (misalnya: relaksasi, guide, imagery,terapi musik,distraksi)
DX III : Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (nyeri).
Tujuan:   Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien dapat meningkatkan mobilisasi pada tingkat yang paling tinggi
NOC: Mobility level
Kriteria Hasil:
a.       Keseimbangan penampilan
b.      Memposisikan tubuh
c.       Gerakan otot
d.      Gerakan sendi
e.       Ambulansi jalan
f.       Ambulansi kursi roda
Ket Skala:
1 = Dibantu total
2 = Memerlukan bantuan orang lain dan alat
3 = Memerlukan orang lain
4 = Dapat melakukan sendiri dengan bantuan alat
5 = Mandiri
            NIC: Exercise Therapy: Ambulation
1)      Bantu pasien untuk menggunakan fasilitas alat bantu jalan dan cegah kecelakaan atau jatuh
2)      Tempatkan tempat tidur pada posisi yang mudah dijangkau/diraih pasien.
3)      Konsultasikan dengan fisioterapi tentang rencana ambulansi sesuai kebutuhan
4)      Monitor pasien dalam menggunakan alatbantujalan yang lain
5)      Instruksikan pasien/pemberi pelayanan ambulansi tentang teknik ambulansi.
DX IV : Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik.
Tujuan:   Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan integritas kulit tidak terjadi.
NOC: Integritas Jaringan: kulit dan membran mukosa
Kriteria Hasil:
a.       Sensasi normal
b.      Elastisitas normal
c.       Warna
d.      Tekstur
e.       Jaringan bebas lesi
f.       Adanya pertumbuhan rambut dikulit
g.      Kulit utuh
Ket Skala:
1 = Kompromi luar biasa
2 = Kompromi baik
3 = Kompromi kadang-kadang
4 = Jarang kompromi
5 = Tidak pernah kompromi
NIC: Skin Surveilance
1)      Observation ekstremitas oedema, ulserasi, kelembaban
2)      Monitor warna kulit
3)      Monitor temperatur kulit
4)      Inspeksi kulit dan membran mukosa
5)      Inspeksi kondisi insisi bedah
6)      Monitor kulit pada daerah kerusakan dan kemerahan
7)      Monitor infeksi dan oedema
DX V   : Resiko infeksi berhubungan dengan peningkaran paparan lingkungan terhadap patogen (adanya media masuknya kuman akibat prosedur invasif).
Tujuan:   Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan infeksi tidak  terjadi.
NOC 1: Deteksi Infeksi
Kriteria Hasil:
1.      Mengukur tanda dan gejala yang mengindikasikan infeksi
2.      Berpartisipasi dalam perawatan kesehatan
3.      Mampu mengidentifikasi potensial resiko
NOC 2: Pengendalian Infeksi
Kriteria Hasil:
1.      Pengetahuan tentang adanya resiko infeksi
2.      Mampu memonitor faktor resiko dari lingkungan
3.      Membuat strategi untuk mengendalikan resiko infeksi
4.      Mengatur gaya hidup untuk mengurangi resiko
Ket Skala:
1 = Selalu menunjukkan
2 = Sering menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Jarang menunjukkan
5 = Tidak pernah menunjukkan
NIC: Teaching diases proses
6)      Deskripsikan proses penyakit dengan tepat
7)      Sediakan informasi tentang kondisi pasien
8)      Diskusikan perawatan yang akan dilakukan
9)      Gambaran tanda dan gejala penyakit
10)  Instruksikan pasien untuk melaporkan kepada perawat untuk melaporkan tentang tanda dan gejala yang dirasakan.








  1. EVALUASI
Pre operasi
DX
KRITERIA HASIL
KETERANGAN SKALA
I
NOC: Inkontinensi urine
1.   Bebas dari kebocoran urine diantara berkemih. (4 )
2.   Kandung kemih kosong sempurna. (4)
3.   Tidak ada sisa setelah buang air > 100-200cc. (4)
4.   Asupan cairan dalam rentang yang diharapkan.(4  )
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
II
NOC 1: Level Nyeri
1.      Laporkan frekuensi nyeri (4)                                
2.      Kaji frekuensi nyeri. (4)
3.      Lamanya nyeri berlangsung (4)
4.      Ekspresi wajah terhadap nyeri (4)
5.      Perubahan TTV (4)
NOC 2: Kontrol Nyeri
1.   Mengenal faktor penyebab (4)
2.   Gunakan tindakan pencegahan(4)
3.   Gunakan tindakan non analgetik(4)
4.   Gunakan analgetik yang tepat(4)
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan

III
NOC 1: Deteksi Infeksi
1.   Mengukur tanda dan gejala yang mengindikasikan infeksi (4)
2.   Berpartisipasi dalam perawatan kesehatan (4)
3.   Mampu mengidentifikasi potensial resiko(4)
NOC 2: Pengendalian Infeksi
1.   Pengetahuan tentang adanya resiko infeksi(4)
2.   Mampu memonitor faktor resiko dari lingkungan
3.                  Membuat strategi untuk mengendalikan resiko infeksi. (4)
4.          3. Mengatur gaya hidup untuk mengurangi resiko (4)
5.           
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan

IV
NOC: Control Cemas
1.   Monitor Intensitas kecemasan (4)
2.   Menurunkanstimulasi lingkungan ketika cemas (4)
3.   Menggunakan strategi koping efektif (4)
4.   Mencari informasi untuk menurunkan cemas (4)
5.   Menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan cemas (4)
1 = Tidak pernah dilakukan
2 = Jarang dilakukan
3 = Kadang dilakukan
4 = Sering dilakukan
5 = Selalu dilakukan

V
NOC: Pengetahuan: proses penyakit.
1.   Mengenal tentang penyakit (4)
2.   Menjelaskan proses penyakit(4)
3.   Menjelaskan penyebab/faktor yang berhubungan 4
4.   Menjelaskan faktor resiko(4)
5.   Menjelaskan komplikasi dari penyakit(4)
6.   Menjelaskan  tanda dan gejala dari penyakit(4)
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan


            Pasca operasi
DX
KRITERIA HASIL
KETERANGAN SKALA
I
NOC      :                    Fluid balance
1. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia 4
2. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal(4)
3. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas turgor kulit baik. (4)
4. Membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan. (4)
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan
II
NOC 1: Level Nyeri
1.     Laporkan frekuensi nyeri   (4)
2.     Kaji frekuensi nyeri(4)
3.     Lamanya nyeri berlangsung(4)
4.     Ekspresi wajah terhadap nyeri(4)
5.     Perubahan TTV(4)
NOC 2: Kontrol Nyeri
1.      Mengenal faktor penyebab(4)
2.      Gunakan tindakan pencegahan(4)
3.      Gunakan tindakan non analgetik(4)
4.      Gunakan analgetik yang tepat(4)
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan

III
NOC: Mobility level
1.   Keseimbangan penampilan (5)
2.   Memposisikan tubuh(5)
3.   Gerakan otot(5)
4.   Gerakan sendi(5)
5.   Ambulansi jalan(5)
1 = Dibantu total
2 = Memerlukan bantuan orang lain dan alat
3 = Memerlukan orang lain
4 = Dapat melakukan sendiri dengan bantuan alat
5 = Mandiri
IV
NOC: Integritas Jaringan: kulit dan membran mukosa
1.   Sensasi normal(4)
2.   Elastisitas normal(4)
3.   Warna(4)
4.   Tekstur(4)
5.   Jaringan bebas lesi(4)
6.   Adanya pertumbuhan rambut dikulit(4)
7.   Kulit utuh(4)
1 = Kompromi luar biasa
2 = Kompromi baik
3 = Kompromi kadang-kadang
4 = Jarang kompromi
5 = Tidak pernah kompromi



V
NOC 1: Deteksi Infeksi
1.     Mengukur tanda dan gejala yang mengindikasikan
Infeksi(4)
2.      Berpartisipasi dalam perawatan kesehatan(4)
3.      Mampu mengidentifikasi potensial resiko(4)
NOC 2: Pengendalian Infeksi
1.   Pengetahuan tentang adanya resiko infeksi(4)
2.   Mampu memonitor faktor resiko dari lingkungan.4
3.   Membuat strategi untuk mengendalikan resiko infeksi. (4)
4.          4. Mengatur gaya hidup untuk mengurangi resiko(4)
1 = Tidak pernah menunjukkan
2 = Jarang menunjukkan
3 = Kadang menunjukkan
4 = Sering menunjukkan
5 = Selalu menunjukkan

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L. J., 2000, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, Alih Bahasa Monica Ester, EGC, Jakarta.
Corwin, E. J., 2000, Buku Saku Pathofisiologi, Editor Endah P., EGC, Jakarta.
Doenges, M. E., Moorhous, M. F., & Geissler, A. C., 1999, Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, Alih Bahasa I Made Kariasa dan Ni Made Sumarwati, EGC, Jakarta.
Engram, B, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta
Jhonson, Marion, dkk. 2000. NOC. Jakarta: Morsby.
Mansjoer, A., dkk, 2000, Kapita SelektaKedokteran, Edisi Jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta.
McCloskey, Cjoane, dkk. 1995.NIC. Jakarta: Morsby.
NANDA, 2005, Panduan Diagnosa Keperawatan. Nanda 2005-2006, Editor Budi Santoso, Prima Medika, Jakarta.
Potter, P. A., & Perry, A. G., 2005, Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Prose.c, dan Praktik, EGC, Jakarta.
Price, S. A., & Wilson, L. M., 2005, Pathofsiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa: Editor Caroline Wijaya, Edisi 4, EGC, Jakarta.
Purnomo, B. B., 2000, Dasar-dasar Urologi, CV Info Medika, Jakarta.
Sjamsuhidajat, R., & de Jong, W., 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner & Suddarth, Editor Suzane, C. S., Brenda, G. B., Edisi 8, EGC, Jakarta

E-learning