Showing posts with label Sosial. Show all posts
Showing posts with label Sosial. Show all posts

Sunday, June 5, 2016

Pendekatan Atlantis di Sundalandia ( Indonesia)

 

Sundalandia

Oleh Dhani Irwanto, 27 Oktober 2015
Sundalandia adalah wilayah bio-geografi Asia Tenggara yang meliputi Paparan Sunda, bagian landas kontinen Asia yang terekspos selama zaman es terakhir. Periode Glasial Terakhir, dikenal sebagai Zaman Es Terakhir, adalah periode glasial terakhir dalam rangkaian panjang Zaman Es yang terjadi selama tahun-tahun terakhir Pleistosen, dari sekitar 110.000 sampai 12.000 tahun yang lalu. Sundalandia meliputi Semenanjung Malaka di daratan Asia, serta pulau-pulau besar Kalimantan, Jawa dan Sumatera, dan pulau-pulau sekitarnya. Batas timur Sundalandia adalah Garis Wallace, diidentifikasi oleh Alfred Russel Wallace sebagai batas timur kisaran daratan fauna mamalia Asia, dan juga sebagai batas zona ekosistem Indomalaya dan Australasia. Pulau-pulau di sebelah timur garis Wallace dikenal sebagai Wallacea, dan dianggap sebagai bagian dari Australasia. Perlu dicatat bahwa saat ini secara umum telah diterima bahwa Asia Tenggara adalah merupakan titik masuk migrasi manusia modern dari Afrika.
800px-Map_of_Sundaland
Gambar 1 – Peta Sundalandia
Laut Tiongkok Selatan dan daratan di sekitarnya telah diteliti oleh para ilmuwan seperti Molengraaff dan Umbgrove, yang mendalilkan sistem drainase kuno yang sekarang terendam. Daerah ini telah dipetakan oleh Tjia pada tahun 1980 dan dijelaskan secara lebih rinci oleh Emmel dan Curray pada tahun 1982 termasuk delta sungai, dataran banjir dan rawanya. Ekologi Paparan Sunda yang terekspos telah diselidiki dengan menganalisis inti bor dasar laut. Serbuk sari yang ditemukan didalam inti telah menunjukkan ekosistem yang kompleks dan berubah dari waktu ke waktu. Penggenangan Sundalandia telah memisahkan spesies yang pernah menempati lingkungan yang sama seperti ikan surau air tawar (Polydactylus macrophthalmus, Bleeker 1858; Polynemus borneensis, Vaillant 1893) yang pernah berkembang dalam sistem sungai yang sekarang disebut "Sungai Sunda Utara" atau "Sungai Molengraaff". Ikan ini sekarang ditemukan di Sungai Kapuas di pulau Kalimantan, serta di Sungai Musi dan Batanghari di pulau Sumatera.
Periode Glasial Terakhir, atau Zaman Es Terakhir, dianggap oleh para ilmuwan sebagai peristiwa glasiasi (pencairan es) terbaru dalam serangkaian Zaman Es yang lebih panjang, yang dimulai lebih dari dua juta tahun yang lalu dan telah mengalami beberapa glasiasi. Dalam periode ini, ada beberapa perubahan diantara gletser maju dan mundur. Glasiasi terluas dalam Periode Glasial Terakhir ini adalah sekitar 22.000 tahun yang lalu. Pola umum pendinginan dan gletser maju secara global adalah mirip, namun perbedaan lokal pengembangan gletser maju dan mundur dari benua ke benua yang terinci sulit untuk dibandingkan.
Dari sudut pandang arkeologi manusia, periode tersebut masuk kedalam periode Paleolitik dan Mesolitik. Saat peristiwa glasiasi dimulai, Homo sapiens hanya terdapat di Afrika dan menggunakan peralatan yang sebanding dengan yang digunakan oleh manusia Neanderthal di Eropa, Levant dan Homo erectus di Asia. Menjelang akhir peristiwa tersebut, Homo sapiens menyebar ke Eropa, Asia, dan Australia. Gletser mundur memungkinkan kelompok orang Asia bermigrasi ke Amerika dan mempopulasikannya.
11924236_10206675964050464_8773787452159628519_n
Gambar 2 – Permukaan laut Pasca-Glasial
Stadial Dryas Muda, juga disebut Pendinginan Besar, adalah suatu kondisi geologi beriklim dingin dan kering yang singkat (1300 ± 70 tahun) dan terjadi antara sekitar 12.800 dan 11.600 tahun yang lalu. Stadial Dryas Muda diduga disebabkan oleh runtuhnya lapisan es di Amerika Utara, meskipun teori lain juga telah diusulkan. Stadial ini terjadi setelah interstadial Bølling-Allerød (periode hangat) pada akhir Pleistosen dan mendahului kelahiran Holosen Awal. Nama stadial ini diambil dari nama sebuah genus indikator, Dryas octopetala, bunga liar yang terdapat di tundra Pegunungan Alpin.
Stadial-stadial Dryas adalah periode-periode dingin yang menyelingi tren pemanasan sejak Maksimum Glasial Terakhir 21.000 tahun yang lalu. Dryas Tua terjadi sekitar 1.000 tahun sebelum Dryas Muda dan berlangsung sekitar 400 tahun. Dryas Tertua terjadi antara sekitar 18.000 dan 14.700 tahun yang lalu.
Slide2
Gambar 3 – Periode Glasial Terakhir berdasarkan pengukuran lapisan es di Greenland

Batimetri dan Topografi

Sundaland - Last Glacial Maximum_75%
Gambar 4 – Sebuah peta yang menunjukkan Sundalandia pada sekitar Zaman Es Terakhir (21.000 tahun yang lalu) yang dihasilkan oleh penulis dari grid elevasi GTOPO30 yang diterbitkan oleh USGS. Muka air lautnya adalah sekitar 120 meter dibawah sekarang. Pola aliran sungai yang dibawah muka air laut sekarang digambar menggunakan grid tersebut dan perkiraan sedimentasi laut, transportasi sedimen pesisir, pembentukan delta, peristiwa meander, perubahan rezim sungai dan gerakan sungai. Sungai daratan sekaran digabungkan. Warna-warna selain biru menunjukkan elevasi permukaan tanah. Garis merah tipis adalah garis pantai sekarang.
Data topografi dan batimetri saat ini yang meliputi Paparan Sunda dalam proyeksi geografi (lintang dan bujur) telah diekstrak dari grid elevasi GTOPO30 yang diterbitkan oleh USGS. GTOPO30 meliputi resolusi spasial lintang dan bujur horizontal 30 detik busur (sekitar 0,9 km di dekat khatulistiwa) dalam bentuk berkas format model elevasi digital (digital elevation model, DEM). Grid serupa lainnya seperti GEBCO_8 yang diterbitkan oleh IHO dan IOC/UNESCO, dan ETOPO1 yang diterbitkan oleh NOAA juga digunakan sebagai referensi. Diterapka skema warna pada DEM dimana daerah dibawah -120 m diwakili oleh warna biru sehingga garis pantai pada periode Maksimum Glasial Terakhir dapat dengan mudah diidentifikasi.
Beberapa asumsi telah diterapkan dalam prosedur analitisnya (Sathiamurthy et al, 2006). Pertama, diasumsikan bahwa topografi dan batimetri daerah tersebut mendekati fisiografi yang ada selama rentang waktu dari 21.000 tahun yang lalu sampai sekarang. Namun, karena proses sedimentasi dan erosi telah mempengaruhi batimetri Paparan Sunda selama 21.000 tahun terakhir (Schimanski dan Stattegger, 2005), maka hasilnya adalah hanya perkiraan. Dengan demikian, harus ditekankan bahwa kedalaman dan geometri Paparan Sunda dan depresi-depresi yang sekarang terendam tidak mencerminkan kondisi masa lalu yang tepat.
Kedua, diasumsikan bahwa dasar laut yang sekarang adalah seperti yang ada pada periode Maksimum Glasial Terakhir dan sedikit dipengaruhi oleh erosi arus dasar laut, pelarutan kapur atau gerakan tektonik, seperti ditunjukkan oleh Umbgrove (1949), yang mungkin terjadi selama transgresi pada masa Pasca-Pleistosen awal. Dalam hal gerakan tektonik, Geyh et al (1979) menyebutkan bahwa Selat Sumatera adalah secara tektonik stabil setidaknya selama Holosen. Selanjutnya, Tjia et al (1983), menyatakan bahwa Paparan Sunda telah sebagian besar secara tektonik stabil sejak awal Tersier. Namun demikian, Tjia et al (1983) menunjukkan bahwa kenaikan permukaan laut di wilayah ini dapat dikaitkan dengan kombinasi dari kenaikan permukaan laut yang sebenarnya dan gerakan kerak vertikal. Hill (1968) mengacu pada karya sebelumnya yang dilakukan oleh Umbgrove (1949), menyarankan kemungkinan solusi kapur sebagai modus pembentukan depresi (seperti dalam kasus lubang Lumut lepas pantai Perak, Malaysia), dan memberikan alternatif penjelasan, yaitu disebabkan oleh proses tektonik.
Data sedimentasi dasar laut adalah jarang tersedia namun pendekatan proses sedimentasi telah dibuat dalam menghasilkan peta topografi dan batimetri daerah Sundalandia. Dalam kondisi yang sama, proses-proses lain seperti transportasi sedimen pesisir, pembentukan delta, proses meander, perubahan rezim sungai dan gerakan sungai juga telah didekati dan dimasukkan pada peta. Danau kuno direkonstruksi dari DEM dan riwayat geologi yang ada. Pulau-pulau yang kecil dan tidak signifikan telah dihapus.
Selain peta topografi dan batimetri, garis pantai pada permukaan laut tertentu, kemiringan permukaan tanah, daerah aliran sungai dan pola aliran sungai juga dihasilkan dan menempatkannya pada layer-layer yang berbeda.
Sundaland - Watersheds_resized
Gambar 5 – Sebuah peta yang menunjukkan DAS utama Sundalandia di sekitar periode Maksimum Glasial Terakhir (21.000 tahun BP) yang dihasilkan oleh penulis menggunakan metode yang sama seperti pada gambar sebelumnya. Nama-nama sungai diberikan berdasarkan pada nama-nama laut, selat, teluk, pulau atau sungai saat ini yang ditempati oleh DAS.

Vegetasi

Cannon et al (2009) telah melakukan penelitian terhadap distribusi vegetasi di wilayah Sundalandia pada Maksimum Glasial Terakhir menggunakan model spasial eksplisit yang digabungkan dengan bukti-bukti geografi, paleoklimatologi dan geologi. Vegetasinya dibagi menjadi 3 macam, yaitu vegetasi pesisir dan rawa, vegetasi daerah rendah dan vegetasi daerah tinggi.
Vegetasi pesisir dan rawa mengalami sejarah biogeografi yang paling dinamis diantara ketiga macam vegetasi yang diteliti. Pada puncak Maksimum Glasial Terakhir, ketika permukaan laut turun dibawah garis pantai, hutan bakau terdapat didalam daerah yang sangat sempit di sepanjang pesisir. Namun, banyak rawa pesisir yang meluas sampai ke pedalaman ditumbuhi kerapah gambut dan kerangas yang berbagi dengan hutan rawa gambut pesisir. Ketika daratan mulai tergenangi, pada 11.000 – 9.000 tahun lalu, vegetasi pesisir dan rawa mengalami ekspansi yang dramatis tetapi relatif singkat. Pada sekitar 8.000 tahun lalu, vegetasi pantai telah kira-kira pada posisi yang sama dengan saat ini, dengan luasan bakau, aluvial air tawar dan rawa gambut ditentukan oleh pola progradasi masing-masing delta sungai yang mengikuti transgresi masa Holosen. Vegetasi pesisir dan rawa juga mengalami relokasi geografi yang tiba-tiba dan menyeluruh sampai ratusan kilometer selama penggenangan yang cepat.
Luasan vegetasi daerah rendah mencapai maksimum pada Maksimum Glasial Terakhir yang disebabkan oleh adanya daratan yang luas karena penurunan permukaan laut. Luasan vegetasi daerah tinggi juga mencapai maksimum pada Maksimum Glasial Terakhir. Secara umum, distribusi vegetasi daerah tinggi sangat sensitif terhadap interaksi antara perubahan suhu dan tingkat pertumbuhan vegetasi.
0809865106SI_Page_1 (Cropped)
Gambar 6 – Peta vegetasi Sundalandia pada Maksimum Glasial Terakhir berdasarkan data historis dari Bird et al (2005) dan beberapa penyesuaian, dengan skenario koridor terbuka (kiri) dan tertutup (kanan) (Cannon et al, 2009)

Kondisi Saat ini

Sundaland - Tectonic Plates_resized 75%
Gambar 7 – Sesar aktif utama di Sundalandia pada zona konvergensi Lempeng Sunda, Eurasia, Filipina, India dan Australia. Lempeng Timor dan Laut Banda yang lebih kecil (bagian dari Lempeng Sunda), Maluku (bagian dari Lempeng Filipina) dan Andaman (bagian dari Lempeng Eurasia) juga ditampilkan. Panah besar menunjukkan gerakan mutlak lempeng. Segitiga merah adalah gunungapi.
Sundaland - Earthquake (USGS)_75%
Gambar 8 – Plot kejadian gempa besar yang pernah tercatat beserta intensitasnya dalam skala Mw. Perhatikan bahwa Sundalandia dikelilingi oleh deretan rawan gempa. (Sumber: USGS)
Sundaland - Tsunami_75%
Gambar 9 – Plot sumber tsunami yang pernah tercatat beserta akibat kenaikan airnya. Perhatikan bahwa tsunami sering terjadi di Laut Banda dan Laut Sulawesi yang dapat mempengaruhi pulau-pulau bagian dalam. (Sumber: NOAA)
Sundaland - Volcano Eruption_resized_75%
Gambar 10 – Plot letusan gunungapi yang pernah diketahui beserta intensitasnya dalam Volcanic Explosivity Index (VEI). Perhatikan letusan skala besar Tambora pada tahun 1815 dan letusan-letusan Krakatau yang sering terjadi, terbesar pada tahun 1883. (Sumber: NOAA)

Migrasi Manusia

Menurut teori sebelumnya, nenek moyang masyarakat Austronesia modern di kepulauan Melayu dan wilayah yang berdekatan diyakini telah bermigrasi ke selatan, dari daratan Asia Timur ke Taiwan, dan kemudian ke seluruh kepulauan Asia Tenggara. Namun, temuan terakhir menunjukkan bahwa Sundalandia yang sekarang terendam adalah merupakan awalmula peradabah: disebut sebagai teori "Keluar dari Sundalandia".
Stephem Oppenheimer menempatkan asal Austronesia di Sundalandia dan daerah-daerah diatasnya. Penelitian genetik yang dilaporkan pada tahun 2008 menunjukkan bahwa pulau-pulau yang merupakan sisa-sisa Sundalandia kemungkinan besar dihuni sedini 50.000 tahun yang lalu, bertentangan dengan hipotesis sebelumnya (Bellwood dan Dizon, 2005) bahwa daerah tersebut dihuni paling lambat 10.000 tahun yang lalu dari Taiwan.
Sebuah studi oleh Universitas Leeds yang dipublikasikan dalam Molecular Biology and Evolution pada tahun 2008, yang meneliti garis keturunan DNA mitokondria, menunjukkan bahwa manusia telah mendiami pulau-pulau di Asia Tenggara dalam jangka waktu yang lebih lama dari yang diyakini sebelumnya. Penyebaran penduduk tampaknya telah terjadi pada saat yang sama dengan naiknya permukaan laut, yang telah mengakibatkan migrasi dari Kepulauan Filipina ke utara menuju Taiwan dalam 10.000 tahun terakhir. Migrasi penduduk yang paling mungkin adalah karena didorong oleh perubahan iklim – sebagai efek tenggelamnya sebuah benua kuno. Naiknya permukaan laut dalam tiga pulsa besar mungkin telah menyebabkan banjir dan perendaman di Sundalandia, menciptakan Laut Jawa dan Laut Tiongkok Selatan, dan ribuan pulau yang membentuk Indonesia dan Filipina kini. Berubahnya permukaan laut menyebabkan manusia tersebut untuk menjauh dari kediaman pantai dan budaya mereka, dan berpindah ke pedalaman di seluruh Asia Tenggara. Migrasi paksa ini menyebabkan manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan hutan dan pegunungan baru, mengembangkan pertanian dan domestikasi, dan menjadi pendahulu manusia masa depan di wilayah ini.
Penelitian dan studi oleh HUGO Pan-Asian SNP Consortium pada tahun 2009, yang dilakukan dalam dan antara populasi yang berbeda di benua Asia, menunjukkan bahwa keturunan genetik sangat berhubungan dengan kelompok-kelompok etnis dan bahasa. Terdapat peningkatan yang jelas dalam keragaman genetik dari utara ke selatan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa ada satu aliran migrasi utama manusia ke Asia yang berasal dari Asia Tenggara, bukan beberapa aliran dalam dua arah selatan-utara seperti yang diusulkan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa Asia Tenggara merupakan sumber geografi utama populasi Asia Timur dan Asia Utara. Populasi Asia Timur terutama berasal dari Asia Tenggara dengan kontribusi kecil dari kelompok Asia Tengah-Selatan. Penduduk pribumi Taiwan berasal dari Austronesia. Hal ini berlawanan dengan teori bahwa Taiwan merupakan "tanah air" leluhur bagi populasi di seluruh Indo-Pasifik yang berbicara bahasa Austronesia.
clip_image002
Gambar 11 – Panah-panah berwarna yang menggambarkan meningkatnya diversifikasi genetik manusia setelah bermigrasi ke timur di sepanjang yang sekarang disebut pantai India dan berpencar menjadi beberapa kelompok genetik yang berbeda yang bergerak di seluruh Asia Tenggara dan bermigrasi ke utara ke Asia Timur (Sumber: HUGO Pan-Asian SNP Consortium)
Pada tahun 2012, Stephen Oppenheimer menunjukkan, berdasarkan bukti genetik, iklim dan arkeologi, bahwa manusia modern dari Afrika menyebar melalui jalur tunggal ke Sundalandia. Semua kelompok non-Afrika saat ini adalah keturunan dari penyebaran ini, dengan pengecualian beberapa autosom (7% atau kurang) yang berasal dari campuran dengan beberapa kelompok non-Afrika kuno. Terbukti bahwa terdapat penyebaran cepat melalui pantai Samudera Hindia ke Kalimantan dan Bali di ujung Paparan Sunda. Permukaan laut yang rendah pada Zaman Es memungkinkan penyebaran berikutnya ke Paparan Sahul, yang kemudian terisolasi cukup lama karena naiknya permukaan laut sampai masa pasca-glasial dimana para pelayar dari kepulauan Asia Tenggara menemukannya.
clip_image002
Gambar 12 – Peta yang menunjukkan jalur migrasi selatan tunggal dari Afrika dan jalur migrasi pantai dari Laut Merah di sepanjang pantai Indo-Pasifik ke Australia, termasuk kecenderungan ekstensi ke Tiongkok, Jepang dan Papua. Vegetasi yang tampak adalah pada Maksimum Glasial Terakhir. (Sumber: Oppenheimer, 2013)
Pada tahun 2012, Jinam et al menentukan 86 urutan genom DNA mitokondria (mtDNA) lengkap dari empat masyarakat adat Malaysia, bersama-sama dengan analisis ulang terhadap data autosomal tunggal nukleotid polimorfisme (SNP) di Asia Tenggara untuk menguji kewajaran dan dampak model migrasi. Tiga kelompok Austronesia (Bidayuh, Selatar, dan Temuan) menunjukkan frekuensi tinggi haplogrup mtDNA, yang berasal dari daratan Asia 30,000–10,000 tahun lalu, tetapi terdapat frekuensi yang rendah penanda “Keluar dari Taiwan”. Analisis komponen utama dan analisis filogenetik menggunakan data SNP autosomal menunjukkan dikotomi antara kelompok Austronesia benua dan pulau. Mereka berpendapat bahwa baik mtDNA dan data autosomal menyarankan migrasi “Rangkaian Awal” yang berasal dari Indocina atau Tiongkok Selatan sekitar masa akhir-Pleistosen sampai awal-Holosen, yang mendahului, tetapi belum tentu mengecualikan, ekspansi Austronesia.
Karafet et al (2014), melalui sebuah studi Y-DNA, mendukung hipotesis bahwa Asia Tenggara adalah pusat diversifikasi garis keturunan haplogrup K di Oseania dan menggarisbawahi pentingnya potensi Asia Tenggara sebagai sumber variasi genetis untuk populasi Eurasia. Struktur filogenetis haplogrup K-M526 menunjukkan peristiwa percabangan yang berturut-turut (M526, P331 dan P295), yang tampaknya telah secara cepat terdiversifikasi. Kecuali P-P27, semua garis keturunannya saat ini terdapat Asia Tenggara dan Oseania. Struktur filogenetis haplogrup K-M526 dibagi menjadi empat subklade utama (K2a-d). Yang terbesar dari subklade ini, K2b, dibagi lagi menjadi dua kelompok: K2b1 dan K2b2. K2b1 menggabungkan haplogrup sebelumnya yang dikenal dengan M, S, K-P60 dan K-P79, sedangkan K2b2 terdiri dari haplogrup P dan sub haplogrupnya, Q dan R.
Menariknya, kelompok monofiletis yang dibentuk oleh haplogrup Q dan R, yang membentuk mayoritas garis keturunan patrilinial di Eropa, Asia Tengah dan Amerika, merupakan satu-satunya subklade K2b yang ternyata tidak terbatas secara geografis di Asia Tenggara dan Oseania saja. Perkiraan interval waktu peristiwa percabangan antara M9 dan P295 menunjukkan proses diversifikasi awal K-M526 yang cepat, yang kemungkinan terjadi di Asia Tenggara, yang kemudian mengekspansi ke arah barat menjadi nenek moyang haplogrup Q dan R. Menariknya lagi, bukti DNA purba menunjukkan bahwa haplogrup R1b – garis keturunan yang dominan saat ini di Eropa Barat – mencapai frekuensi yang tinggi setelah periode Neolitikum Eropa seperti yang ditunjukkan oleh Lacan et al dan Pinhasi et al.
Tatiana 1
Gambar 13 – Filogeni haplogrup K (Karafet et al, 2014)
Karafet
Gambar 14 – Penyebaran keturunan haplogrup K2 (Karafet et al, 2014)
Brandão et al dalam sebuah makalah yang diterbitkan oleh Human Genetics pada tahun 2016 menyatakan bahwa penyebaran keramik Neolitik dan bahasa Melayu-Polinesia di kepulauan Asia Tenggara yang menunjukkan penyebaran pertanian keluar dari Taiwan 4.000 tahun yang lalu adalah masih menjadi perdebatan. Mereka kemudian melakukan studi menggunakan analisis DNA mitokondria (mtDNA) untuk mengidentifikasi kelompok garis keturunan utama yang paling mungkin telah tersebar dari Taiwan ke kepulauan Asia Tenggara, dan menyimpulkan bahwa penyebaran tersebut memiliki dampak yang relatif kecil pada struktur genetik yang masih ada di kepulauan Asia Tenggara, dan bahwa peran pertanian dalam perluasan bahasa Austronesia adalah kecil. Apabila dibandingkan antara penyebaran “Keluar dari Taiwan” pada pertengahan Holosen dengan penyebaran pasca-glasial dari kepulauan Asia Tenggara pada awal Holosen, hanya sekitar 20% garis keturunan mtDNA di kepulauan Asia Tenggara saja yang merupakan hasil penyebaran “Keluar dari Taiwan” dan selebihnya adalah hasil penyebaran pasca-glasial dari kepulauan Asia Tenggara, terutama karena naiknya permukaan laut pada Maksimum Glasial Terakhir. Migrasi dari Asia daratan ke Taiwan terjadi sekitar 6.000 – 7.000 tahun yang lalu dan tetap menjadi penduduk asli yang berbeda sampai dengan penyebarannya ke kepulauan Asia Tenggara.
Analisis rinci yang menggabungkan data DNA mitokondria (mtDNA), kromosom-Y dan genome dalam studi yang dilakukan oleh Soares et al dari University of Minho di Portugal dan diterbitkan dalam jurnal Human Genetics pada 2016, menunjukkan rangkaian peristiwa yang jauh lebih rumit. mtDNA dan kromosom-Y yang ditemukan di Kepulauan Pasifik telah ada di kepulauan Asia Tenggara jauh lebih awal dari 4.000 SM, yang menimbulkan keraguan yang serius terhadap teori “Keluar dari Taiwan”. Soares et al berpendapat bahwa lanskap dan permukaan laut yang berubah sekitar 11.500 tahun lalu menyebabkan ekspansi yang signifikan dari Indonesia 8.000 tahun lalu. Ekspansi ini, yang merupakan penemuan tim, menunjukkan bahwa populasi di seluruh Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik berbagi mtDNA dan kromosom-Y yang sama. Hasil studi tim tersebut juga menunjukkan adanya gelombang minor migrasi yang mungkin mengarah pada penyebaran bahasa Austronesia.
Edwina Palmer (2007) telah melakukan studi bahwa penggenangan Sundalandia pasca-glacial telah mendorong sebagian penduduknya untuk bermigrasi pada sekitar 10.000 – 11.000 tahun yang lalu, mengikuti sabuk hutan lucidophyllous yang meluas dan akhirnya menetap di Jepang sekarang pada periode Jomon. Orang-orang ini mungkin penutur bahasa Austronesia. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa migrasi penutur bahasa Austronesia “Keluar dari Taiwan” bisa terjadi kemudian sebagai migrasi balik pada periode Holosen akhir, dan bahwa skenario migrasi “Keluar dari Sundalandia” ke Jepang pada periode Jomon belum tentu sepenuhnya kompatibel dengan teori “Keluar dari Taiwan” tersebut.
Migrasi dari Asia Tenggara ke Madagaskar telah dibuktikan dengan studi hubungan linguistik antara bahasa Madagaskar dengan bahasa Barito Kalimantan dan telah dikonfirmasi dengan penelitian genetik. Analisis genetik serupa juga telah diterapkan pada tanaman, dan dengan mempelajari terminologi nama-nama yang digunakan juga telah menunjukkan migrasi tersebut (Claude Allibert, 2011). Migrasi orang-orang Asia Tenggara ke Madagaskar berasal dari bagian selatan Sulawesi (Bugis) dan Kalimantan (Maanyan). Kemiripan karakteristik antropologi budaya dan agama, seperti keyakinan tentang kembaran anak dan hewan, dan juga praktek penguburan ganda (terdapat di Filipina), menguatkan indikator kaitan genetik dan linguistik mereka.

Peradaban Sungai

Sungai menyediakan aliran dan pasokan air yang terus menerus atau yang selalu dapat diandalkan untuk transportasi, pertanian dan bahan makanan bagi manusia. Sungai-sungai tersebut bersama dengan iklim, vegetasi, geografi dan topografi menjadikan awal berkembangannya peradaban sungai. Selain itu, sementara masyarakat dari peradaban tersebut bergantung pada sungai, sungai juga menjadi tempat awalmulanya inovasi baru dan perkembangan teknologi, ekonomi, kelembagaan dan organisasi. Budaya sungai adalah tempat lahirnya peradaban maritim.
Sungai-sungai besar dengan lahan yang subur terdapat di Sundalandia pada Zaman Es. Besar kemungkinan bahwa peradaban di Sundalandia berawal di sungai-sungai tersebut. Karena laut juga tidak dapat terpisahkan dari kehidupan mereka, maka tumbuhnya peradaban hingga menjadi besar adalah di sekitar muara sungai. Kenaikan permukaan laut dan bencana banjir atau tsunami yang berulang-ulang menyebabkan mereka untuk berpindah ke tempat yang lebih tinggi, di pegunungan. Sarana transportasi yang ada pada waktu itu hanyalah sungai, sehingga mereka berpindah ke daerah-daerah hulu sungai. Peradaban kuno dan yang masih berlanjut sampai sekarang telah diamati dan mereka berada di daerah-daerah hulu sungai besar.
Sundaland - Riverine Civilizations (2)
Gambar 15 – Peradaban sungai di Sundalandia

Teori Atlantis di Sundalandia

Beberapa penulis telah secara khusus menyatakan hubungan yang jelas antara Sundalandia dan Atlantis-nya Plato. Dataran bawah laut Sunda adalah cukup cocok dengan deskripsi Plato tentang Atlantis. Topografi, iklim, flora dan faunanya bersama-sama dengan aspek mitologi lokal, semuanya menjadi hal yang meyakinkan untuk mendukung ide ini.
CW Leadbeater (1854-1934), seorang teosopis ternama, adalah mungkin yang pertama menunjukkan adanya hubungan antara Atlantis dan Indonesia dalam bukunya, The Occult History of Java. Peneliti-peneliti lain telah menulis tentang prasejarah daerah tersebut, diantaranya yang paling dikenal adalah mungkin Stephen Oppenheimer yang dengan tegas menempatkan Taman Eden di wilayah ini, meskipun ia hanya menyebut sedikit referensi mengenai Atlantis. Robert Schoch, bekerjasama dengan Robert Aquinas McNally, menulis sebuah buku dimana mereka menunjukkan bahwa bangunan piramida mungkin memiliki asal-usul dari sebuah peradaban yang berkembang di bagian-bagian Sundalandia yang kini terendam.
Buku pertama yang secara khusus mengidentifikasi Sundalandia dengan Atlantis ditulis oleh Zia Abbas. Namun, sebelumnya telah ada setidaknya dua publikasi internet yang membahas secara rinci perihal Atlantis di Asia Tenggara. William Lauritzen dan almarhum Profesor Arysio Nunes dos Santos keduanya mengembangkan situs internet secara luas. Lauritzen juga telah menulis sebuah e-book yang tersedia dalam situsnya, sementara Santos mengembangkan pandangannya tentang Atlantis di Asia melalui bukunya, Atlantis: The lost continent finally found. Dr Sunil Prasannan membuat sebuah esai yang menarik didalam website Graham Hancock. Sebuah situs yang lebih esoteris juga menyampaikan dukungan mengenai teori Sundalandia.
Dukungan lebih lanjut tentang Atlantis di Indonesia terjadi pada April 2015 dengan penerbitan buku, Atlantis: The lost city is in Java Sea oleh seorang pakar hidrologi, Dhani Irwanto, yang berupaya untuk mengidentifikasi fitur kota yang hilang dalam rincian narasi Plato dengan suatu lokasi di Laut Jawa lepas pantai pulau Kalimantan.

Referensi

Stephen Oppenheimer, Out-of-Africa, the peopling of continents and islands: tracing uniparental gene trees across the map, Philosophical Transactions of The Royal Society B (2012) 367, 770–784
Andreia Brandão, Ken Khong Eng, Teresa Rito, Bruno Cavadas, David Bulbeck, Francesca Gandini, Maria Pala, Maru Mormina, Bob Hudson, Quantifying the legacy of the Chinese Neolithic on the maternal genetic heritage of Taiwan and Island Southeast Asia, Human Genetics, April 2016, Volume 135, Issue 4, pp 363-376
Tatiana M Karafet, Fernando L Mendez, Herawati Sudoyo, J Stephen Lansing and Michael F Hammer, Improved phylogenetic resolution and rapid diversification of Y-chromosome haplogroup K-M526 in Southeast Asia, European Journal of Human Genetics (2015) 23, 369–373
Pedro A Soares et al, Resolving the ancestry of Austronesian-speaking populations, Human Genetics Volume 135, Issue 3, pp 309-326, March 2016
Timothy A. Jinam, Lih-Chun Hong, Maude E Phipps, Mark Stoneking, Mahmood Ameen, Juli Edo, HUGO Pan-Asian SNP Consortium and Naruya Saitou, Evolutionary History of Continental Southeast Asians: “Early Train” Hypothesis Based on Genetic Analysis of Mitochondrial and Autosomal DNA Data, Society for Molecular Biology and Evolution 29(11):3513–3527,  June 2012
Dhani Irwanto, Atlantis: The lost city is in Java Sea, Indonesia Hydro Media, 2015
***
Hak cipta © 2015, Dhani Irwanto

Wednesday, December 2, 2015

HARUS KITA KETAHUI TAMBANGFREEPORT SEBENARNYA DI INDONESIA

 

PT FREEPORT INDONESIA
PT FREEPORT INDONESIAFakta yang belum banyak orang tau!!Kubangan sisa penambangan yang kalian liat selama ini dimedia, hanya secuil, ya hanya secuil dari serakahnya kaum KAPITALIS!!share, jika kalian merasa ini penting diketahui semua rakyat indonesiakekayaan negri kita, dikeruk habis habisan!!apa kalian rela??
Posted by Aulia Bagus Ar Rahmaan on 5 November 2015

Monday, December 1, 2014

Representasi Sosial (Common Sense)

 


Istilah representasi sosial mengacu pada produk dan proses yang menandai pemikiran pada masyarakat awam (diambil dari kata common sense dan untuk selanjutnya akan disebut sebagai pikiran awam), suatu bentuk pemikiran praktis, secara sosial dielaborasi, ditandai oleh suatu gaya dan logika khas, dan dianut oleh para anggota sebuah kelompok sosial atau budaya. Sejak paruh kedua abad XX opini umum menempati posisi penting di antara obyek-obyek ilmu-ilmu sosial dan humaniora, yang diakibatkan oleh sejumlah aliran pemikiran yang searah dalam bidang antropologi, sejarah, psikologi, psikoanalisis, sosiologi, dan baru-baru ini, dalam ilmu-ilmu kognitif, filsafat bahasa dan nalar.

Kajian representasi sosial dalam psikologi sosial diajukan oleh Mocsovici untuk melihat pikiran awam dalam pengalaman keseharian. Dalam « Psikoanalisa, Citra dan Publiknya » (Psychanalise, son image et son public), sebuah karya yang berpusat pada pengetahuan sosial dan studi tentang keterkaitan antara ilmu danpikiran awam, Moscovici mengambil konsep Durheim «yang terlupakan » tentang representasi kolektif, yang lebih sering disebut representasi sosial, untuk menjelaskan berfungsinya pikiran awam dalam masyarakat kontemporer yang berbeda dengan masyarakat tradisional oleh karena ide-ide yang lebih bersifat pluralisme, peka terhadap perubahan, pergerakan sosial, otonomisasi aktor-aktor sosial dalam hubungannya dengan kendala sosial, penetrasi ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehar-hari, dan pentingnya komunikasi.

Dari representasi ke representasi sosial.
Representasi adalah sebuah fenomena yang, dalam bentuk-bentuk yang berbeda (peristiwa mental, pernyataan verbal, gambar, suara, dll), memperlihatkan sebuah ciri simbolis yang menggantikan obyek itu sendiri, dan dimana obyek itu bisa berasal dari dunia materi, peristiwa, manusia, sosial, ide, dan imajiner.Penyebutan representasi dalam ilmu-ilmu humaniora saat ini memiliki status yang lintas-ilmu dengan berbagai pemakaian.

Tradisi filsafat dan psikologi membedakan antara representasi sebagai aktivitas berpikir dan representasi sebagai produk/hasil dari aktivitas berpikir tersebut. Ilmu-ilmu sosial memperlakukan hasil yang terbentuk, « produk mental sosial » (Durkheim), yang dianalisis dalam bentuk-bentuknya (sistem kepercayaan, ideologi, teori tentang dunia, masyarakat, dan manusia, dll.) dan fungsi-fungsinya dalam kehidupan sosial ; antropologi memberi tekanan pada fungsi konstitutif hubungan-hubungan sosial, sebagai dasar karakterisasi tingkatan-tingkatan sosial (Augé, Godelier) ; sosiologi melihat factor transformasi sosial, sumber dari sikap politik dan keagamaan (Bordieu, Maître, Michelat & Simon); sejarah mengambilnya sebagai obyek penelitian yang paling utama dalam pendekatan mentalitas dan sensibilitas (Chartier, Corbin), menjamin terutama mediasi antara organisasi material dan sistem-sistem ideologi (Duby), atau antara praktik, pembentukan hubungan sosial dan simbolisasi identitas (Lepetit). Ilmu-ilmu kognitif berkaitan dengan proses aktivitas kognitif yang, melalui perlakuan terhadap informasi (terutama perseptif), memberi ruang bagi representasi mental antarindividu. Ciri « sosial » hanya muncul pada aktivitas kognitif yang diterapkan pada obyek yang benar-benar bersifat sosial (individu, kelompok, relasi sosial). Pendekatan psikososiologis pada representasi social mengintegrasikan dua sudut pandang tersebut, karena menjelaskan baik proses maupun isi pengetahuan dengan menghubungkannya dengan kondisi dan konteks sosial yang menghasilkan representasi dan tempat dikomunikasikannya representasi, serta tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam hubungan dengan lingkungan materi, manusia, dan simbolis. Representasi sosial mereproduksi obyeknya dengan mentransformasikannya dengan tanpa mengabaikan faktor-faktor psikologis (yang berkaitan dengan fungsi kognitif atau psikis) dan faktor-faktor sosial (terkait dengan komunikasi, intersubyektivitas, keanggotaan dalam kelompok, letak dalam ranah sosial dan sistem hubungan sosial). Dalam perspektif ini elemen-elemen afektif dan emosial yang mengartikulasikan kandungan ide sama-sama diperhitungkan, termasuk psikoanalisis, dengan menempatkan kembali representasi di dalam proses psikis dan intersubyektivitas (Green).
Teori representasi sosial.
Teori yang dikembangkan oleh Moscovici ini memiliki beberapa tujuan, yakni mempelajari hubungan yang terjadi antara pikiran awal atau pengetahuan yang bersifat opini umum dan pengetahuan keilmuan ; menjelaskan proses terjadinya pemikiran sosial ; pembiasaan akan hal-hal baru dan pemahaman kebaruan tersebut berdasarkan pengalaman sosial yang berfungsi untuk mengarahkan perilaku, berkomunikasi dalam dinamika sosial.
Paradigma utama merujuk pada dua proses besar pembentukan representasi sosial : obyektivasi (objectification) yang menjelaskan intervensi kelompok-kelompok social (norma, nilai, kode, dll, yang ikut campur sebagai meta-sistem yang mengatur proses kognitif) serta kendala-kendala komunikasi dalam penyeleksian dan pengaturan unsur-unsur representasi di satu pihak, dan pengakaran (anchoring) yang menjelaskan pengintegrasian informasi-informasi baru ke dalam sistem pengetahuan dan pemaknaan yang sudah ada, di lain pihak. Proses itu menjelaskan juga cara elemen-elemen tersebut diperkenalkan kembali,sebagai instrumen operasional, dalam interpretasi terhadap situasi dunia dan dalam interaksi dengan orang lain.
Paradigma ini juga menyediakan instrumen konseptual untuk analisis representasi social seperti hasil yang terbentuk, maksudnya pengaturan isi (yang merupakan ide, imajinasi, dan simbol), dikenali dalam berbagai pendukung (produksi diskursus atau ikon, peralatan materi, dan praktik secara individual atau kolektif) dan/atau yang beredar dalam masyarakat, melalui berbagai saluran komunikasi (percakapan, media, dan institusi).
Di dalamnya ada tiga dimensi (informasi, sikap, dan ranah representasi, yang mencakup gambaran, ekspresi nilai-nilai, kepercayaan, dan opini, dll). Dalam hal pembentukan isi yang berhubungan dengan komunikasi sosial yang langsung, 3 faktor (penyebaran dan kesenjangan informasi yang bisa berupa penundaan atau ketidakberfokusan, tekanan dalam inferensi seperti berkesimpulan sendiri bagi penutur, serta kepentingan penutur dan implikasinya pada komunikasi) akan mempengaruhi aspek-aspek kognitif dalam representasi dan membedakan pemikiran awam dalam pola penalarannya, logikanya, dan gayanya. Dalam hal komunikasi media terjadi efek-efek yang disebabkan oleh upaya untuk menarik perhatian publik, akan secara berbeda-beda mempengaruhi pembentukan sikap dan perilaku: dan propaganda yang bersifat stereotip. Perkembangan terakhir teori Moscovici, menekankan pembedaan antara tipe-tipe pemikiran (magis, ilmiah, ideologis); peran thêmata, struktur-struktur biner yang mapan, yang mendukung pembentukan representasi-representasi baru; dasar subyektif dari representasi sosial dan cara menarik pengikut yang menjadi obyeknya pada saat representasi sosial telah berakar di dalam sejarah kebudayaan dalam bentuk kepercayaan.
Model-model sosio-psikologi representasi sosial.
Dengan dasar itu, berbagai model interpretasi berkembang berdasarkan perspektifnya (genetis, strukturalis, atau dinamis), yang diadopsi dan disesuaikan dengan metodologi pendekatan, kualitatif dan kuantitatif, spesifik (Abric, Doise, Flament, Guimelli, Jodelet, Markova, Rouquette).
Perspektif genetis memberi tekanan pada kondisi kemunculan dan transformasi representasi sosial, dengan menyesuaikan isi dan organisasinya sebagai ranah yang terstruktur, pada kondisi social produksinya dan pada modalitas komunikasi sosial.
Perspektif struktural berkaitan dengan deskripsi isi dalam bentuk situasi-situasi yang tercipta dari unsur-unsur utama dan pelengkap. Unsur-unsur utama berperan sebagai pembangkit pemaknaan keseluruhan representasi dan mengisi fungsi penyatu dan stabilisator unsur-unsur pelengkap. Perspektif ini juga mengkaji aspek logis dari organisasi tersebut.
Persepektif dinamis meletakkan bingkai referensi umum dalam sebuah sistem komunikasi dan hubungan simbolis tertentu, dan menjelaskan eksistensi keanekaan dalam pengambilan posisi individual oleh intervensi representasi sosial, berdasarkan prinsip-prinsip pengatur.
Aspek lain dalam dinamika representasi sosial dikaitkan dengan karakter dialogis yang berhubungan dengan komunikasi sosial.
Kritik dan pengembangan.
Meski mempunyai posisi sentral dalam ilmu humaniora, representasi dan representasi sosial mendapat kritik dalam soal realisme yang diajukannya, dan utamanya dalam memperdebatkan model-model mental serta prerogatif yang diberikan pada diskursus. Kritik ini hanya menyentuh sedikit perspektif kajian representasi sosial yang melekatkan peran penting pada bahasa dan komunikasi dalam pembentukan representasi, dengan dasar konstruksi sosial yang bertumpu pada realitas. Representasi sosial tidak mempengaruhi produksi ranah penelitian ini, yang ditandai oleh keterlibatan internasional dan jumlah terbitan (lebih dari 3.000 dalam berbagai bahasa) yang berkaitan dengannya.
*Diterjemahkan dari « Le Dictionnaire des Sciences Humaines », Paris, PUF, 2006,
« Representation Sociales » oleh Denise Jodelet
 

Representasi Pemberitaan Perempuan dalam Media Massa
Bukan sebuah rahasia lagi, jika terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan, berita tersebut menjadi bulan-bulanan media. Media kita masih menjadi media yang sangat menyukai bentuk-bentuk berita yang mengorek-ngorek pribadi individu. Kasus-kasus pribadi menjadi sangat penting dalam headline media, bahkan kasus-kasus tersebut seringkali dijadikan alasan politis untuk kepentingan tertentu. Perempuan korban kekerasan seringkali menjadi objek kekerasan kedua kalinya dalam media untuk melanggengkan bukan hanya kepentingan politis tertentu, namun juga kepentingan media terhadap sebuah pemberitaan.
Walaupun seringkali media mencoba menghormati perempuan korban kekerasan terhadap perempuan, misalnya dengan menyembunyikan identitas korban dan menyampaikan deskripsi kronologis kasus dengan singkat, namun cukup banyak media lain justru melakukan kekerasan dengan pengobjekan perempuan korban kekerasan.  Media seringkali bersikap tidak adil kepada korban, bahkan yang lebih naifnya lagi, media bersimpati kepada pelaku. Media mengobjekkan korban sebagai perempuan yang juga awalnya merupakan pelaku terjadinya tindak kekerasan. Seperti yang diungkapkan oleh Piliang dalam Sorbur,
“Kekerasan terhadap perempuan—dengan mengacu pada pengertiannya yang paling luas—pada kenyataannya tidak hanya berlangsung pada tingkat ‘realitas’ (berupa pemukulan, perkosaan atau pelecehan) akan tetapi juga pada tingkat ‘representasi’ dari realitas tersebut di dalam berbagai media representasi.”

Artinya, bagaimana bentuk dan cara sebuah ‘realitas kekerasan’ direpresentasikan di dalam berbagai media representasi telah merupakan sebuah bentuk ‘kekerasan’ itu sendiri. Sehingga sikap tidak empatis pada korban, dan bias gender yang berpihak pada pelaku pada berita merupakan sebuah representasi dari kekerasan terhadap perempuan itu sendiri dalam media. Apalagi jika perempuan korban kekerasan diberi stigma sebagai “bukan perempuan baik-baik”. Sehingga secara tidak sadar, memaksa masyarakat memberikan arti bahwa kekerasan terhadap perempuan diawali oleh perempuan itu sendiri sebagai penyebab terjadinya kekerasan. Sungguh suatu pemaksaan yang tidak adil, yang melanggengkan budaya patriarki itu sendiri dalam masyarakat. 

Contoh yang sangat konkret adalah terlihat dari pemilahan bahasa yang digunakan media untuk menggambarkan suatu kejadian perkosaaan. Dengan menggunakan ”bahasa banci” yang memaksa masyarakat meraba-raba dan menebak-nebak makna yang terkandung. Misalnya saja contoh judul berita perkosaan di media cetak ”Remaja ABG Digarap Sepulang Sekolah” atau ”Digauli ayah Tiri selama 1 Tahun”. Kedua contoh judul diatas merupakan sebuah bentuk representasi kekerasan terhadap perempuan dalam media massa. Bagaimana tidak, perempuan diposisikan sebagai kaum yang lemah yang hanya ingin diposisikan sebagai ”korban” yang tak berdaya. Penulisan judul saja sudah membuat asumsi dalam benak masyarakat bahwa perempuan merupakan mahluk yang bisa diperlakukan semena-mena. 
Ini belum lagi termasuk kedalam isi yang juga sarat akan kekerasan terhadap perempuan pada tingkat representasi. Seringkali deskripsi korban dijadikan senjata secara sengaja untuk menggambarkan bahwa perempuan juga merupakan pelaku. Contohnya saja, ”Gadis (Bunga bukan nama sebenarnya, 16 tahun), bertubuh sintal dan kulit putih digarap pada saat pulang sekolah disebuah gubuk”. Secara naluriah, jika kita membaca tulisan ini, maka kita akan berasumsi bahwa perempuan tersebut memancing laki-laki untuk melakukan tindakan kekerasan. Bukankah itu suatu bentuk kekerasan secara psikologi yang kedua kalinya didapatkan oleh perempuan? Starting pointnya yang perlu digaris bawahi adalah ”Perempuan mana yang ingin terjadi kekerasan dalam hidupnya?”

Media sebagai Agen Konstruksi Realitas
Pekerjaan media pada hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas. Isi media adalah hasil dari konstruksi realitas yang dipilih para pekerja media untuk ditampilkan kepada khalayak. Konstruksi realitas pada media merupakan hasil peristiwa-peristiwa tertentu yang dipilih berdasarkan kepentingan-kepentingan. Menurut Bauer dan Bauer dalam Barker (2000:278), menyatakan bahwa media yang berkembang dengan baik mengemban pengaruh yang cukup untuk membentuk opini dan keyakinan, mengubah kebiasaan hidup. Secara aktif media juga membentuk perilaku yang kurang lebih sesuai dengan keinginan orang-orang yang dapat mengendalikan media dan isinya. Semua teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu (Eriyanto, 2001:13).
Media massa menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna. Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak (Hamad, 2004:11-12). Namun, ada sebuah konsep filosofis yang mengatakan bahwa yang kita lihat bukanlah realitas, melainkan representasi (sense datum) atau tanda (sign) dari realitas yang sesungguhnya, yang tidak dapat kita tangkap. Yang dapat ditangkap hanyalah tampilan (appearance) dari realitas dibaliknya (Straaten dalam Sorbur, 2006:930).
Dalam konteks media-khususnya pemberitaan mengenai perempuan di dalamnya-representasi perempuan didasarkan atas sebuah ideologi besar. Menurut Piliang, ada banyak prinsip bagaimana ideologi beroperasi dalam produksi makna-termasuk makna dalam media. Di antara prinsip tersebut adalah apa yang disebut sebagai prinsip ‘oposisi biner’ (binary opposition), yaitu semacam prinsip polarisasi segala sesuatu (tanda, kode, makna, stereotip, identitas) yang di dalamnya terjadi proses generasilasi dan reduksionisme, sedemikian rupa sehingga segala sesuatu dikategorikan ke dalam dua kelompok yang ekstrim, saling bertentangan dan kontradiktif.
Dalam media mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan konsep-konsep oposisi biner tersebut, terpolarisasi dari ideologi patriarki secara garis besar. Ideologi patriaki membagi prinsip oposisi biner dalam konsep maskulinitas dan feminitas yang terkonstruksi secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Perempuan diposisikan secara budaya sebagai makhluk yang lemah dan tak berdaya. Sedangkan laki-laki diposisikan sebagai mahluk yang kuat dan mendominasi. Bahkan perumpamaan ini hanya sedikit sekali ungkapan mengenai konsep maskulinitas dan feminitas. Pembagian prinsip-prinsip dasar sifat ini terkonstruksi dalam masyrakat kita yang patriarki, sehingga adanya penerimaan secara mutlak yang tidak adil dalam masyarakat. Penegasan ini didukung oleh media yang dianggap sebagai agen informasi.
Lebih lanjut menurut Piliang, di dalam media-termasuk media pers-ideologi beroperasi pada tingkat bahasa, baik ‘bahasa tulisan’ maupun ‘bahasa visual’. Ideologi pada tingkat bahasa atau linguistik melibatkan yang pertama, pilihan (choices) kata-kata, kosa-kata, sintaks, gramar, cara pengungkapan, pada tingkat paradigmatik (perbendaharaan bahasa), dan yang kedua, tingkat seleksi (selection) yaitu penentuan kata atau bahasa berdasarkan pada berbagai pertimbangan ideologis.
Jika begitu, dominannya ideologi patriarki mempengaruhi kehidupan masyarakat menjadikan polarisasi maskulin dan feminin menjadi suatu bentuk yang konkret dan kodrat, bukan hanya ideologi saja. Kodrat baru yang diterima oleh masyarakat dijadikan sebagai tolak ukur dalam penerimaan apa yang disampaikan oleh media. Bahwa maskulin dan feminin merupakan kodrat bukan hasil konstruksi sosial. Dan itu direduksi secara massal oleh masyarakat. Sungguh naif, jika kita tak mampu menjabarkan yang mana kodrat dan yang mana konstruksi realitas, padahal kita hidup di era yang penuh dengan informasi.  

http://anggerwijirahayu.blogspot.com/2010/02/representasi-pemberitaan-perempuan.html

Wednesday, September 24, 2014

BUDAYA MENGHUKUM

 
Pendidikan Karakter
BUDAYA MENGHUKUM
Ditulis oleh: Prof. Rhenald Kasali (Guru Besar FE UI)



LIMA belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anak saya belajar di Amerika Serikat. Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat, bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai belajar bahasa.

...Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana. Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah.

Rupanya karangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberinilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.

Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya singkat. “Maaf Bapak dari mana?”

“Dari Indonesia,” jawab saya.

Dia pun tersenyum.

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun masyarakat.

“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia yang anak anaknya dididik di sini,” lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! ” Dia pun melanjutkan argumentasinya.

“Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat,” ujarnya menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya.

Dari diskusi itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang bergelimang nilai “A”, dari program master hingga doktor.

Sementara di Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti.

Ujian penuh puja-puji, menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh keterbukaan.

Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut “menelan” mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

***

Etika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi.

Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan. Ada semacam balas dendam dan kecurigaan.

Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan penerima Hadiah Nobel. Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya. “Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh di depan,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.

Saya juga teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. “Sarah telah memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti.”

Malam itu saya mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent (sempurna), tetapi saya mengatakan “gurunya salah”. Kini saya melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

MELAHIRKAN KEHEBATAN

Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh guru, sundutan rokok, dan seterusnya.

Kita dibesarkan dengan seribu satu kata-kata ancaman: Awas…; Kalau,…; Nanti,…; dan tentu saja tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh.

Semua itu sangat tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

Sunday, June 1, 2014

KELOMPOK “PERMASALAHAN PELAKSANAAN SENSUS PENDUDUK 2010”

 


ISU JURNAL
KELOMPOK
“PERMASALAHAN PELAKSANAAN
SENSUS PENDUDUK 2010”

A.    Pengertian Sensus Penduduk
Sensus penduduk sering disebut cacah jiwa karena di dalam sensus penduduk. Terdapat berbagai klasifikasi atau menerangkan keadaan manusia dan sensus penduduk dimungkinkan mampunyai sejarah setua peradaban manusia. Hal ini dibuktikan telah dilaksanakan di Babilonia 4000 tahun sebelum Kristus, begitu pula di Mesir 2500 BC. Pada abadd 16 dan 17 beberapa sensus penduduk dilaksanakan di Italia, Sisilia dan di Spanyol, akan tetapi sensus penduduk atau cacah jiwa dilaksanakan untuk tujuan militer, pemungutan pajak dan perluasan kerajaan, dan di Swedia pada tahun 1979 (Pollas, et.al.1974 dalam, Ida Bagoes Mantra, 2000;8). Hingga permulaan abad ke-20, sekitar 20 % dari penduduk dunia telah dihitung lewat sensus penduduk (Mantra,1985 dalam Ida Bagoes Mantra. 2000; 8), begitu pula di Indonesia, cacah jiwa atau sensus penduduk dilaksanakan sejak sebelum Perang Dunia II tepatnya 1815, tetapi karena belum banyak pengalaman pelaksanaan pada tahun 1820 dan 1930 sudah cukup baik dan hasil data yang disajikan dapat dipercaya, akan tetapi data yang disajikan lebih baik tahun 1930 jika dibandingkan dengan tahun 1920. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan cacah jiwa dari period eke periode ada peningkatan penyajian data. Tetapi, setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia telah melaksanakan cacah jiwa lima kali yaitu pada tahun 1961, 1971, 1980, 1990,tahun 2000 dan 2010. Maksud dan diadakannya sensus adalah melakukan proses keseluruhan dan pengumpulan, pengelolaan, penyajian dan penilaian data penduduk yang menyangkut antara lain ; cirri-ciri demografi, social ekonomi, dan lingkungan hidup (Ida Bagoes Mantra, 2000, 9).
Kegitan sensus penduduk dilaksanaka untuk mengatur penempatan penduduk yang meliputi :
1.      Penyebaran penduduk yang padat wilayahnya untuk pemanfaatan sumber daya alam
2.      Persebaran penduduk di wilayah yang lama ditempati dan padat ke wilayah yang jarang penduduknya
3.      Persebaran penduduk untuk pemerataan pekerjaan
Hal ini sesuai yang diterangkan pada halaman pendahuluan.
Sensus peduduk memiliki cirri yang khas dibanding dengan metode penelitian yang lain, yaitu:
1.      Bersifat individu yang berarti informasi demografi dan sisial ekonomi yang dikumpulkn bersumber dari individu baik sebagai anggota rumah tangga maupun anggota masyarakat
2.      Bersifat universal yang berarti pencacahan bersifat menyeluruh
3.      Pencacahan diadakan serentak di seluruh Negara
4.      Sensus penduduk dilaksanakan secara periodic yaitu tiap tahun yang berakhiran nol (0)
Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan bahwa informasi kependudukan minimal yang harus ada dalam tiap-tiap sensus penduduk agar data hasil sensus penduduk dari beberapa Negara dapat diperbandingkan sebagai berikut:
1.      Geografi dan Migrasi Penduduk
2.      Rumah Tangga
3.      Karakteristik Sosial dan demografi
4.      Kelahiran dan kematian
5.      Karakteristik pendidikan
6.      Karakteristik ekonomi
Informasi geografi meliputi lokasi daerah pencacahan, jumlah penduduk yang bertempat tinggal di suatu daerah tersebut berupa jumlah de jure (penduduk yang berdomisili resmi di daerah tersebut) dan de Facto (penduduk yang bertempat tinggal di suatu tempat tertentu dan tidak terdata secara resmi di lokasi tersebut).

B.       Pelaksanaan
Kegiatan sensus penduduk dilaksanakan 30 Juni pada tahun yang berakhiran angka nol. Kegiatan ini memiliki tugas yang berat karena harus menyajikan data yang valid, maka dari itu agar mendapatkan hasil yang maksimal pihak yang bersangkutan (Badan Pusan Statistik) melakukan kegiatan pra pelaksanaan, hari pelaksanaan dan pasca pelaksanaan.
1.      Pra pelaksanaan
a)      Sebelum melaksanakan sensus, pihak BPS melakukan pelatihan terhadap petugas sensus untuk mewawancarai kepala rumah tangga dan anggota dengan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan, halini dilakukan untuk meminimalkan kesalahan
b)      Membagi wilayah dalam wilayah pencacahan). Luas pencacahan berbeda-beda tergantung pada kemampuan petugas sensus untuk melaksanakan tugasnya dalam satu hari, yaitu pada hari pelaksanaan. Suatu wilayah bias terdiri dari satu blok sensus, bias saja terdiri dari beberapa blok sensus, hal ini dilakukan untuk mempermudah, memperingan dan meminimalkan kesalahan cakupan ( error of converage0, kesalahan laporan (error of content) dan kesalahan ketepatan laporan (estimating error)
2.      Hari pelaksanaan
Dalam pelaksanaan sensus 1 (satu) hari selesai yaitu tanggal 30 Juni, pencacahan dilaksanakan system aktif, artinya petugas sensus aktif mendatangi rumah tangga untuk mendapatkan data demografi, social ekonomi dari masing-masing rumah tangga dan anggotanya, tetapi sebelum hari H semua quesuiner sudah dibagikan dan yang telah diidikan diadakan penyesuaian ditakutkan ada kelahiran, kematian, ada pendatang baru dan ada anggota rumah tangga yang pindah ke provinsi lain selama periode pencacahan.
3.      Pasca pelaksanaan
Data hasil pencacahan dari petugas sensus di olah oleh Badan Pusat Statistik. Konsep yang digunakan:
a)      Penduduk yang dicacah
Cara pencacahan yang dipakai dalam sensus penduduk adalah kombinasi de jure dan de facto. Bagi mereka yang bertempat tinggal tetap dipakai cara de jure, dicacah dimana mereka tinggal secara resmi, sedangkan untuk yang bertempat tinggal tetap dicacah secara de facto, di tempat dimana mereka ditemukan oleh petugas lapangan. Bagi mereka yang mempunyai tempat tinggal tetap, tetapi sedang bertugas di luar wilayah lebih dari 6 bulan, tidak dicacah di tempat tnggalnya dan begitu sebaliknya.
b)      Blok Sensus
Adalah wilyah kerja bagi pencacah agar beban kerja setiap pencacah homogeny. Selanjutnya Blok Sensus ini dapat dijadikan kerangka sampel untuk survey-survei dengan pendekatan rumah tangga.
c)      Klasifikasi daerah perkotaan/pedesaan
Klasifikasi daerah perkotaan/pedesaan didasarkan pada skor yang dihitung dari kepadatan penduduk, prosentase rumah tangga, yang bekerja di bidang pertanian, dan akses terhadap fasilitas kota seperti sekkolah, rumah sakit, jalan aspal, telephon, dan sebagainya. Untuk lebih dapat menggambarkan tingkat perkotaan yang lebih konkret, dicoba pula membagi perkotaan menjadoi tiga kelas, yaitu perkotaan besar, perkotaan sedang dan perkotaan kecil
d)     Bangunan
Bangunan fisik adalah tempat perlindungan tetap sementara yang mempunyai dinding, lantai dan atap baik digunakan untuk tempat tinggal atau bukan tempat tinggal. Bangunan sensus adalah sebagian atau seluruh bangunan fisik yang mempunyai pintu keluar/masuk sendiri dan merupakan satu kesatuan penggunaan.
e)      Rumah tangga
Rumah tangga biasa adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus, dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur.
Rumah tangga khusus terdiri dari:
·         Orang yang tinggal di asrama
·         Orang yang tinggal di lembaga pemasyarakatan, panti asuhan, rumah tahanan, dsb.
·         Sepuluh orang atau lebih yang mondok dengan makan (indekost)
f)       Anggota rumah tangga
Adalah semua orang yang biasanya bertempat di suatu rumah tangga baik yang berada di rumah pada waktu pencacahan maupun yang sementara tidak ada.
C.      Hambatan dan Kesalahan
1.      Hambatan
Meskipun jauh sebelum hari H pelaksanaan sensus sudah diadakan persiapan, namun tidak dapat dipungkiri hambatan-hambatan masih terjadi, hambatan dalam pelaksanaan sensus, antara lain :
·         Faktor Interen
Hambatan yang terjdi dari dalam organisasi adalah factor financial, hal ini sangat berpengaruh dalam kegiatan pelaksanaan di lapangan maupun pengelolaan data
·         Faktor eksternal
Factor yang terjadi/akibat dari luar sehingga mempengaruhi kebenaran cakupan, kebenaran isi pelaporan dan ketepatan laporan adalah
a)      Luasnya Wilayah
Meskipun dalam pra pelaksanaan atau perencanaan sudah dibagi dalam masing-masing wilayah karena luasnya wilayah tetap masih mengalami kesalahan
b)      Objek/Responden
Dari pihak responden sering kali terjadi kesalahan pelaporan data, missal suatu rumah tangga mempunyai 8 anggota terdiri dari suami, istri dan 6 anak, tetapi melaporkan 3 anak, dan dari topic lain dan kuesioner yang sudah dibagikan.
2.      Kesalahan
Yaukey (1990) mengelompokan kesalahan dalam mengumpulkan data menjadi tiga kelompok, yaitu kesalahan cakupan (error coverage), kesalahan isi pelaporan (error of content) dan kesalahan ketepatan laporan (estimating error)
·         Kesalahan cakupan adalah kesalahan dimana tidak seluruh penduduk tercacah dan bagi yang tercacah ada sebagian dari mereka tercacah dua kali. Hal ini biasanya terjadi pada Negara-negara yang memiliki mobilitas penduduk tinggi.
Akibat kesalahan cakupan diatas, maka ensus penduduk tidak dapat menyajikan jumlah penduduk yang tepat pada hari sensus penduduk dilaksanakan.
·         Kesalahan isi pelaporan (error or converage), meliputi kesalahan pelaporan dari responden, misalnya kesalahan pelaporan tentang umur. Umumnya di Negara-negara sedang membangun (sedang berkembang) responden tidak mengetahhui umur mereka dengan pasti, dan untuk pencatatan umur petugas sensus hanya memperkirakan umur mereka.
·         Kesalahan ketepatan pelaporan (estimating error) terjadi karena kesalahan petugas sensus atau kesalahan responden sendiri. Contoh jenis kelamin responden adalahlaki-laki tetapi terdapat informasi jumlah anak yang dilahirkan adalah 3 orang. Atau responden adalah perempuan berumur 15 tahun tetapi jumlah anak yang dilahirkan sepuluh orang. Hal-hal seperti ini yang menyulitkan untuk menganalisis hasil sensus penduduk.
D.      Manfaat
1.      Dapat mengetahui jumlah penduduk
2.      Dapat mengetahui geografi dan migrasi penduduk
3.      Dapat mengetahui karakteristik social demogrfi
4.      Kelahiran dan kematian
5.      Karakteristik pendidikan
6.      Karakteristik ekonomi


E.  Permasalahan Pelaksanaan Sensus 2010 di berbagai daerah
     Separuh Bulan Lebih Badan Pusat Statistik (BPS) telah menyelenggarakan sensus penduduk (SP) yang dimulai sejak 1 Mei 2010, Berbagai harapan dan ungkapan dari SP pun terungkap seperti di dalam pidato yang ditandai dimulainya sensus. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan, SP tersebut akan menjadi basis data utama dalam penyediaan data kependudukan dan perumahan secara nasional. Hasil sensus ini juga akan menyediakan data dasar tentang komposisi dan dinamika kependudukan. Dengan begitu, akan diperoleh data yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai berbagai aspek demografis seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan tempat tinggal. Hasil SP ini juga, menurut SBY, akan sangat berguna untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
          Tak kalah lebih pentingnya lagi, data dari sensus ini juga akan menjadi rujukan untuk mengarahkan program-program prorakyat agar tepat pada sasarannya. Karena seperti yang kita ketahui, kini program-program dari pemerintah, seperti bantuan beras untuk rakyat miskin (raskin), program keluarga harapan (PKH), jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas), dan bantuan operasional sekolah (BOS), seringlah tidak sampai kepada yang benar-benar berhak. Untuk itu, dengan data sensus penduduk 2010 ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk memberikan bantuan kepada yang benar-benar berhak menerimanya. Selain itu, sensus kali ini diharapkan juga akan memberikan basis data bagi pengembangan nomor induk kependudukan (NIK) secara nasional. Sehingga nantinya, berdasarkan NIK tersebut, setiap warga Negara akan memiliki identitas tunggal yang bermanfaat untuk berbagai kepentingan. Mulai dari ketepatan sasaran program pemerintah sampai kepada mencegah manipulasi data, atau bahkan juga untuk mengungkapkan tindak kejahatan. Bahkan nantinya data kemutakhiran dari sensus penduduk ini akan bermanfaat untuk daftar pemilih baik itu dalam pemilu maupun untuk pemilihan kepada daerah.
           Namun, dari itu semua timbul pertanyaan bagi penulis, benarkah data dari sensus penduduk ini akan bermanfaat seperti yang telah diungkapkan oleh Presiden di dalam pidatonya, Sabtu (1/5), di Istana Negara tersebut? Bagaimana jika di lapangan data tersebut tidaklah seperti adanya (baca; akurat)? Akankah ketidakakuratan data tersebut tetap menjadi acuan pemerintah untuk menjadikan basis data baik itu untuk nasional maupun untuk kepentingan di dunia internasional?
          Seperti yang kita ketahui, SP 2010 ini adalah sensus yang keenam sejak kemerdekaan RI setelah SP 1961, 1971, 1980, 1990, dan 2000. Berbeda dari sensus-sensus sebelumnya, untuk kali pertamanya sensus penduduk yang memakan biaya yang tidak sedikit sekitar Rp3,3 triliun ini juga mencakup sensus perumahan dengan jumlah 43 item pertanyaan. Mulai dari nama, alamat, umur, jenis kelamin, pendidikan, kesehatan, hingga suatu ketenagakerjaan penduduk. Selain itu, didata pula informasi yang terkait dengan fasilitas perumahan, akses media komunikasi, dan berbagai informasi lainnya, sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan data kependudukan yang semakin kompleks. Dengan itu semua sehingga wajar saja jika dari SP 2010 ini sangatlah diharapkan mendapatkan data yang lebih rinci dan berkualitas. Namun, seperti yang penulis ungkapkan diatas timbul keraguan dari penulis soal keakuratan data dari Sensus Penduduk 2010 ini. Mengapa?
Keraguan tersebut timbul memanglah bukan tanpa alasan. Misalkan saja, penulis pribadi sampai saat ini belumlah merasa disensus. Tak hanya penulis rekan-rekan lainnya sesama anak kostan pun ternyata belumlah merasa disensus. Lalu pertanyaannya, apakah kami sebagai anak kosan ini tidak wajib untuk disensus karena mungkin kami akan disensus sesuai dengan tempat tinggal kami aslinya bersama keluarga? Sehingga dengan itu semua maka tidak terjadi cacah jiwa ganda nantinya?
Sepengetahuan kami di tahun ini agar tidak terjadi kesalahan cakupan baik itu cakupan yang terjadi karena lewat cacah ataupun cacah ganda, BPS telah meminimalisasi kesalahan cakupan dari aspek wilayah kerja petugas yakni dengan membagai habis wilayah desa atau blok sensus (BS). Dimana wilayah BS ini bermuatan 80–120 rumah tangga dengan batas wilayah yang jelas dan direkam dengan global positioning system (GPS). Selain itu, untuk meminimalisasi kesalahan cakupan dari aspek penduduk, petugas telah dibekali pengetahuan tentang konsep penduduk. Misalkan dalam SP 2010 ini, seseorang dikategorikan sebagai penduduk dalam suatu blok sensus jika memenuhi lima persyaratan. Pertama, telah menetap di wilayah pencatatan selama enam bulan atau lebih. Kedua, menetap kurang dari enam bulan, tetapi bermaksud terus menetap diwilayah pencatatan. Ketiga, sedang berpergian ke wilayah lain kurang dari enam bulan dan tidak berniat menetap diwilayah tujuan. Keempat, menetap di wilayah pencatatan dengan kontrak/sewa/kos karena bekerja dan atau sekolah. Kelima, korps dipolomatik Indonesia dan anggota rumah tangganya yang menetap di luar negeri (BPS 2009). Dengan melihat kelima poin tersebut, sesungguhnya sudah sangatlah jelas kami sebagai anak kosan juga wajib untuk di sensus. Lalu mengapa sampai saat ini kami belum juga disensus?
Keraguan selanjutnya mengenai akan keakuratan data SP 2010 nantinya adalah dari salahnya informasi yang diberikan petugas di dalam tanda bukti bahwa tempat tersebut telah dilakukan sensus (baca: stiker). Misalkan saja di rumah pemilik kos tempat penulis berdiam diri. Di stiker sensus tersebut dituliskan nomor rukun tetangga (RT)-nya adalah 14. Hal ini tentunya sangatlah salah besar, karena nomor RT yang sebenarnya adalah 02. Melihat itu semua tidak menutup kemungkinan apa yang penulis utarakan juga terjadi kepada pembaca sekalian. Akhirnya jika sudah begini, kemanakah kita akan mengadu? Untuk itu hematnya jika ini tidak disikapi lebih lanjut, data SP 2010 ini tidak lah benar-benar valid sehingga kedepan pemerintah sangatlah sulit sekali untuk membuat kerangka manajemen pengelolaan terpadu yang sesungguhnya mampu digunakan sebagai rujukan bagi semua lembaga, baik pusat maupun juga di daerah, dalam merumuskan kebijakan dan perencanaan program pembangunan ke depannya. Waulahualam bisshab.


Referensi :
http://www.radarlampung.co.id/web/opini/14699-meragukan-keakuratan-data-sp-2010.html

E-learning